Masuk Daftar
My Getplus

Gerakan Kaum Intelektual di Ranah Minang

Kaum muda berambisi membersihkan kawasan Minangkabau dari belenggu adat yang menghalangi jalannya perubahan. Melalui sekolah dan media massa, mereka memulai gerakan versi anak muda.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 13 Nov 2020
Potret masyarakat Minang memakai pakaian adatnya. (Troppenmuseum/Wikimedia Commons).

Permulaan abad ke-20, kekuasaan Belanda masih mengakar kuat di seluruh wilayah Sumatra Barat. Kendati demikian, perlawanan rakyat pun tidak henti-hentinya dilakukan, baik oleh kaum tua maupun oleh kaum muda. Meski keduanya sama-sama bergerak untuk kebebasan ranah MInang dari belenggu penjajahan, ada perbedaan mendasar yang menghalangi kedua kelompok untuk bersatu, yakni pandangan tentang Islam. Kondisi itu tentu merugikan karena kekuatan rakyat untuk berjuang menjadi terpecah.

Dituturkan Jajat Burhanuddin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, kaum tua dikenal sebagai golongan Islam-Tradisionalis, sementara golongan muda acap dikaitkan dengan kelompok Islam-Reformis. Kaum tua percaya bahwa Islam sebagai agama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh adat istiadat. Sehingga dalam prakteknya, kelompok ini sering menggabungkan kepercayaan kepada Tuhan dengan kepercayaan kepada roh nenek moyang.

Baca juga: Islamisasi Minangkabau

Advertising
Advertising

Di sisi lain, kaum muda memisahkan kedua nilai tersebut. Mereka percaya bahwa Islam harus dijalankan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW, tanpa sedikitpun memasukkan unsur adat di dalamnya. Gerakannya hampir serupa dengan kaum Padri. Mereka juga meyakini bahwa perubahan ke arah kemajuan di berbagai sektor kehidupan perlu dijalankan. Masyarakat tidak bisa hanya terkurung di dalam keyakinan adat istiadat semata. Keyakinan kaum muda itulah yang kemudian selalu dikaitkan dengan kemajuan intelektual di Minangkabau pada abad ke-20.

“Di Minangkabau, gagasan tentang kemajuan adalah inti dari konflik-konflik kaum cendekiawan dalam beragam pokok masalah seperti adat dan agama. Retorika selama dua puluh tahun pertama abad kedua puluh membandingkan yang “muda” yang didefinisikan sebagai simbol kemajuan, dengan yang “tua” yang dipandang sebagai terbelakang dan konservatif,” kata Yuliandre Darwis dalam Sejarah Perkembangan Pers Minangkabau (1859-1945).

Baca juga: Minang Menolak Bayar Pajak

Gesekan antara kaum muda dan kaum tua juga tidak hanya terjadi di ranah agama saja, tetapi sudah merambah kepada urusan sosial-politik di masyarakat. Alam pikir golongan tua oleh kaum muda dianggap sebagai kemunduran intelektual. Mereka yang masih memisahkan satu kelompok dengan kelompok lain atas dasar status sosial, serta berpikir bahwa kekuasaan didapat secara turun temurun berdasarkan garis keluarga, dinilai dapat merusak tatanan kehidupan di Sumatra Barat. Untuk itu, kaum muda menyerukan berbagai gerakan pembaharuan, di antaranya dengan membangun sekolah dan menyebarkan dakwah melalui media massa.

Sekolah Kaum Muda

Gerakan untuk melakukan perubahan dari kaum muda diyakini sebagai gerakan Islam modern di Minangkabau. Ada begitu banyak tokoh yang terlibat di dalam gerakan reformis tersebut. Beberapa di antaranya merupakan murid-murid Syekh Ahmad Khatib, seperti Syekh Djamil Djambek, Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul), Haji Abdullah Ahmad, dan Syekh Thaib Umar. Di antara tokoh-tokoh tersebut, ada yang sampai membuat sebuah sekolah untuk mempermudah penyampaian gagasan-gagasan reformis yang diyakini para kaum muda, seperti perlawanan, perjuangan, kebebasan, dan kemerdekaan.

Abdul Karim Amarullah misalnya, mendirikan perguruan Sumatra Thawalib di Padang Panjang. Sekolahnya itu merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan di Surau Jembatan Besi, yang mulanya mengajarkan pelajaran fiqih dan tafsir Al-Qur’an dengan cara-cara tradisional. Ketika Haji Rasul masuk sebagai pengajar, kurikulum yang ditekankan di sana berubah menjadi ilmu aplikatif. Para santri harus memiliki kemampuan menguasai bahasa Arab dan percabangannya. Hal itu dimaksudkan agar mereka mampu mempelajari sendiri kitab-kitab yang lambat laun akan mendekatkan mereka kepada dua sumber dalam Islam: Al-Qur’an dan Hadits.

Baca juga: Bela Negara dari Belantara Minangkabau

Perubahan-perubahan di dalam Sumatra Thawalib terus dilakukan. Bahkan dicatat Darwis, perubahan sistem pendidikan di sana memerlukan waktu kurang lebih 10 tahun. Sistem pembagian kelas, penggunaan buku pelajaran, sarana dan prasarana sekolah, hingga kurikulum pendidikan, membuat Thawalib menjadi lembaga pendidikan yang berpengaruh di Minangkabau.

“Sekolah Thawalib khusus mengajarkan teori dan aspek filosofi dalam Islam. Tujuannya adalah untuk menghasilkan lulusan yang mampu berpikir mandiri dan bertindak sebagai pembaharu agama di masyarakat,” kata Sally White dalam Rasuna Said: Lioness of the Indonesian Independence Movement.

Selain Thawalib, sekolah lain yang dinilai melambangkan kemajuan pendidikan modern di Minangkabau adalah Sekolah Diniyah. Lembaga pendidikan yang telah ada sejak 1915 di Padang Panjang itu didirikan oleh Zainuddin Labai El Yunus. Sekolah Diniyah ini mengenalkan sistem pendidikan modern di Sumatra Barat. Menurut Sally, mereka mempelopori penggunaan buku teks, dan jenjang kelas untuk berbagai tingkatan usia.

Baca juga: Rasuna Said, Perempuan Minang yang Ditakuti Belanda

Sekolah Diniyah juga membuka cabang sekolah khusus untuk perempuan. Dikelola oleh Rahmah El Yunusiah, sekolah ini mengajarkan agar perempuan tidak kalah dari kaum pria dalam urusan pendidikan. Motto sekolah itu adalah “menjadikan perempuan pengajar di rumah, di sekolah, dan di masyarakat”. Mereka juga mengajarkan keterampilan untuk kaum putri.

“Lembaga pendidikan yang dimotori oleh kaum muda ini mengembangkan cara belajar dan mengajar dengan meniru metode pendidikan modern. Metode pengajaran seperti ini tidak lagi hanya mengandalkan penjelasan dari guru melainkan juga menyebarluaskan penggunaan buku bacaan sebagai sumber ilmu yang lebi penting,” ungkap Sastri Sunarti dalam Kajian Lintas Media: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau.

Majalah Pergerakan

Tidak hanya membangun sekolah, para kaum muda ini juga menggunakan media yang sedang populer digunakan kelompok-kelompok pergerakan kala itu, yakni surat kabar dan majalah, sebagai sarana pembaharuan di Minangkabau. Mereka banyak menuangkan gagasan-gagasan tentang kemajuan, serta ilmu agama Islam di sana.

Baca juga: Abdoel Moeis, Pembakar Semangat Rakyat Minang

Pada 1911, terbit majalah Islam pertama di Minangkabau, yaitu Al-Munir. Pelopornya adalah Haji Abdullah Ahmad. Al-Munir banyak menerbitkan berita, opini, serta tulisan-tulisan pendek dari tokoh-tokoh kaum muda. Majalah itu menjadi sarana pertama mereka menyebarluaskan ide-ide tentang kemajuan di ranah Minang. Al-Munir juga banyak menyadur analisis sejumlah tokoh besar Timur Tengah, termasuk tentang kemunduran agama dan dunia Islam yang mengakibatkan dunia Barat mendominasi.

“Artikel di majalah ini cukup beragam. Antara lain mencakup masalah-masalah duniawi sampai artikel-artikel yang bersifat filosofis tetapi masih berkaitan dengan masalah agama. Sebagai contoh adalah pengajian masalah-masalah tauhid,” tulis Darwis.

Namun usia Al-Munir rupanya hanya seumur jagung. Pada 1916, penerbitannya terpaksa dihentikan karena kurangnya biaya produksi. Selain itu, masih banyak tokoh pergerakan Minang yang tidak maksimal memanfaatkan sarana media massa ini. Sebagai penggantinya, dua tahun kemudian terbit majalah lain, yaitu Munirul Manar, yang penerbitannya dipimpin Zainuddin Labai El Yunusi.

Baca juga: Minang Kiri Sebelah Bofet Merah

Serupa dengan Al-Munir, majalah Munirul Manar juga isinya tidak jauh dari ide ide pembaruan. Bahkan dari tataletak, corak, dan konten dalam majalah hampir seluruhnya sama. Perbedaan yang terlihat hanya pada isi mazhab yang dipakai ketika menjawab soal-soal agama. Jika Al-Munir hanya berlandaskan mazhab Syafi’I, Munirul Manar menjawabnya dengan hampir semua mazhab yang terdapat dalam Islam.

Majalah Islam lain yang cukup berpengaruh di Minangkabau adalah Al-Bayan. Majalah ini diterbitkan pertama kali pada 1919 di Bukittinggi di bawah pimpinan Syekh Ibrahim Musa Parabek. Majalah ini selanjutnya berada di bawah naungan Sumatra Thawlib, bersama majalah-majalah Islam lainnya seperti Al-Iman, Al-Ittiqan, Doenia Achirat, Al-Basyir, dan sebagainya.

“Masyarakat pendukung majalah-majalah Islam yang terbit di Minangkabau ternyata cukup banyak dan beragam. Masyarakat pembacanya tidak hanya terbatas pada lingkungan Minangkabau sendiri, tetapi jauh lebih luas dari daerah itu. Para pendukung pers Islam ini bukan semata-mata orang-orang ahli dalam bidang agama tetapi juga berasal dari lapisan masyarakat yang awam tentang agama,” ungkap Darwis.

TAG

minangkabau

ARTIKEL TERKAIT

Kritik Adat dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck Hatta dan Pernikahan Adat Minang Tabula Rasa yang Menggugah Selera Ketika Hatta Mulai Mengenal Tuhan Rasuna Said versus Pemerintah Hindia Belanda. Sukarno Menembus Hutan Bukit Barisan Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel