Pada awal 1927, ketika Partai Nasional Indonesia (PNI) hendak lahir, Sukarno mendapat kiriman buku dari kawannya Samuel Koperberg. Meski baru membuka-buka halamannya, Sukarno sudah terkesan dengan buku De held en de schare (Pahlawan dan Kawanan) karya Henriëtte Roland Holst itu.
“Dan sekarang saya punya kesan bahwa ini buku yang bagus, ditulis oleh seseorang penuh semangat revolusioner seperti H. Roland Holst. Gairah ini sudah menyenangkan si pembaca; komunis atau sosialis, revolusioner atau konservatif. Iya kan?/bukan begitu?” tulis Sukarno dalam suratnya kepada Koperberg, 28 April 1927.
Sukarno kelak membaca buku-buku lain Henriëtte seperti Kapitaal En Arbeid In Nederland yang kini koleksinya tersimpan di Museum Kepresidenan Balai Kirti. Nama Henriëtte kemudian juga kerap disebut Sukarno seperti dalam Indonesia Menggugat dan Sarinah. Sementara, para tokoh Perhimpunan Indonesia (PI) seperti Mohammad Hatta dan Ali Sastroamijoyo juga punya ikatan sendiri dengan Henriëtte.
Politikus Militan
Henriëtte Roland Holst lahir pada 24 Desember 1869 di Noordwijk, Belanda dengan nama Henriëtte Goverdina Anna van der Schalk. Ia adalah seorang sosialis militan sekaligus penyair dan penulis terkemuka pada paruh pertama abad ke-20.
Pemikiran Henriëtte banyak dipengaruhi oleh Karl Marx melalui Das Kapital. Pada 1897 ia bergabung dengan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda). Henriete menjadi salah satu propagandis utama partai.
Baca juga: Semaun dan Sneevliet, Kisah Persahabatan Dua Orang Revolusioner
Tak hanya aktif di Belanda, Henriëtte juga malang melintang di kancah politik internasional. Ia bersahabat dengan Rosa Luxemburg dan Leo Trotsky, dua revolusioner yang kemudian dia tulis biografinya. Henriëtte menerbitkan karya monumentalnya Kapitaal en Arbeid In Nederland (Capital and Labour) pada 1902.
Meski sempat menarik diri dari politik sejak 1912, ia kembali aktif karena menentang Perang Dunia I. Henriëtte juga ambil bagian dalam Konferensi Zimmerwald di Swiss pada 1915, tempat pertemuan sosialis internasional pertama digelar untuk menyerukan perdamaian dunia.
Pada 1918, Henriëtte bergabung dengan Partai Komunis Belanda. Ia mengunjungi Russia pada 1921 dan menghadiri kongres Komunis Internasional. Namun, sejak itu ia justru mencatat kekecewaan terhadap situasi di Russia.
“Sejak tahun 1918 dia memainkan peran utama dalam gerakan komunis Belanda, tetapi pada tahun 1927 dia keluar dari partai tersebut untuk mendukung sosialisme yang berwarna religius,” tulis Jaqueline Bel dalam Women’s Writing from the Low Countries 1880-2010 An Anthology.
Dari Belanda, Henriëtte menaruh perhatian pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dekat dengan para mahasiswa PI. Moh. Hatta adalah salah satu anggota PI yang cukup mengenal perempuan yang kerap disapa Tante Yet itu. Keduanya sering bertemu dalam perdebatan yang membahas kolonialisme di Indonesia.
Baca juga: Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan di Negeri Belanda
Hubungan mereka masih terjalin ketika Hatta kembali ke Indonesia dan diasingkan ke Banda Neira. Dalam suratnya kepada Johannes Eduard Post, Hatta bahkan meminta bantuan Eduard Post untuk mendapatkan buku Das Kapital jilid II dari Henriëtte.
“Apakah ibu Holst bisa membantu dalam hal ini. Dia kenal seluruh karya Marx dan tidak butuh Marx lagi untuk perkerjaan dia. Buat perkerjaan teoretis saya, saya membutuhkannya,” tulis Hatta kepada Eduard Post, 8 September 1939.
