Masuk Daftar
My Getplus

Berpikir Lurus dan Jernih

Oleh: Risa Herdahita Putri | 05 Jun 2017
Salman Aristo. (Dok. Pribadi).

Bagi penggemar film nasional, nama Salman Aristo (40 tahun) pasti tak asing. Dia pernah menjadi penulis skenario, sutradara, produser, atau ketiganya sekaligus.

Salman mulai menulis naskah skenario pada 1999. Namun film pertamanya sebagai penulis skenario adalah Brownies (2005). Film ini mengantarkannya masuk nominasi penulis naskah terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005. Sejak itu, dia dipercaya menggarap naskah skenario film yang menjadi box office. Sebut saja Alexandria (2007), Ayat-Ayat Cinta (2007), Laskar Pelangi (2008), Garuda di Dadaku (2009), Sang Penari (2011).

Salman menjadi co-produser dalam film horor Jelangkung 3 (2007). Debutnya sebagai produser adalah film Queen Bee (2009). Dia lalu menjajal bangku sutradara, sekaligus sebagai penulis skenario dan produser, saat menggarap film Jakarta Maghrib (2010). Pada 2012, dia kembali menjadi sutradara untuk film Jakarta Hati.

Advertising
Advertising

Dalam kehidupannya sehari-hari maupun kariernya, Salman bilang amat terpengaruh oleh sosok Mohammad Hatta, mantan wakil presiden Indonesia pertama. Kepada Historia, dia bercerita mengenai kekagumannya pada Hatta, khususnya dalam membentuk logika berpikirnya.

Apa yang membuat Anda mengagumi Hatta?

Saya mengaguminya sebagai sosok pemikir, kejernihan pikirannya, terlepas dari sikap politiknya. Pengaruhnya sangat besar. Dia mengajarkan bagaimana memiliki pola pikir yang lurus.

Bagaimana awalnya bisa mengenal Hatta?

Almarhum bapak gue Hattais. Di rumah lebih banyak buku Bung Hatta dibanding Bung Karno. Lalu pola didikan bapak gue, yang dari kecil harus bisa menjelaskan apapun. Membuat logika pikiran itu runut. Misalnya, kenapa gue minta gitar. Itu nggak akan dapet kalau nggak bisa menjelaskan why-nya. Mungkin terpola begitu. Akhirnya lebih bisa nyambung dengan pemikiran Hatta, dengan tulisan-tulisannya.

Hatta memberi pengaruh ketika Anda menulis?

Sangat. Gue pembaca sejarah. Ada banyak tokoh yang di titik ini memberi inspirasi guesoal A, soal B. Tapi, itu tadi, Hatta meletakkan dasar logika berpikir gue. Membuat guemeluruskan logika berpikir. Dalam menulis selalu begitu. Premisnya apa, duduk permasalahannya gimana. Gue harus punya logika berpikir yang beres dulu, bagaimana melihat suatu permasalahan dengan jelas, dan gue harus tahu dulu apa yang mau ditulis. Ini lagi mau apa, mau ke mana arahnya cerita.

Apa yang paling Anda ingat dari Hatta?

Waktu kelas 1 SMP, gue baca buku Hatta dari koleksi bokap. Judulnya Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan. Karya yang luar biasa. Sejak itu gue jadi pengagum berat Bung Hatta. Buku itu tipis. Isinya tentang logika dasar yang mengubah pola pikir gue. Gue bingung kenapa buku itu nggak pernah masuk kurikulum. Bukunya mudah dibaca, mudah dimengerti.

Apa yang bisa Anda pelajari dari buku itu?

Hatta mampu menyampaikan gagasannya dengan cara simpel. Gue baca bukunya sangat mudah, dibanding baca buku Tan Malaka, misalnya, yang waktu SMP pusing dan baru ngerti pas kuliah apa maksudnya. Bung Hatta hanya sekali lewat. Namun bukan berarti tidak berbobot. Dia berbicara dengan jelas dan jernih, mudah dimengerti, tetapi bukan kacangan dan tanpa pesan. Secara pribadi gue juga berusaha melakukan hal sama dalam menulis skenario. Bagaimana pesannya mudah disampaikan, tetapi bukan kacangan.

Bagaimana cara Anda mengingat idola Anda itu?

Saya bikin skenarionya, tentang Hatta, terlepas nanti difilmkan atau nggak.

TAG

Hatta

ARTIKEL TERKAIT

Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Pesan Bung Hatta untuk Pemilih dalam Pemilu Membidik Wapres Usia Muda Bung Hatta dan Koperasi Mengungsikan Bung Hatta Jelang Pemilu Perdana Orba Candaan Bung Hatta dan Kawan-kawan di Bangka Bung Hatta Sebagai Idola Sumbangan Rakyat Bangka untuk Republik Indonesia Mata-mata Mengawasi Bung Hatta Kerangkeng Belanda