DARI Brasil untuk berhasil. Motto itu masih tertanam dalam hati Luciano Leandro, mantan bintang Persija dan PSM Makassar asal Brasil. Meski kini sudah berganti profesi menjadi pelatih, motto itu masih dipegangnya erat-erat menjadi “ruh” guna mewujudkan ambisinya.
Pun begitu, ia tetap rendah hati dan selalu bersahabat. Sapaan lebih dulu terlontar darinya ketika ditemui Historia. Hampir setiap kalimat ia buka dengan kata friend alias teman.
Dengan bahasa Indonesia yang kadang masih terbolak-balik strukturnya, ia berkisah banyak tentang kariernya pasca-dipecat Persipura pada Juli 2019. Luci, begitu ia biasa disapa, masih optimis berkarier di klub lain untuk musim depan.
“Ya, setelah Juli lalu habis dari Persipura ada tawaran lagi (dari) dua klub. Ada dari tim Liga 1 dan Liga 2. Tapi kita tidak bisa sebut dulu timnya, friend. Kita tunggu saja. Mudah-mudahan Tuhan tentukan tempat yang lebih bagus,” ujarnya kepada Historia dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Merantau ke Belahan Bumi Lain
Jejak Luci di persepakbolaan Indonesia dimulai pada 1995 bersama PSM Makassar. Di klub kebanggaan Kota Makassar itu kebintangannya mulai dipoles. Meski gelar juara Liga Indonesia VII baru dicicipinya musim 2001, Luci tercatat jadi salah satu legiun asing tersukses yang dicintai publik sepakbola tanah air, di Makassar maupun Jakarta.
Luciano Gomes Leandro lahir di Macaé, Rio de Janeiro, 1 Februari 1966. Anak keempat dari lima bersaudara hasil perkawinan Cecilio Leandro dan Luci dos Santos Gomes itu suka sepakbola lantaran melihat salah satu kakaknya yang jadi pemain profesional.
Baca juga: Klenik di Balik Final Italia vs Brasil
Laiknya anak-anak Brasil yang nyaris sudah pasti akrab dengan sepakbola, Luci sudah sering jadi andalan tim sekolahnya di berbagai kejuaraan. “Sejak anak (kecil) saya awalnya main bek kanan. Tapi kemudian saya masa remaja pilih gelandang serang seperti Zico,” kata Luci mengenang.
Suatu hari, bakatnya diminati klub Seri C Brasil Goytacaz FC. Di klub itulah kariernya dirintis. Seiring makin berkibar namanya, kariernya tak hanya dihabiskan di satu tempat. Luci malang melintang di klub-klub kasta bawah macam Macaé Esporte FC, Valério Esporte Clube, hingga Bangu Atlético Clube yang jadi klub terakhirnya pada 1995 sebelum merantau ke Indonesia.
“Di Valério itu saya sempat main bersama Jacksen (F. Tiago, legiun asing Liga Indonesia kompatriot Luciano) tapi tidak lama. Lalu saat saya masih bermain untuk Bangu, ada agen yang memantau saya,” tuturnya.
Baca juga: Jacksen F. Tiago Bintang Legiun Asing Persebaya
Adalah Angel Ionita, agen bola ternama dari International Sport Association yang bermarkas di Swiss, yang kepincut Luci. Ionita acap mendatangkan pemain asing dari berbagai benua ke persepakbolaan Indonesia. Sebelum memboyong Luci, ia sudah membawa Jacksen F. Tiago bersama enam jogador (pemain) dari Brasil lain pada 1994.
Ditipu Agen
Sebagaimana Jacksen, Luci diiming-imingi banyak hal oleh Ionita untuk mau berkiprah di Liga Indonesia. Luci bimbang. Jangankan liganya, Indonesia kala itu sama sekali tak dikenal Luci. Di mana letak negeri itu pada peta, Luci tak tahu. Namun, Luci akhirnya mendapat dukungan penuh keluarga.
“Papa saya bilang, Luci, jangan takut gagal. Kalau kamu gagal, kami di sini siap menyambut kamu pulang,” sambung Luci.
Dorongan orangtua membulatkan tekadnya untuk menerima ajakan Ionita. Namun sebenarnya Luci kena tipu. Seperti halnya Jacksen, Luci mulanya dijanjikan untuk main di Malaysia. Kepada Koran Tempo, 2 Maret 2005, Jacksen berkisah, ia dan keenam kompatriotnya juga mulanya dijanjikan main di Malaysia. “Tapi saya memilih tetap bertahan. Lagipula nanggung kalau kembali ke Brasil. Dicoba dulu. Kalau tak cocok nanti bisa pulang,” kata Jacksen yang lebih muda dua tahun dari Luci.
Luci pun saat itu memilih bertahan di Indonesia. Salah satu faktor yang membuatnya bertahan adalah pantai. Indonesia sebagai negara kepulauan punya banyak pantai nan mempesona, tak kalah dari Brasil. Sejak muda, Luci paling getol main ke pantai.
“Di Jakarta, kita seperti barang dagangan. Jadi kita (pemain-pemain bawaan Ionita) dikumpulkan di Hotel Kempinski (Hotel Indonesia) ke hadapan bos-bos klub. Saya dimaui (diinginkan) Nurdin Halid. Jadilah klub pertama saya PSM Makassar,” Luci mengenang.
Kontraknya pun diurus Ionita. Di situlah kejengkelan kedua Luci datang. Ia merasa dikerjai Ionita soal kontrak yang tak sesuai dengan yang dijanjikannya sewaktu masih di Brasil.
“Waktu itu tidak fair. Waktu di Brasil dia janji sesuatu tapi ketika datang ke Indonesia, dia tidak ikuti apa mereka janji kita sesuatu. Kita dijanjikan kalau sign dengan klub akan langsung dikasih 25 persen dari total nilai kontrak. Tapi ketika sudah di sini (Indonesia), tidak ada itu uang di muka. Itu pasti mereka yang ambil,” Luci mengisahkan sambil mendongkol atas keingkaran Ionita itu.
Baca juga: Kiper Brasil yang Dilaknat hingga Akhir Hayat
Namun, Luci masih bertahan. Selain karena ia hobi main ke pantai, ia masih pegang tekad untuk berhasil di Indonesia.
“Saya tetap di sini usaha untuk bisa (main) lebih bagus. Tahun berikutnya agar bisa sign kontrak lebih bagus. Memang banyak pemain bermasalah Ionita bawa ke sini. Ada Maboang Kessack, Roger Milla, ada banyak pemain Brasil lain yang tidak mau saya sebutkan namanya,” tandas Luci.