Masuk Daftar
My Getplus

Dari Pengajar ke Pengacara

Seorang Tionghoa yang namanya diabadikan menjadi penghargaan bagi pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Semasa hidupnya bergaul dengan kaum miskin. Mengabdikan diri sebagai pengajar kemudian pengacara.

Oleh: Aryono | 01 Jan 2018
Yap Thiam Hien dalam sebuah persidangan.

SEKIRA tahun 1994, Harry Wibowo, mantan Koordinator Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Marsinah, ditarik pengacara Todung Mulya Lubis untuk menjadi pengurus Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham). Dia diminta Todung untuk memperbaiki kinerja Yapusham khususnya program database mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Program pusat informasi HAM yang dimiliki Yapusham ini juga digunakan untuk melakukan penjaringan tokoh masyarakat yang berjuang dalam penegakan HAM sehinga layak mendapat Yap Thiam Hien Award.

“Guna mendapat database HAM yang lengkap, kami berlangganan 32 koran kuning (sebutan bagi koran yang memberitakan masalah kriminal dan seks, red.), lalu kami teliti pemberitaan mengenai pelanggaran HAM. Koran kuning ini kan isinya kejadian-kejadian di daerah yang luput dari perhatian pusat. Sekaligus dari penelitian ini, kami memberi masukan siapa-siapa saja yang bisa menjadi nominator penerima Yap Thiam Hien Award,” ujar Harwib kepada Historia.

Siapakah Yap Thiam Hien sehingga namanya dijadikan penghargaan bagi pejuang HAM di Indonesia?

Advertising
Advertising

Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Leluhurnya adalah eksodus dari Tiongkok Selatan, tepatnya dari Provinsi Kwantung Distrik Moi-yan Subdistrik Lo-yi, sekira 1844.

Setiba di Hindia Belanda, leluhurnya menetap di Baturusa, Bangka. Dia menikahi perempuan setempat hingga dikaruniai tiga putra dan seorang putri. Putra ketiga, Yap A Sin, kakek buyut Yap Thian Hiem, hijrah ke Baturaja dan menikahi Tjoe Koei Yin, putri Kapitan Tjoe Ten Hin, pada 1874.

Di Baturaja, kedudukan Yap A Sin meningkat yang semula kontraktor tenaga kerja menjadi berpangkat letnan. Kedudukan ini diteruskan putra pertamanya, Yap Joen Khoy, yang kemudian menjadi wijkmeester atau kepala lingkungan.

Yap Joen Koy (1875-1919) menikahi Tjoa Soei Hian dan dikaruniai putra, Yap Sin Eng, ayah Yap Thiam Hien. Setelah Tjoa Soei Hian meninggal muda, Yap Joen Koy menikah lagi dengan perempuan Jepang, Sato Nakashima.

“Yap Sin Eng ini menjadi garis pertama dalam keluarga tersebut yang mengidentifikasi diri menjadi lebih peranakan daripada totok. Selain bisa mengunakan bahasa Hakka dan Hokkien, dia juga mampu berbahasa Melayu dan Belanda, bahkan mengikuti pendidikan Belanda. Baju yang dikenakan pun model Eropa dan belajar menggesek violin –seperti yang dilakukan Yap Thiam Hien kelak– dan Yap Sing Eng pun menjadi pegawai kantor,” tulis Daniel S. Lev dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer.

Belajar dan Mengajar

Yap Thiam Hien adalah anak sulung dari lima bersaudara tetapi dua saudaranya meninggal lebih dulu. Di usia sembilan tahun, dia kehilangan ibunya yang meninggal karena sakit. Dia dan dua adiknya diasuh Sato Nakashima. Neneknya itu memberinya rasa aman, perhatian, kasih sayang dan pendidikan karakter, yang tak didapat dari ayahnya karena sibuk.

Saat Yap Sin Eng memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa, anak-anaknya pun memperoleh kesempatan menempuh pendidikan Eropa. Sehingga Yap Thiam Hiem dapat belajar di Europesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropa) dan MULO (sekolah menengah pertama untuk orang Eropa) di Banda Aceh.

Pada 1920-an, Yap Sin Eng membawa Yap Thiam Hien dan adiknya, Yap Thiam Bong, pindah ke Batavia dan melanjutkan sekolah di MULO Batavia. Yap meneruskan ke Algemene Middelbare School program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta, dan lulus pada 1933.

