Suasana makan malam Presiden Sukarno mendadak terasa suram. Dia marah besar setelah mendapat kabar tentang Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman yang menentang gagasannya soal Manifesto Politik (Manipol) dan Kabinet Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Peristiwa itu terjadi di sela-sela perhelatan Konferensi Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia, pada September 1961.
“Istri atase militer Indonesia di Beograd, Letkol Samosir, yang mendengar itu saat menyiapkan hidangan, menelepon malam itu juga ke Jerman Barat kepada Kolonel D.I. Pandjaitan,” catat Midian Sirait dalam Revitalisasi Pancasila: Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan Sosial.
Kolonel Donald Isaac Pandjaitan, atase militer Indonesia di Jerman, disebut-sebut sebagai “sponsor” atas sikap PPI Jerman. Tudingan itu berasal dari Menteri Penerangan Achmadi ketika menghadiri Kongres ke-IV PPI se-Eropa di Praha, Cekoslovakia, Agustus 1961. Dari Praha, Achmadi kemudian bergabung dengan rombongan kepresidenan di Beograd dan melaporkan hasil kongres kepada Sukarno.
Baca juga: Cerita Sukarno Nonton Kabaret di Beograd
Ketika kongres berlangsung, PPI Jerman yang diwakili oleh Agus Nasution membacakan makalah berjudul “Manipol dan Nasakom sebagai Strategi PKI”. Isi makalah itu menggegerkan seisi forum karena terang-terangan berseberangan dengan garis haluan negara. Apalagi kelompok mahasiswa revolusioner yang pro Sukarno di Eropa Timur juga cukup kuat dominasinya.
“Agus membacakan pokok dan pikiran yang mengatakan Manifesto Politik adalah bagian dari konsep dan strategi PKI. Dari Front Nasional dan Manifesto Politik, PKI akan menuju kepada pengambilan kekuasaan di Indonesia,” tutur Midian Sirait yang waktu itu menjadi ketua PPI Jerman.
PPI Jerman didirikan atas prakarsa Chairul Saleh, tokoh penting Murba bersama Sukarni di balik penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, saat menjalani "pembuangan" ke Jerman. Sebagai pengikut Tan Malaka, Chairul amat berseberangan dengan PKI. Perbedaan pandangan itu pula yang membuatnya gerah dengan keadaan makin kuatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan.
"Kita urus mahasiswa di luar negeri dalam 1 (satu) organisasi supaya ada disiplin dan mahasiswa luar negeri dapat kita atur," kata Chaerul, dikutip Irna HN Soewito dalam Chairul Saleh Tokoh Kontroversial. "Itulah asal-usul didirikannya PPI. Dengan menghimpun kesatuan organisasi pelajar Indonesia di Eropa dan mendaya-gunakan pengetahuan serta pengalaman mereka selama di luar negeri, ia memprakarsai dibentuknya Perhimpunan Pelajar Indonesia di Bonn."
Dibandingkan PPI di negara lain, PPI Jerman beranggota paling banyak. Namun, dalam kongres, masing-masing PPI hanya punya satu suara. PPI Jerman akhirnya kalah suara dalam penentuan resolusi.
Baca juga: Diplomasi Sunyi Perwira TNI
PPI Jerman sebenarnya sudah berkomunikasi kepada sejumlah pihak yang mewakili pemerintah Indonesia. Termasuk kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Haris Nasution ketika berkunjung ke Jerman pada Juni 1961. Nasution tidak setuju dengan Nasakom tapi sepaham dengan Manipol. Meski demikian, dia mengizinkan makalah tersebut dibawakan dalam kongres PPI di Praha.
Menjelang Kongres PPI di Praha, seturut Payaman Simanjuntak, Midian Sirait telah bertemu Kolonel Pandjaitan dan Letkol Junus Samosir untuk menjelaskan sikap kelompoknya. Kedua perwira atase militer ini mendukung pandangan PPI Jerman tersebut. “Tetapi karena ketika itu sikap resmi pimpinan AD adalah netral karena belum bersedia bertengkar dengan Bung Karno, maka kedua perwira itu tidak dapat memberi pertanyaan di muka umum yang mendukung kelompok itu,” catat Payaman dalam Keteladanan Mayor Jenderal TNI (Purn.) Junus Samosir dan Landasan Pembangunan Moral.
Setelah kongres usai, Pandjaitan diperintahkan menghadap Bung Karno ke Beograd. Pandjaitan agak kaget dan tegang mengetahui dirinya dipanggil presiden. Dia sempat memanggil delegasi PPI Jerman, menanyakan soal apa yang terjadi di Praha. Namun, para mahasiswa itu membesarkan hati Pandjaitan, bahwa ia dianggap berpengaruh di kalangan PPI.
Baca juga: D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
Tidak hanya Pandjaitan, Duta Besar Lukman Hakim dan Letkol Junus Samosir juga turut dipanggil. Mereka dianggap bertanggung jawab meloloskan makalah kontroversial dari kelompok mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam PPI Jerman.
“Setibanya kembali di Bonn, suami saya memanggil Midian Sirait, dan mengatakan bahwa Presiden telah memarahinya,” tutur istri Pandjaitan Marieke Pandjaitan br. Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran.
Kena omelan Bung Karno membuat Pandjaitan harus lebih berhati-hati dalam membina mahasiswa Indonesia di Jerman. Kepada Midian Sirait, Pandjaitan menyarankan PPI Jerman supaya tidak dianggap anti Manipol, anti-Nasakom, dan anti-Bung Karno. Midian Sirait meyakinkan, kelompoknya bukanlah anti-Sukarno, melainkan orang-orang Pancasilais.
Tapi, Sukarno masih curiga dengan kegiatan politik mahasiswa Indonesia di Jerman. Untuk itu, dia mengutus orang kepercayaannya ke Jerman, yaitu Mohammad Yamin. Saat itu, Yamin menjabat sebagai ketua Dewan Perancang Nasional (kini Bapenas).
Baca juga: Imajinasi Yamin Tentang Papua
Yamin diketahui kurang begitu antusias dengan gagasan Nasakom. Namun, dia punya obsesi tinggi akan terwujudnya kesatuan Indonesia dari Sumatra hingga Papua. Imaji kebangsaan Yamin itu bersandarkan pada sejarah kejayaan Majapahit di masa silam. Namun, pada saat itu Papua yang masih bernama Irian Barat masih dikuasai Belanda.
Sesampainya di Bonn, sekira 200 mahasiswa Indonesia berkumpul menyambut kedatangan Yamin. Pidato-pidato perjuangan dikumandangkan, PPI Jerman menyatakan dukungan atas perjuangan membebaskan Irian Barat. Mereka bahkan menyatakan siap diterjunkan untuk merebut Irian Barat dari tangan kolonial Belanda. Itulah ihwal terbentuknya Badan Perjuangan Pembebasan Irian Barat (Baperpib) PPI Jerman Barat. Barisan sukarelawan ini dipimpin oleh lr. Oerip Markaban.
“Mohammad Yamin menjadi amat terharu, dan meneteskan air mata. D.I. Pandjaitan berbisik kepada saya, ‘dengan satu pernyataan saja Pak Yamin telah meneteskan air mata, bagaimana kalau kita berikan lebih banyak pernyataan?’” kenang Midian Sirait.
Baca juga: Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba
Dalam balasan, Yamin menegaskan, “Mahasiswa Indonesia di Jerman Barat ternyata difitnah. Tidak betul mereka tidak Pancasilais, tidak betul mereka tidak beraliran kebangsaan, dan tidak betul mereka tidak mendukung Bung Karno.” Setelah penyambutan, Yamin diajak jalan-jalan menyusuri Sungai Rhein. Keindahan sungai itu menggugah perasaan romantis dalam diri Yamin. Matanya berkaca-kaca lagi seraya berujar, “Bisa dimengerti, kenapa Jerman melahirkan filsuf-filsuf besar, karena alamnya indah dan membangkitkan inspirasi.”
Setelah urusan di Bonn beres, Yamin kembali ke Beograd. Dia pulang membawa kabar kepada Sukarno tentang mahasiswa Indonesia di Jerman yang patriotik dan nasionalis. Sukarno bungah mendengarnya. Dia berpesan agar atase militer maupun pejabat kedutaan lainnya terus mengayomi para mahasiswa itu.
“Dengan demikian selesailah masalah tuduhan terhadap mahasiswa Indonesia di Jerman Barat, termasuk tuduhan terhadap suami saya dan Duta Besar Lukman Hakim,” terang Marieke.