Masuk Daftar
My Getplus

Mengusung Ulah Adigung

Tak hanya kebut-kebutan sampai garis finis, Tommy Manoch balapan sekaligus menggaungkan sebuah prinsip lewat slogan. Kini, slogan itu dijadikan kampanye visi sosial.

Oleh: Randy Wirayudha | 09 Jan 2018
Pembalap legendaris Tommy Manoch dan motornya hasil rebuild, Honda CB72. Foto: Randy/Historia.

LOGAT Sunda begitu kental mengiringi cerita yang keluar dari mulut Tommy Manoch. Padahal, dia blasteran Kupang-Belanda. Meski sudah beberapa kali terserang stroke ringan, Tommy masih bergairah jika mengenang masa mudanya menjadi joki kuda besi di lintasan balap.

Pria kelahiran Bandung, 3 Maret 1947 dari pasangan John dan Edith Manoch itu merupakan satu dari sedikit maestro balap motor yang masih ada. Dia merintis karier balap melalui balap sepeda. Sejak usia 8 tahun, Tommy sudah ikut berbagai lomba balap sepeda. Meski sudah tak ingat pastinya, dia sempat beberapa kali juara.

Suatu hari, ayahnya yang hobi motor membelikan Tommy sebuah motor BMW 250. “Mulanya saya enggak suka sama motor. Awalnya juga saya diamkan saja di rumah. Tapi beberapa waktu kemudian, saya coba di lingkungan rumah, eh kok enak juga (jajal motor) ya. Dari situ saya mulai sering datang ke ajang balapan, hanya sekadar nonton saja,” ujarnya kepada Historia. Dari situ pula Tommy mulai kenal sejumlah pembalap senior macam Tjetjep Heriyana serta M Gumilar.

Advertising
Advertising

Tommy pun terjun ke dunia balap motor. Debutnya terjadi di GP Indonesia 1963 di Sirkuit Curug. Sebagai pendatang baru, Tommy yang mengendarai Honda CB72 250cc tampil prima meski sebelumnya terserang demam. Dia menjuarai dua kelas sekaligus. “Pembalap muda ini keluar sebagai pemenang pertama dalam nomor 250 cc, junior (25 km) dengan Honda dan merebut pula gelar juara pertama dalam 250 cc Grand Prix (42 km) ,” tulis Majalah Djaja tahun 1963.

Sekira tiga setengah tahun berkarier di balap motor, Tommy lalu menjajal balap mobil. “Belakangan saya coba balap mobil, diajak Hengky Iriawan (ipar Tommy). Saya coba mobil dan go-kart sampai ke Makau. Di Makau saya balapan dengan (mobil) Mini Cooper,” lanjut Tommy.

Namun, karier Tommy di arena balap roda empat amat singkat dan berakhir tragis. Kecelakaan mencederai dirinya. Dia lalu memilih pensiun.

Prinsip

Karier balap sarat prestasi di tingkat nasional Tommy tak semata berasal dari kerja kerasnya. Menurutnya, ada prinsip yang selalu dia pegang. “Ulah Adigung” namanya, istilah bahasa Sunda yang berarti: “Jangan Sombong”. Tommy menuliskan prinsip itu sebagai slogan di tangki motornya.

“Ungkapan itu ya muncul dari diri saya sendiri. Karena saya merasa yang lain pada bangga (pamer) dengan pakai motor merek-merek yang lebih keren. Saya merasa, kok enggak ada yang bangga sama Indonesia? Dari situ saya cat saja tangki motornya itu, saya tuliskan: ‘Ulah Adigung’,” kata Tommy.

Prinsip itu mendorongnya untuk selalu tampil sportif saat balapan, bahkan ketika ada saingan yang mencoba berbuat curang. “Ada satu pembalap (sengaja namanya tidak disebutkan), mau curangin tangki bensin saya waktu balapan di (sirkuit) Pangkalan Jati. Tangki saya itu diisi air sama anak buahnya, biar motor saya macet, biar mogok. Tapi sebelum balapan, saya sudah tahu. Saya tidak marah. Malah saya coba datangi. Saya ajak bicara bahwa kita ini balapan buat Indonesia juga, makanya jadilah pembalap yang baik, yang sportif. Habis itu nangis dia, peluk saya,” ujarnya.

Prinsip itu pula yang ikut menentukan karier Tommy setelah pensiun balap. Meski sempat bekerja di Honda Imora, dia kemudian pilih membaktikan diri pada kemanusiaan. Tommy bekerja sebagai pelayanan ibadah untuk para tahanan yang beragama Nasrani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Untuk biaya hidup, Tommy dan istri bersama putra bungsunya mengelola sebuah perusahaan kosmetik E&T di rumahnya, kawasan Bintaro, Tangerang Selatan. “Tapi setelah kena stroke, Papa sudah tidak lagi. Soalnya pernah kejadian pas mau pulang dari (memberikan) pelayanan itu, Papa sempat jatuh di tengah jalan,” timpal Berto, putra Tommy.

Agustus 2015 silam, Tommy mendapat kejutan tak bernilai. Dia mendapat hadiah sebuah motor replika Honda CB72 persis yang digunakannya saat balapan dulu. Motor itu dibangun kembali atas bantuan Ulah Adigung Project yang diprakarsai fotografer cum bikers dari Elders Company Heret Frasthio, Berto putra sulung Tommy, Omar, dan Arya Hidayat.

Dari kampanye yang mereka galang, terkumpul sumbangan sejumlah parts dan dana sekira Rp50 juta. “Kita menggagas ini karena merasa perlu adanya tokoh yang kita angkat dalam permotoran Indonesia. Kita rebuild berdasarkan riset foto-foto Om Tommy yang ada. Kita juga kampanye via online dan media sosial dengan memperkenalkan siapa sih Tommy Manoch ini,” kata Heret ketika ditemui terpisah.

Selain mendapat banyak sumbangan dari berbagai komunitas, mereka menggunakan berbagai komunitas itu untuk menyebarkan pesan yang diangkat lewat slogan “Ulah Adigung” milik Tommy Manoch ke semua bikers di Indonesia. “Yang diangkat visi sosial, dan diharapkan bisa menginspirasi banyak orang. Makanya kemudian project ini kami katakan sangat berhasil.”

Heret mengaku, timnya sempat bimbang untuk menghadiahi Tommy motor itu. Tapi setelah rembukan dengan keluarga, mereka mantap. Pada 17 Agustus (2015) di acara Mods vs Rockers, kita serahkan motornya ke Om Tommy,” lanjut Heret.

“Om Tommy responsnya terkejut banget, bahagia banget. Dia yang mendadak jadi sehat langsung naik ke panggung. Motornya dinyalain, di-starter, dibawa keliling dengan kondisi habis stroke.

Motor legendaris Tommy itu kini berada di sebuah sudut dekat pintu depan kediaman Tommy. Bersamanya, berbagai memorabilia tentang Tommy memenuhi dinding ruangan. Kondisi motor itu masih terjaga, mesinnya masih bisa dihidupkan. “Tapi memang beberapa bagiannya saya cabut, saya lepas. Takut tiba-tiba atau diam-diam Papa nekat nyalain (mengendarai) motornya,” kata Berto.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak