SEPANJANG masa kekuasaan Orde Baru, citra Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tak seagung namanya. Akronimnya kerap dipelesetkan menjadi “Dewan Pensiunan Agung” atau yang lebih parah lagi “Diam Pasti Aman”. Laksamana Soedomo, ketua DPA periode 1993-1998, bukannya tidak menyadari gunjingan terhadap lembaga yang pernah dipimpinnya itu. Kelakar masyarakat soal DPA sebagai Dewan Pensiunan Agung seolah jadi lumrah.
“Ini tidak bisa disalahkan, karena rakyat yang merasa telah membayar pajak cukup banyak, ingin tahu juga apa sih kerja DPA,” kata Sudomo sambil tersenyum setelah dilantik menjadi ketua DPA, dikutip dalam Majalah Dharmasena, No 6, Juni 1993.
Senyapnya suara DPA, menurut Soedomo, tidak dapat dipersalahkan. Sebab, “diamnya” mereka terikat pada tata tertib atau ketentuan yang berlaku. DPA periode 1988-1993 pimpinan Jenderal Maraden Panggabean setidaknya telah menghasilkan 38 pertimbangan untuk Presiden Soeharto dan 11 permasalahan yang masih dalam pembahasan. Masalah itulah yang menjadi agenda DPA periode Soedomo untuk diselesaikan menjadi masukan kepada presiden. Bersama anggota DPA yang berjumlah 45 orang itu, Soedomo sepakat untuk melakukan pembaruan terhadap citra DPA.
Baca juga: Ketika Bang Ali Mau Gebuk Pak Domo
“Sehingga kesan terhadap DPA adalah Dewan Penggerak Aktualisasi,” ujar Soedomo setengah bergurau.
Dekadensi terhadap kedudukan DPA sebenarnya sudah terjadi sejak awal lembaga itu berdiri. Memang, sosok yang menjadi anggota DPA itu pada umumnya adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman bahkan sepuh. Ada pula yang menyatakan bahwa DPA terdiri dari kumpulan orang-orang tua.
Harsono Tjokroaminoto, tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), menuturkan DPA di zaman permulaan Republik di Yogyakarta dulu secara sinis dibilang sebagai Raad van Fossielen atau Dewan dari Sejumlah Fosil. Suara sumbang yang lain mengatakan anggota-anggota DPA terdiri dari orang-orang golongan generation of sunset, yaitu generasi larut senja. Memasuki era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ceritanya lain lagi. Presiden Sukarno menempatkan dirinya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung.
“Dengan demikian terjadi Bung Karno menasihati dirinya sendiri,” kenang Harsono sebagaimana dikisahkan Soebagijo I.N dalam biografi Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah.
Baca juga: DPA dari Masa ke Masa
Harsono sendiri ditunjuk menjadi anggota pada masa awal Orde Baru. Saat itu, Harsono baru saja purnabakti menjalankan tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Swiss pada 1975. Memasuki masa pensiun itulah Harsono bergabung dengan DPA periode 1973—1978 yang sudah setengah jalan. Dia kembali menjadi anggota DPA untuk periode 1978—1983. Harsono tidak menampik bahwa DPA menjadi lembaga hunian bagi para pensiunan. Nada sumbang atau predikat miring mengenani DPA baginya sah-sah saja.
“Tetapi baginya yang telah cukup lama menjabat sebagai anggota, Harsono merasakan betapa tidak sia-sianya duduk disana. Pengalaman-pengalaman berharga selama hidupnya […] kesemuanya itu dirasakannya sangat besar manfaatnya bagi pengabdiannya dalam lembaga tinggi negara seperti Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia,” catat Soebagijo I.N.
Selain tempat menepi para pejabat pensiunan atau sesepuh negara, DPA di masa Orde Baru juga menjadi opsi bagi Presiden Soeharto untuk menghukum loyalisnya yang bertingkah. Kasus Letnan Jenderal Harsudiono Hartas merupakan ilustrasi yang pas untuk menggambarkan tindakan Soeharto menghukum eks pembantunya yang dinilai bersalah.
Baca juga: Nasib Jenderal Pembangkang di Era Soeharto
Hartas --Kepala Staf Sosial-Politik (Kasospol) ABRI– menurut pakar komunikasi politik dan pengamat politik UPH Tjipta Lesmana, dianggap menjebak Soeharto soal siapa yang bakal mendampinginya sebagai wakil presiden. Hartas suatu ketika melontarkan pernyataan mengejutkan pada pers bahwa ABRI mengajukan Jenderal Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden dalam Sidang Umum MPR 1993. Padahal, Soeharto saat itu menginginkan B.J. Habibie sebagai wakilnya untuk periode 1993—1998. Imbas dari ceplas-ceplosnya itu, Hartas kemudian digeser dari Mabes ABRI ke DPA.
“Penetapan Hartas sebagai anggota –meski kemudian juga terpilih sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung– jelas merupakan hukuman Pak Harto karena jenderal yang satu ini dinilai telah mem-fait-accompli-nya secara terbuka. DPA ketika itu sering diplesetkan menjadi Dewan Pensiunan Agung, padahal Hartas ketika itu masih jenderal aktif,” terang Cipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa.
Sementara itu, Ahmad Syafii Maarif, cendekiawan Muslim dari Muhammadiyah, menyaksikan DPA pada periodenya bukan main aktifnya membuat berbagai pertimbangan dan saran presiden. Entah berapa ribu halaman kertas yang telah digunakan untuk tujuan itu.
Baca juga: Nasihat Soeharto untuk Gubernur Irian Jaya
Pengakuan Buya Syafii menempatkan DPA sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai lembaga tinggi penasihat presiden. Hanya saja, menurutnya, tidak banyak dari pertimbangan dan saran itu yang dipakai rujukan oleh Presiden Soeharto. Namun, Presiden Habibie cukup mendengarkan DPA karena punya hubungan baik dengan ketua DPA seperti Baramuli maupun Achmad Tirtosoediro. Saat bergabung dalam DPA, Syafii sudah berusia 63 tahun sedangkan banyak rekan-rekannya yang lain jauh di atasnya.
“Itulah sebabnya barangkali ada orang yang membaca DPA sebagai Dewan Pensiunan Agung, karena dinilai kurang efektif dan banyak diisi oleh para pensiunan, baik sipil maupun militer,” kenang Syafii dalam otobiografinya Titik-titik Kisar di Perjalananku. “Bagiku apapun kata orang, aku sungguh banyak belajar dari anggota-anggota lain yang sudah kenyang dengan pengalaman dalam menangani berbagai masalah bangsa dan negara ini.”