“Selama di Yogya, Hien indekos di rumah keluarga Hermann Jopp. Dia adalah warga keturunan Jerman-Indonesia yang bekerja sebagai topografer untuk keraton, dan tinggal di Jalan Magelang, sekira dua mil ke arah utara keraton. Di sini pula Hien mengenal agama Kristen Protestan,” tulis Lev.

Setamat AMS tahun 1933, Yap kembali ke Batavia. Suasana Depresi Ekonomi membuat perekonomian tersendat, termasuk keluarganya. Di Batavia, Yap frustasi sebab tak kunjung beroleh kerja. Dia mencoba menjadi guru dengan memasuki Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis (kini, Jatinegara), sekolah pendidikan guru satu tahun dengan biaya 5 guilder per bulan. Neneknya, Sato, membantu uang kuliahnya.

Setamat dari HCK, Yap menjadi guru di sekolah misionaris di Cirebon dan Hollandsch Chineesche School (HCS) di Rembang yang termasuk wilde scholen atau sekolah yang tidak diakui pemerintah. Sebagai guru, Yap membaur dengan para siswanya. Dia sering bermain kasti (baseball ala Belanda), berenang, dan bersepeda dua kali dalam sebulan.

Masa empat tahun di Cirebon dan Rembang sangat penting dalam kehidupan Yap selanjutnya. Pergaulannya meluas, kemampuan mengorganisasi berkembang baik dan kepercayaan diri yang meningkat.

“Dua puluh tahun pertama dalam hidupnya, Hien bergaul dengan bermacam kelas, baik dengan sesama Tionghoa maupun dengan etnis lain. Dia mulai mendekatkan diri dan bergaul dengan banyak sekali kaum miskin,” tulis Lev.

Di usia 25 tahun pada 1938, Yap memutuskan kembali ke Batavia.

Jalan Pembela

Di Batavia, keadaan ekonomi keluarga Yap Sin Eng tak juga membaik. Mau tak mau, sebagai anak tertua, Yap Thiam Hien menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala keluarga. Di zaman itu, kehidupan peranakan jauh lebih sulit daripada totok. Kaum totok dapat saja kembali ke negeri Tiongkok, tetapi kaum peranakan harus bertahan.

Yap Thiam Hien kembali menjadi guru di HCS khusus anak-anak Tionghoa miskin. Dari situ, dia pindah kerja menjadi pencari pelanggan telepon hingga menjadi pemeriksa wilayah komersial milik warga Tionghoa di sepanjang Jalan Molenweg (kini, Jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat). Dia digaji 100 guilder per bulan. Dia mengambil sekolah hukum setelah tabungannya cukup. Keputusan ini disetujui segenap anggota keluarganya.

Pada 1946, Yap Thiam Hien berangkat ke negeri Belanda guna menempuh studi hukum di Universitas Leiden, dengan menumpang kapal yang membawa orang-orang Belanda dari Indonesia ke negara asalnya. Selama belajar di Leiden, dia tak hanya belajar hukum tetapi juga mendalami agama dan politik. Dalam politik, dia banyak belajar dengan para mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Buruh. Dia tinggal di Zendinghuis, daerah Oogstgeest, di luar Kota Leiden.

“Dia banyak membaca teologi Protestan modern dan bergaul dengan siswa yang mempersiapkan pekerjaan misi. Dia berkomitmen terhadap gereja, namun juga penafsiran independennya tentang agama, semakin dalam. Gereja menawarkan kepadanya pelatihan lebih lanjut di Selly Oakes di Inggris jika dia akan berkomitmen pada pekerjaan gereja di Indonesia,” tulis Daniel S. Lev dalam “Becoming an Orang Indonesia Sejati: The Political Journey of Yap Thiam Hien,” Indonesia, edisi Juli 1991.

Yap Thiam Hien meraih gelar Meester in de Rechten pada 1947. Sekembali ke Indonesia, dia aktif dalam gereja dengan turut mendirikan Yayasan Pendidikan Gereja Indonesia. Sejak 1948, Yap memutuskan untuk menjadi pengacara profesional hingga akhir hayatnya.

TAG

yap thiam hien

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971