Masuk Daftar
My Getplus

Budak Merdeka dari Hindia

Kisah sejarah yang diangkat ke dalam fiksi. Tentang mereka yang berusaha untuk jadi manusia merdeka.

Oleh: Bonnie Triyana | 14 Sep 2017
Tentara Waffen SS memasuki Amsterdam etelah Belanda menyerah kepada Nazi-Jerman pada Mei 1940. Foto: pinterest.com.

NAIKAI Florestan, demikian nama yang diberikan oleh sang penulis Joss Wibisono untuk karakter utama di dalam buku cerita pendeknya, Naikai, yang diluncurkan hari Minggu, 10 September lalu di Quaker Centrum, Amsterdam. Naikai, sebagaimana diceritakan oleh Joss, seorang budak yang berasal dari Flores dan diperdagangkan di Bali.

Setelah dibeli oleh tuannya, dia dibawa ke Batavia. Kemudian si tuan beranjak tua dan semakin ringkih. Sebagai seorang trekker atau orang Belanda yang tak berniat menetap selamanya di Hindia Timur, dia harus pulang. Namun perjalanan pulang ke Eropa pada awal abad ke-19 memakan waktu berbulan-bulan. Sang tuan butuh pengawal sekaligus pelayan. Maka Naikai turut pergi dibawanya pulang ke negeri sang tuan.

Menjelang ajal, sang tuan memberikan kemerdekaan padanya. Semenjak itu dia menjadi manusia bebas yang meniti karier sebagai penyanyi opera dan terkenal seantero Eropa. Tak seorang pun tahu ihwal muasal Naikai yang berasal dari Hindia. Namanya mengundang keheranan sebagian orang, karena tak satu pun orang Belanda memiliki nama sepertinya: Naikai Florestan. Bahkan ada yang mengira dia datang dari Friesland, wilayah utara Belanda tempat di sebagian warga berbahasa Belanda dengan dialek tersendiri.

Advertising
Advertising

Joss piawai merajut cerita: mengalir berkelak-kelok. Sebagai seorang wartawan yang telah tinggal di Amsterdam selama puluhan tahun, dia hapal betul setiap sudut kota tersebut dan memindahkannya sebagai latar belakang tempat di dalam ceritanya itu. Kalau pembaca datang dari kota lain, mungkin butuh peta google untuk mencari tempat-tempat yang disebutkan olehnya.

Tapi itu fiksi. Bagaimana kisah sebenarnya dari Naikai? Joss menutukan kalau Naikai adalah tokoh historis. Dia ada dan pernah hidup. Karakter Naikai dalam sosok aslinya bernama Wange Ricard van Bali. Nama Van Bali merujuk kepada Bali, tempat dia dibeli oleh tuannya. Lahir pada 1798 dan dibawa ke Belanda pada 1813. Setelah merdeka, Wange bekerja sebagai portir pada kementerian perang di Delft.

Kisah Naikai hanya satu dari sekian cerita yang ditulis oleh Joss mengenai orang-orang Hindia Timur yang datang dan kemudian melewati hidupnya di negeri yang dingin ini. Dalam buku kumpulan cerita lain, Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan, Joss meriwayatkan tentang orang-orang Indonesia yang ikut melawan Nazi ketika menduduki Belanda dalam Perang Dunia Kedua.

Dua tokoh sentral dalam cerita itu adalah Irwan dan Setiadji. Dikabarkan dalam ceritanya, mereka adalah dua mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda namun perang datang mendera sehingga terpaksa mereka tak bisa lagi nyaman berkuliah. Mereka pun bergabung dengan perlawanan bawah tanah, membuat pamflet-pamflet propaganda yang menggalang solidaritas menentang pendudukan Nazi.

Mereka bekerja diam-diam, demi menghindari para moffen, sebutan kepada serdadu Jerman yang menguasai Belanda. Resiko tertinggi dari perlawanan itu adalah mati. Dan itulah yang terjadi kepada Irwan yang kepergok tentara Jerman dan ditembak mati ketika berusaha lari dari mereka.

Ini juga fiksi. Tapi lagi-lagi fiksi yang bersandar pada kisah historis. Irwan, saya duga, adalah Irawan Soejono. Mahasiswa Universitas Leiden anak Raden Adipati Soejono, seorang Jawa yang pernah jadi menteri dalam kabinet pemerintahan Belanda di pengasingan di London saat Nazi menduduki Indonesia. Irawan tewas ditembak serdadu Nazi ketika bersepeda membawa mesin cetak stensil di Leiden, 13 Januari 1945. Namanya diabadikan sebagai jalan di Amsterdam dan beberapa lalu dinobatkan sebagai pahlawan kota Leiden.

Dalam kisah satu ini Joss berhasil “menghidupkan” Irawan dan juga suasana mencekam ketika Nazi menduduki Belanda. Gambaran yang penuh ironi karena tak berapa lama setelah perang usai, Belanda mengirim serdadu-serdadunya ke Indonesia dengan alasan untuk membebaskan negeri koloni mereka dari cengkeraman fasisme Jepang. Sebagaimana mereka juga alami ketika Jerman menguasai negeri mereka.

Dari ini benang merah sejarah bisa direntangkan. Menarik hubungan nasib satu negeri dengan negeri lainnya dalam situasi yang rumit. Belanda pernah menjajah, juga pernah dijajah. Indonesia pernah dijajah, tapi pula pernah menduduki Timor Leste dengan segala macam alasan di baliknya. Masing-masing, dengan itikadnya dan caranya masing, ingin terbebas dari beban masa lalunya.

Baru-baru ini bahkan pemerintah Belanda menggelontorkan 4,1 juta euro untuk menyokong penelitian sejarah mengungkap periode dekolonisasi. Ada banyak kontroversi. Mungkin bagi orang Belanda periode itu penuh oleh memori kelam yang belum sepenuhnya terungkap, sebagaimana juga orang Indonesia memandang peristiwa genosida politik 1965-1966.

TAG

surat dari amsterdam

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel Eks Pemilih PKI Pilih Golkar