Masuk Daftar
My Getplus

Jalan Berliku Federasi Perempuan

Berakar dari masa kolonial, federasi perempuan Kowani yang bergonta-ganti nama terus aktif memperjuangkan hak-hak perempuan. Sempat jinak semasa Orba.

Oleh: Nur Janti | 23 Des 2017
Kantor Kowani di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat/foto: Nur Janti.

Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), mengatakan gerakan perempuan “mati” setelah rezim Orde Baru berkuasa. Penguasa militer itu menggunakan intimidasi untuk menaklukkan semua elemen, termasuk gerakan perjuangan perempuan, agar tunduk dan sejalan dengan misi pemerintahannya. “Kalau nggak (sejalan –red.), dianggap musuh negara,” ujarnya kepada Historia.

Dalam kacamata penguasa, tempat perempuan hanya di dapur dan kasur. Penguasa memberi citra negatif kepada perempuan yang berpolitik. Alhasil, gerakan perjuangan perempuan yang telah dilakukan berbagai organisasi perempuan sejak masa kolonial langsung mandek. Perjuangan mereka untuk memperjuangkan hak dan memajukan kaum serta bangsanya seketika digantikan oleh aktivitas-aktivitas seremonial ibu-ibu Dharma Wanita atau PKK.

Perjuangan Nan Terpaksa Kembali ke Dapur dan Kasur

Advertising
Advertising

Budaya patriarki yang meletakkan perempuan semata hanya dalam urusan dapur dan kasur menimbulkan ketidakadilan sejak lama. Perempuan menjadi korban darinya. Dalam rumahtangga, ruang geraknya terbatas karena posisinya yang selalu dibuat bergantung pada pria.

Syahdan, hal itulah yang coba dilawan oleh para perempuan aktivis pada paruh pertama abad ke-20. Lewat berbagai organisasi, mereka memperjuangkan hak-hak perempuan guna memajukan kaumnya.

Namun, meski organisasi perempuan sudah banyak berdiri kala itu, mereka masih berjuang sendiri-sendiri. Pikiran untuk mengadakan kongres guna menyatukan gerakan belum terbersit.

Dua kongres pemuda, pada 1926 dan 1928, lalu membuka mata para aktivis perempuan. Kongres itu menginspirasi Nyonya Soekonto, Nyi Hadjar Dewantoro, dan Nona Sujatin untuk menginisiasi diadakannya Kongres Perempuan (KPI). Upaya ketiganya berhasil dengan suksesnya Kongres Perempuan I di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928.

Menurut Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, di kongres pertama itu yang menjadi perhatian utama adalah masalah perkawinan yang adil bagi perempuan, pendidikan perempuan, dan pernikahan dini. Hak-hak perkawinan dibicarakan dalam sejumlah pidato oleh perempuan anggota oragnasasi yang tidak berlandaskan agama. Kongres itu lalu menghasilkan keputusan untuk mendirikan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Di kemudian hari, PPPI berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Isteri Indonesia (PPII), cikal-bakal Kowani kini.

Pada masa itu politik belum menjadi perhatian utama gerakan. Ia (hak politik perempuan) baru terpikir di kongres Surabaya, akhir 1930. Kongres itu sendiri menghasilkan keputusan pembentukan badan perantara. Selain mengurusi masalah kematian bayi, perburuhan, dan perdagangan anak, badan itu bertugas mempelajari hak pilih kaum perempuan.

Hampir bersamaan, hak politik juga dibicarakan dalam internal Kongres PPII tahun 1930. Dua tahun kemudian, Istri Sedar (IS) mendeklarasikan diri sebagai organisasi politik pada kongres keduanya di Bandung. IS menyerukan kepada para anggotanya untuk aktif berpolitik. Tapi, IS tak mau bergabung dalam KPI dengan alasan perkumpulan organisasi yang terlalu berbeda dari segi agama, sosial, dan masalah nasional akan sulit bersepakat untuk menyelesaikan masalah perempuan.

KPI sendiri baru memutuskan terjun ke politik pada kongres keempatnya, 1941. Kongres itu, menurut sebuah Arsip Kowani, menghasilkan keputusan mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan mengajukan tuntutan agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif.

Namun, baru sekira setahun keputusan itu berjalan, Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan yang berbau militeris.

KPI baru mengadakan kongres kembali pada 1946 dengan mengganti nama payung organisasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Berkongres di masa perang, hasil dua kongres tahun 1946 memutuskan mendukung perjuangan kemerdekaan. Para perempuan berhasil menjalankan kongres di masa-masa sulit untuk mempertahankan kemerdekaan antara 1946-1950.

Setelah penyerahan kedaulatan, Kowani kembali menyelenggarakan kongres pada 1950 dan mengganti nama federasi menjadi Kongres Wanita Indonesia (KWI). Cora Vreede-deStuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menulis, pada 1953 hasil kongres juga membentuk komite yang mengurus Yayasan Hari Ibu. Perayaan 22 Desember sebagai Hari Ibu sebelumnya diputuskan dalam kongres KPI ketiga di Bandung, Juli 1938. Arsip Kowani mencatat, maksud pemaknaan Hari Ibu dalam kongres adalah hari dimulainya derap kesatuan pergerakan perempuan Indonesia dalam memperjuangkan harkat, martabat, dan negaranya.

SK Trimurti dari Gerakan Wanita Istris Sedar (Gerwis), yang sudah bergabung dengan federasi, menjadi salah seorang yang dipilih sebagai panitia Yayasan Hari Ibu. Menurut kesaksian Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, Gerwis menjadi salah satu pemimpin KWI setelah kongres tahun 1958.

Sejak 1950-an hingga 1966, KWI sangat aktif menyuarakan hak-hak perempuan. Para anggotanya aktif dalam politik. Hal itu sejalan dengan kondisi sosial-politik yang mendorong perempuan untuk menjadi ibu progresif revolusioner yang aktif dalam politik dan memiliki kewenangan besar dalam keluarga. Menurut Cora, setelah kemerdekaan, gerakan perempuan aktif dalam membangun dan memperkuat negara yang baru merdeka.

Namun, G30S 1965 mengubah segalanya. Orde Baru (Orba) memberangus seluruh organisasi yang dianggap berhaluan kiri. Gerwani dan beberapa organisasi perempuan yang dianggap berhaluan kiri dikeluarkan dari Kowani. Orba juga memastikan bahwa organisasi-organisasi yang hidup bisa dikontrol untuk kepentingan politiknya.

Setelah Sidang Umum MPRS 1966, Pemerintah Orba melakukan konsensus politik dengan semua ormas, termasuk Kowani. Maka, diselenggarakanlah Kongres Luar Biasa Kowani pada pertengahan 1966. Ada sekira 35 organisasi yang mengirimkan wakilnya. “(Suharto memastikan –red.) mereka mendukung pemerintahan yang sah, yakni Suharto yang mendapat wewenang Supersemar. Semua takut. Karena kalau enggak, dianggap musuh negara,” kata Ruth Indiah Rahayu.

Lebih lanjut Ruth menjelaskan, strategi Orba untuk menundukkan gerakan perempuan adalah dengan memegang federasinya, yakni Kowani. Dengan demikian, organisasi yang berada di bawah payung Kowani juga ditundukkan. “Jamannya Pak Harto itu ditunjuk aja. ‘Kamu jadi ketua umum’. Pimpinan itu sudah diarahkan. Ya kan waktu itu begitu iramanya,” kata Sri Yulianti Sugiri, ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Kowani.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola