Masuk Daftar
My Getplus

Gaya Kritik Media Zadul

Perang pena kerap terjadi antara koran-koran terkemuka di era Presiden Sukarno berkuasa. Bahkan tak jarang Si Bung Besar sendiri menjadi korban sasaran mereka.

Oleh: Hendi Johari | 07 Jul 2020
Media-media di Indonesia pada 1950-an hingga 1960-an. (Perpusnas RI)

Istana Cipanas 7 Juli 1953. Hartini resmi menjadi istri ke-4 dalam hidup Presiden Sukarno. Kendati acara pernikahan itu dirahasiakan, namun tak ayal kabarnya tetap tertiup ke luar Istana Cipanas. Orang-orang kemudian sibuk memperbicangkannya.

Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit), Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) melakukan demonstrasi menolak pernikahan tersebut. Perwari bahkan mendukung penuh keputusan istri pertama Sukarno, Fatmawati, keluar dari Istana Negara.

Seperti tak mau kalah dengan para aktivis organisasi-organisasi perempuan itu, jurnalis perempuan senior S.K. Trimurti pun angkat pena. Di Suluh Indonesia, harian kaum nasionalis yang menjadi pendukung utama Presiden Sukarno, Trimurti “menghabisi” Bung Karno dalam suatu tulisan berjudul “Bandot Tua Memakan Daun Muda".

Advertising
Advertising

Tulisan itu membuat geger istana. Bukan saja karena yang mengkritik adalah pengikut setia Bung Karno sejak era pergerakan melawan kolonialisme Belanda, namun juga kalimat-kalimatnya menohok perasaan Bung Besar. Namun yang terkena getah langsung dari tulisan tersebut adalah Suluh Indonesia.

Baca juga: Hartini, First Lady yang Tak Diakui

“Sebagai wartawan Suluh Indonesia yang mangkal di Istana, saya kemudian dilarang untuk datang ke Istana Negara selama tiga bulan oleh Kolonel R.H. Sugandhi, salah satu ajudan Presiden Sukarno,” kenang Satya Graha, eks awak koran yang berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI) itu.

Soal kritik ini, sebelumnya kejadian yang lebih seru dialami oleh Rosihan Anwar, jurnalis terkemuka dari Pedoman. Dia pernah diintimidasi oleh Menteri Perekonomian era Kabinet Sukiman yakni Soejono Hadinoto. Ceritanya, suatu hari di tahun 1951, Pedoman via Kili-Kili (tulisan pojok khas koran tersebut) mengkritik kebiasaan Soejono yang kerap menggunakan voorrijders lengkap dengan sirene setiap keluar dari kantornya.

“Buat zaman itu, hal seperti ini dianggap sebagai tidak biasa,” ungkap Rosihan Anwar dalam Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi.

Dikritik demikian, Soejono tersinggung. Beberapa hari usai penayangan tulisan pojok itu, sekitar pukul dua siang, tetiba Soejono muncul dengan dua pengawalnya di kamar redaksi Pedoman. Dia kemudian menghampiri Rosihan yang saat itu tengah menulis. Sambil melotot, dia memarahi Rosihan.

“Ayo kalau kamu laki-laki, mari kita sekarang juga berkelahi! Aku tantang kamu!” teriaknya.

“Ada apa ini?” jawab Rosihan dalam nada tenang.

“Ada apa?! Seperti tidak tahu. Sudah menulis tentang orang, kok bertanya ada apa? Ayo berani enggak berkelahi dengan aku?!” ujar Soejono masih dalam nada keras.

Rosihan tidak meladeni mau Soejono. Alih-alih menerima tantangan, dia malah menyarankan Soejono untuk menggunakan prosedur hak jawab kalau memang merasa kritik Pedoman tidak benar.

“Ah, saya tidak mau berkelahi. Jika memang tidak senang dengan tulisan itu, silakan menulis sanggahannya,” jawab Rosihan.

“Ja, je bent een vis wift. Je bent een lafaard (Ya, kau perempuan yang hanya banyak ngomong. Kau seorang penakut),” ledek Soejono.

“Terserah!” kata Rosihan.

Baca juga: Pertempuran Dua Jurnalis Perang

Sejurus lamanya Soejono Hadinoto berdiri di depan meja Rosihan dengan tatapan mata merah menyala. Rosihan sendiri hanya meladeni dengan sikap tenang-tenang saja. Mungkin karena bosan atau merasa tidak diladeni, pada akhirnya Soejono dan dua pengawalnya pergi meninggalkan redaksi Pedoman.

Rupanya dendam sang mentri belum juga sirna. Beberapa hari kemudian saat menghadiri suatu resepsi, Rosihan bersirobok dengannya di beranda belakang Istana Negara. Refleks Soejono kembali melayangkan tantangan.

“Ayo bilang, kapan kita berduel dengan badik dan di dalam sarung. Ayo, berani?!” gertaknya.

Rosihan hanya mengangkat bahu seraya menjawab: “Dat is te middlelueuws voor mij, nee hoor (Cara itu bagi saya terlalu abad pertengahan, saya tidak mau melakukannya).”

Sejak itu, Soejono tak pernah lagi membahas soal “ajakan berduel” tersebut. Ketika dia dipindahkan ke Kementerian Luar Negeri, dia malah menjadi seorang kawan yang baik untuk Rosihan.

Gegara tulisan pojok pula, dua media ternama saat itu, Merdeka dan Indonesia Raja, pernah saling hantam. Tulisan pojok Merdeka yang menyebut diri sebagai dr. Clenik menyebut gaya tulisan Mas Kluyur, tulisan pojok kepunyaan Indonesia Raja, sebagai gaya straatjongen (berandalan).

Mas Kluyur membalas serangan itu dengan pertanyaan: mengapa setiap kritik atau bentrokan pendapat harus dimaki dengan kata-kata kasar oleh dr. Clenik? Besoknya dr. Clenik malah menyebut Mas Kluyur dengan makian baru: straatmeid (pelacur). Kili-Kili sendiri menyebut gaya dr. Clenik itu sebagai “upaya usang” untuk menaikan oplah.

Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat

Tahun 1964, “pertempuran berdarah-darah” juga terjadi antara Suluh Indonesia vs Harian Rakjat. Adalah Satya Graha, wakil pemimpin redaksi Suluh Indonesia, yang mendengar pada sutau hari mendapat laporan bahwa ratusan eksemplar korannya telah ditemukan berserakan sepanjang jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Dari para informan terpercaya, Satya Graha mendapat kabar bahwa itu merupakan ulah para buruh kereta api yang berafiliasi ke SOBSI, organisasi buruh yang terkait dengan PKI. Mereka mendapat perintah dari pihak Harian Rakjat, koran kiri saingan berat Suluh Indonesia.

“Cara mereka memang kasar, maka saya putuskan untuk membalas aksi mereka tersebut,” kenang Satya.

Dia lantas meminta tolong kepada para buruh kereta api yang berafiliasi dengan KBM, organisasi buruh onderbouw Partai Nasional Indonesia, untuk “menahan” koran Harian Rakjat supaya terlambat datang ke pelosok-pelosok tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Dibandingkan aksi mereka, cara saya itu bisa dikatakan masih halus lho,” kata Satya.

Rupanya aksi balasan tersebut sampai ke telinga Presiden Sukarno, yang secara pribadi memang dekat dengan Satya. Maka pada suatu pagi, usai sarapan, Sukarno pun memanggil Satya.

“Satya, kamu sekarang sudah mulai komunistophobia juga ya?” selidik Bung Karno

“Lho, maksudnya bagaimana, Pak?”

“ Aku dengar kamu mulai menyusahkan Harian Rakjat.

Baca juga: Akhir Tragis Koran Marhaenis

Mendengar jawaban Bung Karno tersebut, Satya langsung maklum: dia telah dilaporkan oleh orang-orang PKI. Tanpa ragu dia lantas menceritakan duduk persoalan pertamanya mengapa semua itu terjadi. Lantas bagaimana reaksi Bung Karno?

“Dia diam saja, tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,” ujar Satya.

Suluh Indonesia memang kerap memilih “jalur keras” terkait dengan PKI. Saat ramai-ramainya aksi sepihak yang dilakukan oleh aktivis-aktivis tani komunis, koran kaum nasionalis itu pun tampil mengecam aksi-aksi tersebut sebagai “revolusi kebablasan”.

TAG

media sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band