Masuk Daftar
My Getplus

Baru

Orde Lama versus Orde Baru. Apa yang baru dari Orde Lama? Dan apa yang lama dalam Orde Baru?

Oleh: Bonnie Triyana | 25 Feb 2013

SEANDAINYA sejarah cuma buku tahunan, yang dibuka awal tahun dan ditutup pada akhir tahun, mungkin ia hanya sederet catatan peristiwa tanpa makna. Seperti kronik yang hanya berfungsi sebagai pengingat: tentang kelahiran; kematian; perang; bencana; keceriaan dan kepedihan. Tak ada yang baru, seperti kaset lama memutar lagu yang sama.

Sejarah pun punya geraknya sendiri: spiral, siklus dan linear. Dalam sebuah gerak spiral, dinamika peristiwa bersifat progresif dan berkelanjutan, karena peristiwa sejarah merupakan kesinambungan yang selalu terangkai dari masa lalu. Seperti ulir spiral yang selalu bertemu pada titik yang sama namun peristiwa selanjutnya selalu dianggap bergerak lebih maju dari sebelumnya.

Siklus adalah roda berputar. Seperti jalan nasib cakra manggilingan; sebuah gerak sejarah yang menggambarkan siklus kehidupan yang silih berganti dengan hukum alam sebagai penentu. Kelahiran dan kematian adalah rotasi. Seakan tak ada yang baru dalam gerak ini, semua berulang kembali dalam pola yang sama. L’histoire se repete, kata orang Prancis.

Advertising
Advertising

Sementara sejarah dalam gerak yang lurus selalu menunjukkan bahwa peristiwa dalam sejarah manusia berjalan maju, meninggalkan semua yang ada di belakang. Seperti fase yang selalu baru dari waktu ke waktu; sebuah tahapan sejarah yang progresif dan tak terikat ruang-waktu pada masa sebelumnya. Ia sepenuhnya yang baru; alam yang dianggap lebih baik dari sebelumnya.

Tapi kenyataannya tak sesederhana itu. Yang baru atau yang lama bermula dari sebuah persepsi dan berakhir sebagai kesimpulan. Ada kalanya seperti memaknai hitam versus putih; acapkali abu-abu.

Orde Lama versus Orde Baru. Apa yang baru dari Orde Lama? Dan apa yang lama dalam Orde Baru? Begitu pula sebaliknya. Apakah yang baru berarti lebih baik dari yang lama? Sukarno tak pernah setuju dengan kategori itu. Dalam sebuah pidatonya, pada hari-hari yang suram di pengujung kekuasaannya, dia meradang, menggugat pengotak-kotakan zaman itu. Tak rela dianggap usang pada zaman di mana yang muda menginginkan yang baru.

Sukarno adalah “sang baru” pada saat Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Dia dan kawan-kawan seangkatannya, menebar harapan tentang sebuah zaman baru di mana rakyat bakal hidup lebih sejahtera dan makmur apabila Belanda hengkang dari negeri ini. “Di seberang jembatan, jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi,” kata Sukarno dalam pidatonya di hadapan sidang persiapan kemerdekaan, 1 Juni 1945. Maka zaman pun berganti. Alam kemerdekaan jadi yang baru, gantikan zaman kolonial.

Tapi yang baru ternyata tak berlangsung lama. Demokrasi, yang dianggap baru itu, ternyata berusia sampai 1956. Sukarno membuat percobaan baru: demokrasi terpimpin. Tapi hal baru itu ternyata dianggap mengingatkan orang akan hal-hal lama, seperti zaman sebelumnya: pembreidelan surat kabar (Pedoman, Abadi dan Indonesia Raja). Alasannya: kontrarevolusioner harus minggir karena revolusi sedang berlangsung. Tujuan kepada sosialisme Indonesia sedang digagas sebagai wujud pembaruan masyarakat Indonesia.

Tiba-tiba usaha menuju sosialisme Indonesia berhenti di tengah jalan pada awal Oktober 1965. Dalam pergolakan politik yang panjang, sejak 1966 sampai dengan 1967, yang baru mendesak yang lama untuk turun dari panggung kekuasaan. Sukarno, “sang baru” di zaman kolonial itu, dipaksa mundur, diganti oleh Soeharto yang mengusung Orde Baru. Harapan kembali ditebar: di alam yang baru takkan lagi ada antre beras dan minyak karena ekonomi dijadikan panglima.

Orde Baru ternyata mengulang apa yang pernah terjadi pada masa sebelumnya, bahkan jauh lebih buruk. Ribuan nyawa tewas dalam usaha memulai yang baru itu. Selang beberapa tahun kemudian sejarah pun kembali berulang. Koran dibreidel, kebebasan berpendapat dibungkam dan tak ada tempat bagi mereka yang berbeda dengan rezim.

Dan sejak 1998, kita berikrar tak pernah mau kembali ke masa yang sudah lalu. Gerak sejarah tak mungkin seperti sebuah lingkaran, di mana kita akan menemui peristiwa-peristiwa yang sama yang akan membawa kehidupan bersama mundur ke belakang. Kendati kini, suara-suara yang merindukan masa lalu, mulai terdengar di sana-sini.

Kita semestinya seperti apa yang pernah diungkai Taslim Ali dalam larik syairnya, “haus baru, lapar baru, bebas memilih hidup atau mati, mana suka: Jiwa pelopor.”

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Beasiswa dari Masa ke Masa Tangan Dingin Eddie Van Halen di Balik Hit Michael Jackson Asal-Usul Kamera Komandan Polisi Istimewa Digebuki Anggota Laskar Naga Terbang Asal-Usul Malioboro Guru Arung Palakka Raden Saleh Meninggal Dunia Asal-Usul Jeriken Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis)