Westerling gagal menjalankan aksinya mengudeta pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin Sukarno-Hatta. Ia meninggalkan Bandung dalam keadaan kacau akibat aksi bersenjata Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Menurut sejarawan Frederik Willems sebagaimana dikutip dari tulisannya di harian De Volkskrant, 6 Agustus 2012, memastikan pemerintah Belanda di Den Haag mengetahui aksi pelarian Westerling itu. Pada 22 Februari 1950, marinir Belanda menyelamatkan Westerling dari kejaran tentara Indonesia dengan menggunakan pesawat albatros Catalina dan langsung diterbangkan ke Malaya (kini Singapura).
Sebelum kabur, Westerling sempat menjalankan aksinya di Bandung pada Senin pagi, 23 Januari 1950. Bersama 523 serdadu APRA yang dibentuknya, Westerling melucuti polisi yang sedang berjaga di Pos polisi Cimindi, Cibereum dan Pabrik Mecaf, pabrik barang alumunium yang didirikan pada 1946. Setelah itu pasukan yang sebagian besar terdiri dari mantan serdadu komando Belanda itu (KL, Koninklijke Leger) konvoi memasuki kota Bandung.
Baca juga: Pandangan Westerling terhadap Islam
Menurut laporan kantor berita Antara, 25 Januari 1950, sejumlah truk tentara beriringan masuk ke Bandung. Pada awalnya warga Bandung tak begitu bereaksi terhadap kedatangan mereka sampai kemudian pasukan Westerling melepaskan tembakan membabibuta begitu memasuki jalan Braga.
Serdadu APRA melanjutkan aksinya, membunuh setiap anggota TNI yang kebetulan melintas di depan mereka. Serangan tersebut mengakibatkan 79 anggota TNI tewas. Mayat-mayat bergelimpangan di beberapa sudut kota Bandung.
Selesai dengan aksinya di Bandung, Westerling bergegas ke Jakarta untuk menemui Sultan Hamid Alkadrie II. Rencananya, Westerling akan menyerang pemimpin RIS yang sedang bersidang untuk kemudian mengambil kekuasaan. Namun rencana itu keburu ketahuan oleh Bung Hatta dan digagalkan oleh TNI.
Baca juga: Benarkah Westerling Sakti Mandraguna?
Kegagalan tersebut menimbulkan kepanikan, bukan hanya bagi Westerling namun juga bagi perwakilan pemerintah Belanda yang berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar Desember 1949 menjadi pihak yang sama-sama harus menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia.
Menurut sejarawan Frederik Willems, Belanda tak ingin Westerling jatuh ke tangan tentara Indonesia dan mengganggu hubungan kedua negara. Maka jalan satu-satunya adalah melarikan Westerling keluar Indonesia secepatnya tanpa diketahui pihak TNI.
Setelah sempat ditahan selama beberapa waktu di Malaya, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London. Namun di London, petugas menutup akses masuk kepadanya. Tak kehabisan akal, dia terbang menuju Brussels, Belgia. Setibanya di Belgia pada 23 Agustus 1950, sebagaimana dikutip dari harian Montreal Gazette terbitan Kanada, 25 Agustus 1950, otoritas Belgia langsung menangkapnya.
Baca juga: Rencana Menghabisi Westerling
Setelah sempat dibebaskan oleh pihak otoritas Belgia, Westerling tak langsung pulang ke Belanda untuk menghindari kontroversi. Di Brussels, dia menyewa sebuah Guest House di Rue de la Concorde No. 59. Di tempat itulah dia menulis memoarnya, Mijn Memoires yang terbit pada 1952, yang sebagian besar berisi tentang pembelaan dirinya.
Raymond Piere Westerling lahir di Istanbul, Turki 31 Agustus 1919 dari pasangan Sophia Moutzou dan Paul Westerling. Bergabung dengan pasukan khusus Belanda, Koninklijke Speciaale Troepen (KST) menjelang akhir Perang Dunia Kedua. Mendapat penugasan pertama penerjunan di Medan bersama tentara sekutu Inggris pada Oktober 1945. Setahun kemudian dia bertugas di Sulawesi Selatan, di mana dia menjalankan aksi teror brutalnya terhadap para gerilyawan republiken dan juga warga biasa.
Setelah perundingan Indonesia-Belanda dalam Konferensi Meja Bundar disepakati dan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Westerling tetap bebas tanpa pernah melalui pengadilan atas apa yang pernah dilakukannya. Sampai kemudian dia beraksi di Bandung dan Jakarta pada Januari 1950.