Masuk Daftar
My Getplus

Nona Manis Jagoan Bulutangkis

Predikat "Ratu dari segala ratu bulutangkis" hanya milik si "Nona Manis".

Oleh: Randy Wirayudha | 29 Des 2017
Minarni Soedarjanto. Foto: Repro "Ensiklopedi Indonesia" dan "Suara Karya."

HINGGA kini, predikat “Ratu Bulutangkis Indonesia” masih milik Susi Susanti. Kendati segudang prestasi sudah ditorehkan bintang-bintang putri Indonesia mulai Imelda Gunawan, Verawaty Fajrin, Ivanna Lie, Sarwendah, hingga Mia Audina (Baca: Kala Mia Audina Terpaksa Mendua), Susi punya prestasi yang tak dimiliki bintang lain: medali emas olimpiade. Susi bahkan menjadi pebulutangkis putri pertama di dunia yang merebutnya.

Namun, teladan dari semua teladan pebulutangkis putri Indonesia merujuk pada satu nama: Minarni Soedarjanto. Soal skill dan prestasi, Minarni bisa bandingkan dengan bintang lain, tapi soal asam garam pengalaman hingga kecakapan berorganisasi, Minarni sulit dicari tandingannya.

Lembaran sejarah karier bulutangkis Minarni dimulai sedari masa remajanya. Ensiklopedi Indonesia mencatat, legenda kelahiran Pasuruan, Jawa Timur pada 10 Mei 1944 itu mulai berbulutangkis sejak usia 13 tahun sebagai pemain tunggal.

Advertising
Advertising

Di kota kelahirannya hingga provinsi, dia berprestasi apik. Hal itu membuatnya kemudian masuk jajaran pebulutangkis nasional. Gelar nasional pertamanya diraih pada 1959 di Kejuaraan Nasional di Malang. Di tahun yang sama, Minarni terpilih masuk timnas Indonesia untuk kualifikasi Piala Uber –trofi paling bergengsi untuk kompetisi beregu putri dunia.

Sayangnya, Indonesia yang masuk dalam Zona Australanasian, langsung keok di awal setelah kalah 2-5 dari Australia di Melbourne sehingga tak berhak tampil di puncak event di Philadelphia, Amerika Serikat pada April 1960. Kegagalan Indonesia berulang pada keikutsertaan berikutnya, yakni 1963, 1966, 1969.

Toh, kegagalan bersama tim Uber tak menghalangi Minarni mengukir prestasi di ajang-ajang lain. Dalam nomor ganda putri, pasangan Minarni-Retno Koestijah beberapakali menjadi jawara di berbagai kejuaraan. Di nomor ganda campuran Minarni, berpasangan dengan Darmadi, juga sempat mengukir prestasi dengan menjadi juara Canada Open tahun 1969.

Alhasil, ketika Susi Susanti belum lahir, Minarni sudah mendapat gelar “Ratu Bulutangkis”. Saat Minarni ikut kunjungan persahabatan ke Jepang medio Februari 1966, suratkabar Nikkan Sport menyambut Minarni sebagai "Badminton Queen". Media cetak dengan oplah besar itu menulis khusus tentang Minarni yang juga mereka sebut “Kawai Anoko Minarni” atau “Nona Manis Minarni”.

Saat bintang Minarni sedang gemerlap-gemerlapnya, dia justru memutuskan gantung raket. Pernikahannya dengan R Soedarjanto, adik dari Retno Koestijah –pada 11 Februari 1971 di Pasuruan– menjadi alasan utama di balik keputusan itu.

Namun, seperti ada duri dalam daging di karier Minarni, dia masih penasaran dengan Piala Uber. Empat kali ikut tim Indonesia di ajang itu, hanya kegagalan yang ditemuinya. Pikiran untuk comeback pun terus menggelayut di kepalanya setahun setelah menikah dan pensiun. “Susah untuk meninggalkan begitu saja, mengingat sudah 23 tahun berkecimpung main badminton,” tutur Minarni, sebagaimana dilansir Kompas, 21 Februari 1972.

Selain comeback, Minarni sempat terpikir untuk menjadi pelatih. Namun, dia justru mendapatkan keduanya ketika pada 1974 dipercaya PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) untuk menjadi asisten pelatih dan pemain. Kala itu PBSI tengah mencanangkan program pemberdayaan untuk masa depan pebulutangkis.

Rasa penasaran besar ibu tiga anak berusia 31 tahun pada Piala Uber Cup itu akhirnya terakomodasi di ajang Uber Cup 1975 yang digelar di Istora Senayan, Jakarta. Minarni, yang didapuk sebagai kapten tim, tak lagi berpasangan dengan Retno Koestijah (sudah pensiun) tapi dengan pebulutangkis senior lainnya, Regina Masli.

Tim putri Indonesia kala itu juga diperkuat beberapa pemain muda macam Imelda Gunawan (23 tahun), Theresia Widyastuty (21 tahun), Taty Sumirah (22 tahun) dan Utami Dewi (23 tahun). Kombinasi tua-muda dalam tim itu berjalan baik sehingga mereka mencapai final.

Di partai puncak yang berlangsung pada 7 Juni 1975 itu Indonesia bersua juara bertahan Jepang, salah satu bintang dalam bulutangkis putri pada 1970-an. Selain publik tuan rumah, jarang yang menjagokan Indonesia. Hal itu terbukti, Jepang menang di tiga partai awal dalam final itu.

Minarni dan Regina bermain dua kali dalam final itu. Pertama, mereka turun di partai keempat menghadapi Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa. Minarni/Regina menang tiga set: 15-4 6-15 dan 15-9. Kemenangan itu menyamakan skor menjadi 2-2.

Indonesia berbalik unggul 3-2 berkat kemenangan pasangan Imelda/Theresia. Minarni/Regina turun lagi untuk memikul beban tanggungjawab di partai penentuan, partai keenam. Hasilnya, “Pasangan Indonesia Minarni dan Regina membuat surprise di mana Piala Uber secara resmi berada di pihak Indonesia dengan perincian (kemenangan) set pertama 15-8 dan set kedua 15-11 atas pasangan Jepang (Mika) Ikeda/(Hiroe) Yuki,” tulis Media Indonesia, 7 Juni 1975.

Kemenangan itu membawa Indonesia unggul 4-2. Partai terakhir, ganda putri yang dimenangkan Imelda/Theresia atas Takenaka/Aizawa, sekadar menjadi formalitas penutup skor 5-2. Ajang itu tak hanya berhasil membawa Piala Uber ke Indonesia untuk pertamakali tapi juga menjadi penutup karier nan manis bagi si “Nona Manis”.

Tak Jauh Dari Tepokbulu

Usai Piala Uber 1975, Minarni benar-benar gantung raket. Tapi hidupnya tetap tak bisa jauh dari bulutangkis. Pada 1980-an, dia masuk ke PBSI DKI Jakarta. Sambil berbisnis di bidang perkayuan hingga menjalankan sebuah event organizer (EO) bernama Gematama Kreasindo bersama putrinya Shanti, Minarni giat menggalakkan turnamen-turnamen yunior yang lepas dari PBSI.

Sejak 2001, Gematama Kreasindo rutin menggelar Milo Indonesia Open Junior (MIOJ). Event itu bertujuan mencari generasi penerus dalam bulutangkis dan mendongkrak lagi budaya bulutangkis dalam kehidupan masyarakat. “Idealnya, nonton bulutangkis sudah seperti kebutuhan. Sehingga masyarakat sendiri sukarela datang ke stadion. Tapi budaya itu harus dibangun dan itu sebabnya saya coba menghidupkan turnamen yunior dan mengajak anak-anak sekolah untuk menontonnya. Dengan pengelolaan yang baik, mereka akan terkesan dan budaya seperti itu perlahan akan terbentuk,” cetus Minarni, dilansir Kompas, 12 Mei 2002.

Ajang perdana MIOJ, yang sedianya diikuti puluhan negara, terganggu oleh gejolak politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan parlemen. Alhasil, hanya tiga negara yang hadir: Brunei Darussalam, Malaysia, dan Jepang.

Toh, kecintaan Minarni pada bulutangkis tak pernah luntur sampai dia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 14 Mei 2003 pagi. Jasad perempuan berusia 59 tahun itu dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada hari yang sama.

Catatan Prestasi Minarni Sudaryanto:

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Seniman Tunanetra di Balik Pengembangan Alat Musik Kolintang Berkah Ditolak Jadi Tentara Cerita di Balik Pengunduran Diri Bung Hatta Kisah Jack, Primata yang Jadi Petugas Sinyal Kereta Tiga Supir Palang Merah yang Jadi Pesohor Dunia Mengenal Tang Soo Do dari Cobra Kai Burung Parrot dan Kisah Cinta Presiden Amerika Akibat Bantuan untuk Penduduk Papua Dikorupsi Munculnya Si Doel (Bagian III – Habis) Anak Petani Jadi Jutawan Berkat Jualan Sikat