Masuk Daftar
My Getplus

Yang Terbuang, Yang Gemilang

Tuan rumah terhindar dari malu di Indonesia Open 2019 berkat kegemilangan ganda putra. Sektor yang dulunya dipandang sebelah mata.

Oleh: Randy Wirayudha | 22 Jul 2019
Ganda putra andalan Indonesia di tiap turnamen, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo. (Fernando Randy/Historia).

GEMURUH ribuan penonton di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta makin semarak. Sorakan dukungan hingga cemoohan untuk meneror lawan meramaikan jalannya pertandingan demi pertandingan sejak dimulainya Indonesia Open ke-38, 16-21 Juli 2019.

Kendati para pendekar raket Indonesia satu per satu berguguran, dukungan para penonton tanah air tak luntur. Utamanya karena di turnamen berlevel Super 1000 ini Indonesia berhasil menaruh empat pendekarnya di partai puncak, yakni di nomor ganda putra. Pasangan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan dan Marcus Gideon/Kevin Sanjaya berhasil membuat nomor tersebut dengan akhir All-Indonesian Final.

Dari babak-babak awal, kedua pasangan andalan tuan rumah itu tampil gemilang dan tak terbendung. Pasangan “The Minions”, julukan Marcus/Kevin, akhirnya mencomot gelar juara.

Advertising
Advertising

Padahal, nomor ganda dulu merupakan nomor buangan yang dimainkan oleh para pebulutangkis yang terdepak dari persaingan di nomor tunggal. Seperti dalam olahraga tenis, dalam bulutangkis mulanya hanya nomor tunggal putra dan putri yang punya prestis tinggi.

Baca juga: Minarni Soedarjanto Srikandi Bulutangkis Indonesia

Christian Hadinata, pemain ganda legendaris Indonesia era 1960-an, merasakan betul atmosfer itu. Saat itu bulutangkis Indonesia tengah kebanjiran pemain tunggal. Lantaran spot untuk tunggal putra di berbagai kejuaraan kaliber dunia terbatas, hanya yang terbaik bisa tampil di sektor prestisius itu. Sisanya, terdepak ke ganda. Kelaziman lainnya adalah para pemain tunggal merangkap main di nomor ganda. Selain Christian, ada Rudy Hartono atau Liem Swie King.

“Memang awalnya saya tunggal. Lalu ke belakang sering double (ganda) dengan Christian atau Kartono. Waktu masih muda, fokus enggak terpecah. Fisik masih kuat. Tapi makin tambah umur, ya mulai jadi masalah. Terakhir saya merangkap di Thomas Cup 1984. Hasilnya tunggalnya kalah, double-nya menang,” ujar King kepada Historia.

Liem Swie King pernah merangkap ganda putra beberapa kali dalam catatan kariernya. (Randy Wirayudha/Historia).

Titik Balik

Kebiasaan rangkap itu membuat perhatian pada pembinaan sektor ganda jadi minim. Pada akhirnya, ganda dipandang sebelah mata.

Namun, perlahan anggapan itu berubah sejak gelar demi gelar dibawa pulang para jagoan ganda Indonesia macam Tjun Tjun/Johan Wahyudi atau Ade Chandra/Christian Hadinata. Prestasi mereka jadi titik balik pandangan bahwa ganda putra juga bisa membanggakan, bukan lagi buangan.

“Memang dulu pelatihan di pelatnas dan klub tidak spesifik ada ganda putra. Biasanya pemain tunggal merangkap ganda. Di Kejuaraan Asia 1971, saya malah merangkap di dua nomor ganda. Di ganda putra dengan Ade dan ganda campuran dengan Mbak Retno Koestijah. Prestasinya cukup baik (juara ganda campuran, red),” kata Christian kepada Historia.

Baca juga: Christian Hadinata Ingin Seperti Beckenbauer

Pamor sektor ganda makin gemilang setelah pasangan Christian/Ade Chandra juara di All England 1972. Dunia tak menyangka Indonesia punya pasangan kuda hitam di nomor ganda yang menemani kedigdayaan Rudy di nomor tunggal putra turnamen bulutangkis tergaek itu.

“Itu pengalaman yang enggak akan pernah lupa. Waktu itu kita satu-satunya ganda putra Indonesia yang ikut All England. Kita masih dipandang remeh. Selama ini kan saingan-saingan kita tahunya kekuatan Indonesia hanya di tunggal putra. Ganda putra enggak dipandang,” Christian melanjutkan.

Christian Hadinata, legenda ganda putra Indonesia. (Randy Wirayudha/Historia).

Prestasi tersebut membalikkan pandangan publik yang awalnya memandang sebelah mata. “Saat kita masuk semifinal, mereka heran, lho kok ada semifinalis dari Asia, dari Indonesia. Saya ingat, saat masuk lapangan, ada lampu bulat disorot ke pemain sampai ke tengah lapangan utama. Rasanya luar biasa jadi pusat perhatian ketika kita tak diunggulkan dan belum punya nama,” sambungnya.

Sejak itu, pamor ganda kian melambung. Gelar demi gelar ganda putra, mulai dari All England hingga Olimpiade, nyaris tak pernah lepas dari genggaman wakil Indonesia. Sektor ganda putra pun perlahan jadi perhatian PBSI. Tongkat estafetnya diteruskan Christian sebagai pelatih sejak 1990.

Baca juga: Sigit Budiarto Cah Jogja di Pentas Dunia

Nama-nama para pasangan juara terus bermunculan, menyambung estafet yang dimulai di era Christian. Ada Eddy Hartono/Rudy Gunawan, Ricky Subagdja/Rexy Mainaky, Sigit Budiardjo/Candra Wijaya, hingga yang terbaru Markus Gideon/Kevin Sanjaya.

TAG

bulutangkis christian hadinata swie king

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Ferry Juara Dunia Bulutangkis Kala Liem Swie King Bicara Mental Tak Mau Kalah Cerita Liem Swie King Terobos Banjir Badminton is Coming Home! Menguber Uber Cup Putri Bulutangkis dengan Segudang Prestasi Elizabeth Latief dan Semangat Kartini Indonesia dan Kejayaan All England Alan Budikusuma Terpuruk di Kuala Lumpur, Berjaya di Barcelona Kawin-Cerai di Ganda Campuran