Pada 1945, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Zainal Sabarudin menangkap Soerjo, seorang bekas shudancho, di Sidoarjo. Dia menuduh Soerjo, dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda.
Sabarudin lalu menggelandang Soerjo ke alun-alun Sidoarjo lantas mengikatnya ke tiang. Tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut, Sabarudin menembaknya dalam jarak dekat. Tembakan itu tak mengakhiri hidup Soerjo.
“Sabarudin mengambil samurai Jepang dan menebas leher pemuda itu hingga tewas,” tulis Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang.
Kekejaman Sabarudin melegenda. Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo, sahabatnya.
Baca juga: Moehammad Jasin Komandan dan Polisi Istimewa
Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda (NIPV) turut dalam jambore ke Negeri Belanda.
Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si Pemburu Volume 2, alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Sabarudin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo ke lapangan penghabisan.
Zainal Sabarudin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai karyawan di kantor kabupaten merangkap penata buku di sebuah perkebunan gula di Sidoarjo. Semasa pendudukan Jepang dia didapuk sebagai komandan kompi Pembela Tanah Air (Peta) di kota yang sama.
Baca juga: Sabarudin Mengawal Tan Malaka Bergerilya
Usai proklamasi, Sabarudin ditunjuk menjadi kepala PTKR. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan.
Kepada para tawanan yang tak disukainya, Sabarudin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Sabarudin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.”
Bahkan Sabarudin menjadikan tawanan-tawanan perempuan sebagai budak. “Perempuan-perempuan muda Indo-Eropa dijadikan harem-haremnya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid IV.