Masuk Daftar
My Getplus

11 Maestro Bola Kaki Beralih Politisi (Bagian I)

Selain meretas prestasi di lapangan, mereka juga moncer di arena politik. Berikut 11 legenda yang melanggengkan kariernya di dunia politik.

Oleh: Randy Wirayudha | 22 Nov 2017
Kiri atas (searah jarum jam): Valderrama, Weah, Pele, Romario, Rivera.

KENDATI FIFA berupaya sekuat tenaga menjauhkan sepakbola dari politik, olahraga terpopuler di dunia ini sulit jauh dari politik. Malahan, tak sedikit maestro lapangan hijau yang merapatkan diri dengan isu politik kendati tak semua beralih jadi politisi.

Diego Armando Maradona, misalnya. Legenda sepakbola Argentina itu tak sekali-dua bicara politik dengan lantang. Maradona dikenal anti-Amerika Serikat. Di otobiografinya, El Diego, Maradona terang-terangan mengagumi sosok pemimpin Kuba Fidel Castro. Maradona juga bersahabat dekat dengan mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez di samping Presiden Carlos Menem.

Selain Maradona, Johan Cruyff juga nyaring jika bicara politik dan HAM. Dia blak-blakan menentang aksi pembersihan orang-orang kiri di Argentina semasa rezim Jorge Videla. Itu menjadi salah satu faktor Cruyff menolak ikut timnas Belanda ke Piala Dunia 1978 di negeri Tango. (Baca: Penyebab Johan Cruyff Absen di Piala Dunia 1978)

Advertising
Advertising

Setidaknya ada 11 maestro sepakbola lain yang berkarier sampai di milenium kedua serta tak alergi isu-isu politik dan akhirnya memilih jadi politisi. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Berikut nama-nama itu:

George Weah

Ikon sepakbola Liberia ini mulai menikmati kecemerlangan karier pesepakbola sejak bergabung di Liga Prancis bersama klub AS Monaco. Karier George Talwon Manneh Oppong Ousman Weah mencapai puncak setelah berseragam merah-hitam, warna kebesaran klub Serie A Italia AC Milan. Di tim asal kota mode itu, Weah bergelimang gelar. Selain dua gelar juara Serie A (1995-1996, 1998-1999), Weah mengoleksi gelar-gelar individu seperti Onze d’Or, Ballon d’Or (1995), dan Golden Foot Legends Award (2005).

Setelah gantung sepatu, Weah terjun ke politik dan langsung berniat mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Liberia 2005 menggunakan kendaraan Partai CDC (Partai Kongres untuk Perubahan Demokratik). Namun, Weah gagal. Menurut BBC News 13 November 2005, Weah dengan perolehan suara 40,6% kalah dari lawannya, Ellen Johnson Sirleaf, yang mendapat suara 59,4%. Pada pemilu 2011, Weah berkenan hanya menjadi calon wakil presiden bersama Winston Tubman. Sialnya, Weah kalah lagi dari Ellen Sirleaf asal Unity Party, 90,7%-9,3%.

Weah maju lagi dalam pilpres Liberia 2017 melawan Joseph Boakai dan Charles Brumskine. Meski kalah dari Boakai, Weah lolos ke putaran kedua. Namun, putaran kedua yang sedianya digelar 7 November 2017, ditunda atas perintah mahkamah agung akibat protes Brumskine. Namun, gugatan itu ditolak mahkamah agung. Pada pemilihan putaran kedua Weah menang dan resmi menjadi Presiden Liberia.

Pele

Semasa menjadi pemain, Edson Arantes do Nascimento atau yang biasa disapa Pele terkesan jarang bicara politik. Maestro yang ibarat dewa bagi masyarakat Brasil ini hanya fokus mengukir prestasi di lapangan hijau bersama klub Santos, kemudian New York Cosmos dan timnas Brasil. Pele ikut mengukir prestasi ikonik Brasil tiga kali juara Piala Dunia (1958, 1962, 1970).

Pun begitu, Pele pernah jadi menteri. Pada 1995, Pele ditunjuk Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso untuk menduduki jabatan Menteri Olahraga Luar Biasa.

Semasa menjabat, Pele pernah mengajukan program pencegahan korupsi dalam sepakbola Brasil, dijuluki “Pele Law”. Pele, tulis BBC News 25 Maret 1998, mewajibkan klub-klub olahraga mengikuti prosedur dan hukum bisnis, serta menunaikan pajak dalam jangka waktu dua tahun. Pele juga mendesak program itu disetujui badan legislasi Brasil, di mana turut terdapat izin klub-klub mengorganisasi liga kecil yang otomatis memutus monopoli CBF (induk organisasi sepakbola Brasil).

Program itu justru ditentang banyak organisasi olahraga. Pele mundur dari jabatannya pada 2001 setelah muncul tuduhan korupsi dana UNICEF 700 ribu dolar Amerika. Tuduhan itu tak pernah terbukti, UNICEF pun membantahnya.

Romario

Meski berjuluk baixinho atau si kecil, prestasi penyerang Brasil ini samasekali tak kecil. Karier Romario de Souza Faria meroket setelah bergabung dengan klub Eredivisie PSV Eindhoven. Prestasinya yang apik dan stabil membuatnya kemudian dipinang Barcelona. Romario juga melegenda buat para pecinta timnas Brasil. Bersama Selecao (julukan timnas Brasil), Romario mempersembahkan dua trofi Copa America (1989 dan 1997), trofi Piala Dunia 1994, dan gelar juara Piala Konfederasi 1997.

Selepas pensiun, Romario terjun ke arena politik. Dengan kendaraan Partai Sosialis Brasil (PSB) di Pemilihan Legislatif 2010, Romario terpilih mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro di Camara dos Deputados atau Kamar Perwakilan Rakyat Brasil. Media Brasil Globo4 melaporkan pada Oktober 2010, Romario mendapatkan kursi setelah menempatkan diri di urutan keenam dengan total suara 146.859. Jalan politik Romario kian mulus setelah pada Pemilu 2014 sukses terpilih di Senat Brasil, juga mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro.

Carlos Valderrama

Nama Carlos Alberto Valderrama Palacio melesat sebagai salah satu pesepakbola terhebat Kolombia kala berseragam Deportivo Cali. Kariernya semakin mengkilap setelah merantau ke klub Prancis Montpellier HSC dan klub La Liga Real Valladolid. Di timnas Kolombia, Valderrama masih dihormati sebagai pemain dengan caps atau penampilan terbanyak, 111 laga.

Dia menjadi capitan timnas Kolombia di tiga gelaran Piala Dunia (1990, 1994 dan 1998), serta lima turnamen Copa America (1987, 1989, 1991, 1993 dan 1995). Setelah gantung sepatu, pada 2014 Valderrama mencalonkan diri sebagai senat pada Pemilihan Parlemen lewat Partai Sosial Persatuan Nasional.

Gianni Rivera

Setelah meniti karier di klub medioker Alessandria, Gianni Rivera memahat nama besarnya bersama AC Milan. Tiga titel Serie A, empat gelar Coppa Italia, masing-masing dua trofi Winners Cup dan Piala Champions serta sebiji gelar Intercontinental Cup diraihnya bersama Rossoneri (julukan AC Milan). Adapun bersama Gli Azzurri (julukan timnas Italia), centrocampista (gelandang) kelahiran Alessandria, 18 Agustus 1943 itu memboyong Piala Eropa 1968.

Setelah terjun ke dunia politik, karier Rivera sama moncernya. Dengan bendera Partai Demokrasi Kristen, dia merebut satu kursi Parlemen Italia pada Pemilu 1987. Dia terpilih lagi pada 1992 dan 1994 di bawah Pakta Segni. Dua tahun kemudian dia bergabung di Koalisi Uniti nell’Ulivo. Menurut Il Corriere della Sera edis 29 September 2014, Rivera lantas ditunjuk menjadi asisten sekretaris urusan pertahanan di bawah Pemerintahan Romano Prodi. Pada 2005-2009, Rivera duduk sebagai anggota Parlemen (Uni) Eropa.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Jalan Radius Prawiro Sebagai Pengikut Jesus Bohl Tuan Tanah Senayan dan Matraman Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Peran Radius Prawiro dalam Lobi-lobi Internasional Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Jejak Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri