Yogyakarta, 21 Desember 1989. Suasana dalam ruang Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan itu mulai panas karena tidak ber-AC. Volume suara sang penceramah mulai menurun. Tangannya diletakkan di kening, ia menengadah dan memejamkan mata. Ketika ruangan hening, ia terkulai seperti hendak tidur. Soedjatmoko, intelektual sosialis itu, meninggal ketika sedang mengisi ceramah.
Soedjatmoko memang seorang intelektual sejati. Hampir sepanjang hidupnya ia mengabdi pada ilmu pengetahuan. Sedari muda, ia telah bergumul dengan berbagai pemikiran yang mendapuknya sebagai salah seorang yang menjadi tonggak intelektualitas Indonesia.
Intelektual Muda
Pria kelahiran Sawahlunto, 10 Januari 1922 itu mendapat pendidikan layak sedari kecil. Setelah mengenyam Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar kelas II di Belanda, ia kembali ke Hindia Belanda dan melanjutkan pendidikan di ELS dan HBS.
Ketika berusia 16 tahun, Sudjatmoko bertengkar dengan ayahnya karena dilarang bergabung dengan Indonesia Muda. Larangan itu menghambat keinginan kuatnya untuk masuk dalam pergerakan. Ia sering membaca dan mendatangi ceramah tokoh-tokoh pergerakan di Surabaya.
Lulus dari HBS, Soedjatmoko melanjutkan ke Gymnasium (sekolah persiapan masuk perguruan tinggi). Dari sinilah ia mulai mendalami filsafat Yunani hingga modern. Minatnya terhadap sejarah dan politik juga semakin tumbuh.
Soedjatmoko melanjutkan kuliah di Geneeskundige Hoge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran. Di GHS, ia mulai ikut dalam gerakan mahasiswa Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI) dan kemudian Indonesia Muda.
Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Ketika Jepang menduduki Indonesia, seluruh kegiatan sekolah dihentikan. Badan Perwakilan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) kemudian mengusahakan pemondokan (asrama) bagi para mahasiswa, seperti Asrama Prapatan 10, Menteng 31, dan Asrama Indonesia Merdeka. Soedjatmoko berada di Prapatan 10 yang diperuntukan bagi mahasiswa kedokteran. Pada masa inilah Soedjatmoko banyak belajar dari tokoh-tokoh sosialis Indonesia.
Dalam In Memoriam: Mengenang yang Wafat, Rosihan Anwar menyebut bahwa Soedjatmoko “mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh Soekarno muda, Hatta muda, Sjahrir muda yang juga berideologi sosialis.”
Soedjatmoko ikut dalam gerakan mahasiswa anti-Jepang yang tumbuh di dalam asrama-asrama. Kelak, mereka mendesak Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesa. Beberapa peristiwa yang melibatkan mahasiswa dan Kenpeitai kemudian berujung penahanan beberapa mahasiswa termasuk Soedjatmoko.
Setelah sebulan dipenjara, Soedjatmoko dan beberapa mahasiswa tidak diizinkan lagi berkuliah di manapun. Oleh sebab itu, Soedjatmoko, Soedarpo, dan seniornya Soebadio mengunjungi Bung Karno untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi mendukung Bung Karno bekerjasama dengan Jepang.
“Di antara orang bertiga itu, Soedjatmoko yang paling menguasai teori dan banyak membaca buku tentang ilmu pengetahuan sosial. Tidak mengherankan timbul pembicaraan ilmiah antara Bung Karno dan Soedjatmoko tentang demokrasi, fasisme, sosialisme, kapitalisme,” tulis Nursam dalam Pergumulan Seorang Intelektual: Biografi Soedjamoko.
Pasca-dialog itu, Soedjatmoko kembali ke Solo dan mengalami keterasingan. Ia tak mau membaca selama enam bulan. Gairah intelektualnya sempat hidup ketika ia dapat membaca buku-buku loak dari Pasar Klewer. Sejak itu, Soedjatmoko menyadari makna baru dari pengetahuan bagi dirinya.
Jurnalis dan Diplomat
Tak lama setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dikumandangkan, Soedjatmoko yang berada di Solo dipanggil untuk bekerja di Departemen Penerangan. Oleh Sjahrir, Sudjatmoko ditunjuk sebagai pemimpin redaksi Majalah Het Inzicht. Majalah republik ini menggunakan bahasa Belanda agar pihak Belanda dapat menjalin kontak dan dialog selama perundingan maupun pertempuran berlangsung.
Rosihan Anwar mengenang, dalam Het Inzicht inilah Soedjatmoko pernah menulis bahwa Konferensi Malino yang mereka liput bersama merupakan “gevaarlijk zelfbedrog” atau “penipuan diri sendiri yang berbahaya.”
“Saya terkagum-kagum oleh istilah yang diciptakan oleh Koko seperti ‘vervaging der grenzen’, ’gevaarlijk zelfbedrog’ yang notabene lahir dari ngomong-ngomong di kakus alam,” tulis Rosihan dalam Quartet: Pertemuan dengan Empat Sahabatku.
Baca juga: Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang
Bersama Rosihan, Soedjatmoko mendirikan Majalah Siasat pada 1946. Pada 1947, Soedjatmoko, Charles Tambu, dan Soemitro Djojohadikusumo dikirim PM Sjahrir ke Amerika Serikat untuk menjalin komunikasi dengan PBB. Bersama Sjahrir dan Agus Salim, mereka turut dalam Sidang Keamanan PBB yang membahas Agresi Militer Belanda I, 14 Agustus 1947.
Di Amerika, Soedjatmoko mendapat beasiswa kuliah di Harvard. Namun kesempatan itu harus ditinggalkannya karena ia diminta untuk menjadi Deputy Permanent Representative pada Dewan Keamanan PBB.
Ketika hendak pulang ke Indonesia pada 1951, Soedjatmoko berkeliing Eropa. Dari Eropa Barat hingga Timur ia jelajahi untuk memahami dua kekuatan besar kala itu: komunisme dan kapitalisme.
Setibanya di Indonesia, Soedjatmoko kembali ke dunia jurnalistik dengan bekerja sekaligus untuk Majalah Siasat, Pedoman, dan Konfrontasi. Di Konfrontasi inilah Soedjatmoko memantik polemik kebudayaan seru dengan Buyung Saleh dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Meski dekat dengan banyak tokoh-tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI), Soedjatmoko baru bergabung dengan PSI secara resmi pada 1955. Ia kemudian terpilih sebagai anggota Konstituante pada Pemilu 1955.
Di Antara Dua Rezim
Arief Budiman mengenang, pada 1960-an Soedjatmoko merupakan intelektual yang mau merendah dan bergaul dengan generasi lebih muda. Rumahnya sering dijadikan tempat diskusi dengan para intelektual maupun para mahasiswa muda. Di mata Arief, Soedjatmoko bukanlah intelektual salon yang berkutat tentang ide-ide besar atau cara menyelamatkan umat manusia.
“Dia juga ‘reach out’ kata orang Amerika, keluar dari menara gadingnya dan menyentuh realitas,” kata Arief dalam pengantar buku Sejarah Masa Depan: Percikan Pemikiran Soedjatmoko.
Baca juga: Buku dan Perjalanan Intelektual Sukarno
Soedjatmoko dianggap sebagai tokoh yang kritis terhadap Sukarno. Namun, seperti ia akui sendiri, Sukarno adalah salah satu mentornya selain Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Hubungan mereka terjalin sejak 1943 ketika membicarakan revolusi, Marxisme hingga politik internasional.
“Peristiwa ini adalah permulaan suatu hubungan pribadi yang hangat, tetapi juga sering penuh pertengkaran yang berlanjut sampai 1958 ketika beliau memutus hubungan ini,” ungkap Soedjatmoko dalam Asia di Mata Soedjatmoko.
Soedjatmoko memang lebih dikenal sebagai sosialis kanan mengikuti Sjahrir. Ketika Sukarno lengser dan rezim berganti, Soedjatmoko tetap menjadi tokoh intelektual penting. Ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat periode 1968-1971.
Hubungan Soedjatmoko dengan Orde Baru ternyata tak selamanya mulus. Ia kritis pada rezim Soeharto, terutama soal perekonomian. Ketika Peristiwa Malari pecah pada 1974, Soejatmoko dituduh sebagai aktor intelektual di baliknya. Ia dicekal ke luar negeri selama dua setengah tahun.
Sementara perlakuan buruk diterimanya dari dalam negeri, pada 1978 Soedjatmoko mendapat penghargaan Ramon Magsaysay atas jasanya di bidang hubungan internasional. Dua tahun kemudian, ia diangkat menjadi rektor Universitas PBB.
Sepanjang hayatnya, Seodjatmoko tak lepas dari urusan ilmu pengetahuan. Kepergiannya ketika memberi ceramah di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan di Yogyakarta menutup perjalanan hidupnya sebagai intelektual-pejuang.