Ali Sastroamijoyo juga punya kesan sendiri terhadap Henriëtte. Dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Ali bercerita sering mendapat buku dari Henriëtte dan sering mendengar pidato-pidatonya dalam berbagai pertemuan di Belanda.
“Terkenal sebagai seorang sosialis berhaluan kiri, meskipun sosialismenya berdasarkan keagamaan. Sudah sejak kami di penjara dia menaruh simpati pada pergerakan kita. Sering saya menerima buku dari dia yang berguna sekali untuk mengisi waktu saya di sel,” tulis Ali.
Ali mengenang Henriëtte sebagai seorang singa podium. Ketika berpidato di depan kaum buruh, misalnya, Henriëtte selalu menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Ali terkesan dengan ini mengingat Henriëtte adalah seorang penyair.
Penyair Sosialis
Soal kepenyairan, sastrawan M.R. Dayoh punya pengalaman sendiri tentang Henriëtte. Ketika menjadi guru di Malang, ia membuat puisi-puisi bertema kelaparan dan kemelaratan. Malangnya, karena puisi-puisnya ia dimutasi dari Christelijke Kweekschool ke Ambonse School. Namun puisinya terus disebarkan di kalangan pegawai Pangreh Praja hingga sampai kepada Domine Jensen, seorang kepala gereja dan pecinta sastra.
Baca juga: Berpulangnya Sang Penyair Kiri
Jansen memuji puisi Dayoh yang menggunakan bahasa Belandaitu dan menyarankan Dayoh untuk menghubungi Henriëtte agar mendapat bimbingan. Dayohpun kemudian bersurat kepada Henriëtte dan ternyata mendapat sambutan baik.
“Permintaan Dayoh itu diterimanya dan Dayoh menganggap Henriëtte Roland Holst sebagai ‘ibu angkatnya’ dengan sebutan ‘Induk Ayam Belanda yang Tua’," tulis Anita K. Rustapa dalam Antologi Biografi Pengarang Sastra Indonesia, 1920-1950.
Sejak itu, Dayoh makin dekat dengan Henriëtte melalui surat-menyurat. Dayoh kemudian mendapat hadiah buku-buku karangan Henriëtte seperti Het Eeuwige voor dan Tussen Tijd en Euwigheid.
Menilik karya-karya Henriëtte, Jacqueline Bel menyebut jejak kepenyairan Henriëtte tak lepas dari pandangan politiknya. Tentu saja sosialisme menjadi topik utamanya.
“Koleksinya dapat dibaca dengan sempurna sebagai produk sastra otonom, tetapi juga mencerminkan perkembangan politiknya. Dalam De Nieuwe Geboort (The New Birth), koleksi keduanya dari tahun 1902, misalnya, ia menggambarkan pelukannya terhadap sosialisme dalam puisi-puisi yang penuh harapan akan masa depan,” tulis Jacqueline Bel.
Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
Sajak-sajak Henriëtte ternyata telah menembus belantara hutan Digul, Papua, tempat para perintis kemerdekaan dibuang sejak 1926. Sajak Henriëtte muncul ketika Aliarcham meninggal. Pada sebuah papan tulis hitam, sajak Henriëtte dibubuhkan, menemani kepergian salah satu pemimpin komunis itu.
Sebait sajak Henriëtte juga ditemukan dalam buku catatan di saku celana Subianto, adik ekonom Soemitro Djojohadikusumo yang menjadi salah satu prajurit yang gugur dalam Pertempuran Lengkong, Tangerang (1946).
Selain puisi dan naskah drama, Henriëtte menulis biografi tokoh-tokoh seperti Jean-Jacques Rousseau (1912), Leo Tolstoy (1930), Romain Rolland (1946), dan Mahatma Gandhi (1947).
Selama Perang Dunia II, Henriëtte aktif dalam perlawanan terhadap Nazi terutama melalui puisi-puisinya. Henriëtte alias Tan Yet, “Sang Induk Ayam Belanda yang Tua” itu meninggal pada 21 November 1952 di Amsterdam.