Masuk Daftar
My Getplus

Soeharto dan Balikpapan

Soeharto ingin markas Kodam di Balikpapan. Strategis, katanya. Selain penuh cuan tentunya.

Oleh: Petrik Matanasi | 11 Jul 2023
Feisal Tanjung ketika berada di Lembah X. Di masa kepemimpinannya, Kodam Tanjungpura dipindah ke Balikpapan. (Wikimedia commons)

PULAU Kalimantan dulu pernah punya empat Komando Daerah Militer (Kodam). Semua provinsi di Kalimantan kala itu, yang berjumlah empat,  masing-masing ditempati Kodam berbeda-beda. Sebelum pertengahan 1985, Kodam Tambun Bungai di Kalimantan Tengah dihilangkan. Kalimantan Tengah lalu disatukan bersama Kalimantan Selatan dengan Kodam-nya Lambung Mangkurat, yang sebelumnya hanya membawahi Kalimantan Selatan.

Tiga Kodam yang tersisa –Kodam Tanjungpura di Kalimantan Barat, Kodam Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan dan Tengah, dan  Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur– oleh Panglima ABRI Jenderal Leonardus Benjamin (LB) Moerdani digabung menjadi satu Kodam saja pada 1985. Hal itu menjadikan Kalimantan seperti di era awal 1950-an, berada di bawah komando Tentara dan Teritorium VI (TT VI) Tanjungpura. Markas Kodam-nya pun oleh Moerdani ditempatkan di Banjarmasin seperti semasa TT VI.

Ketika di Pontianak diadakan MTQ Nasional pada 1985, Presiden Soeharto hadir bersama Jenderal Moerdani. Mereka dijemput Pangdam Tanjungpura Mayjen Feisal Tanjung di bandara. Dalam sebuah kesempatan, Soeharto bertanya kepada Feisal.

Advertising
Advertising

“Markas Kodam di mana?” tanya Soeharto.

“Banjarmasin, Pak,” jawab Feisal.

“Kenapa dipilih Banjarmasin?”

Alih-alih menjawab, Feisal hanya diam lantaran terkejut. Kebisuan Feisal itu membuat Soeharto kembali bicara dengan memberi paparan singkat.

“Yang sangat strategis di Kalimantan itu kan Balikpapan. Balikpapan itu sumber income kita dari pulau ini. Banjarmasin kota lama yang berpengaruh di Kalimantan, tapi sekarang tidak seperti dulu lagi. Jadi istilahnya kota masa lalu, kota masa depan nanti adalah Balikpapan. Karena posisinya strategis, berada di Selat Makassar. Balikpapan akan menjadi pusat kegiatan ekonomi devisa,” kata Soeharto sebagaimana dikutip Solemanto Abdul Azis dalam Feisal Tanjung: Terbaik Untuk Rakyat Terbaik Bagi ABRI.

Saat itu, minyak dan gas adalah komoditas ekspor terbesar Indonesia dan menghasilkan devisa sangat besar. Batubara yang kini menjadi primadona ekonomi Kalimantan Selatan, saat itu belum seperti sekarang.

Baca juga: Sejarah Kampung Timur di Balikpapan

Kendati mulai menurun dari era oil boom pada 1970-an, pada 1980-an minyak dan gas masih menjadi sumber devisa terbesar Indonesia. Balikpapan menjadi salah satu penghasilnya.

Balikpapan sejak lama dikenal sebagai kota minyak. Industri minyak di sana dimulai sejak sumur minyak Mathilda beroperasi perdana pada 10 Februari 1897.

“Sebelum akhir abad ke-19, Balikpapan adalah pos kecil Kesultanan Kutai, sebanding dengan banyak kota pesisir kecil di sepanjang Selat Makassar. Penemuan minyak pada akhir abad kesembilan belas, bagaimanapun, secara radikal mengubah signifikansi komersialnya, dan Balikpapan dengan cepat menjadi kota terbesar di Kalimantan Timur,” tulis Burhan Djabier Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy.

Keuntungan besar dari industri minyak membuat siapapun yang terlibat di dalamnya ingin terus terlibat. Baik pemerintah Hindia Belanda, perusahaan minyak Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), maupunn Kesultanan Kutai selaku pemilik lahan Balikpapan, semua mempertahankan eksistensi dalam bisnis tersebut.  

“Pertumbuhan Balikpapan menjadi kota minyak besar terjadi terutama setelah tahun 1910 ketika perusahaan gabungan Belanda dan Inggris Shell memonopoli produksi minyak di Kalimantan Timur dengan mengorbankan perusahaan Amerika. Pada 1921, Nederlandsche Indische Aardolie Maatschappij (NIAM), anak perusahaan Perusahaan Shell Belanda dan Inggris yang 50 persen sahamnya dimiliki pemerintah Hindia Belanda, diberikan konsesi minyak di Kalimantan Timur. Pemerintah Hindia Belanda, di bawah amandemen konsesi baru tahun 1918, mendapat pengembalian yang tinggi dari eksploitasi minyak ini, yaitu pajak 20 persen atas keuntungan minyak, cukai 4 persen dari nilai pengiriman minyak mentah, dan pajak 20 persen atas keuntungan perusahaan. Eksploitasi minyak memberikan pendapatan cukup besar kepada pemerintah Hindia Belanda, terutama karena Hindia Belanda hanya memberikan anggaran tetap tahunan kepada Kesultanan Kutai yang memiliki tanah di bawah konsesi,” sambung Burhan Magenda.

Baca juga: Pencarian Minyak di Kutai Kartanegara

Industri minyak menjadi fondasi kokoh bagi pertumbuhan dan perkembangan kota Balikpapan. Masyarakat kotanya yang awalnya cenderung homogen dengan sedikit pendatang dari Banjar, berubah menjadi heterogen dan Balikpapan pun menjadi kosmopolitan.

“Industri minyak yang berkembang pesat pada tahun 1910-an menciptakan berbagai kebutuhan tenaga kerja di Balikpapan. Jumlah buruh minyak di Balikpapan sendiri mencapai sekitar 2.000 orang sebelum Perang Dunia Kedua. Sekitar 80 persen dari buruh ini adalah orang Jawa, menghasilkan Kampung Jawa sendiri di Balikpapan. Mereka membentuk sebagian besar pekerja teradikalisasi di Balikpapan selama Revolusi dan memainkan peran politik yang penting sesudahnya.”

Kemajuan Balikpapan menjadikannya sebagai bagian dari wilayah yang dijadikan prioritas untuk direbut pertamakali oleh Jepang ketika melancarkan Perang Pasifik. Kendati porak-poranda oleh bombardir saat Jepang menyerang, Balikpapan cepat pulih sehingga menjadi salah satu supplier minyak utama Jepang. Peran itu terus bertahan hingga jauh setelah Perang Pasifik usai, bahkan setelah Indonesia merdeka dan berganti pemimpin dari Sukarno ke Soeharto.

Peran penting Balikpapan itulah yang coba dijelaskan Soeharto ke Feisal Tanjung. Orang yang dijelaskan pun hanya diam dan terus berpikir. Setelahnya, Feisal memindahkan markas Kodam Tanjungpura ke Balikpapan. Perpindahan itu tidak sulit, sebab di Balikpapan sudah ada bangunan untuk markas Kodam. Yakni bekas bangunan Kodam Mulawarman.

Baca juga: Feisal Tanjung Penindak Perwira

Mayjen Zaini Ashar Maulani, yang menggantikan Feisal di Kodam Tanjungpura, lalu melanjutkan apa yang telah dilakukan pendahulunya itu. Kendati begitu, dia punya penilaian berbeda tentang Kodam yang dipimpinnya, yang masuk kategori Tipe C.

“Kodam tipe C tidak terlalu penting dalam perpolitikan Orde Baru,” ujar Maulani dalam Melaksanakan Kewajiban kepada Tuhan dan Tanah Air.

Meski secara politik tak penting, secara ekonomi Kodam Tanjungpura adalah penghasil uang yang penting di era Orde Baru. Selain minyak, kekayaan alam Kalimantan Timur juga datang dari industri kayu. Loa Janan yang terletak di antara Tenggarong dan Samarinda merupakan pusat industri kayu lapis. Beberapa perusahaan besar beroperasi di sana, termasuk PT Kalamur milik “Raja hutan” Bob Hasan yang merupakan kolega Soeharto. Bersama gas alam, minyak dan kayu menjadi tiga besar penghasil devisa negara semasa Orde Baru.

Setelah Reformasi, di mana sebagian kalangan menuntut penghapusan Kodam sebagai wujud peran politis tentara, TNI AD mengubah kembali susunan Kodam di Kalimantan. Pulau terbesar di Indonesia itu pun hanya memiliki dua Kodam. Di barat, Kodam Tanjungpura dan di timur, Kodam Mulawarman. Kodam Mulawarman berpusat di Balikpapan dan akan menjadi Kodam penting bila ibukota negara jadi pindah.  

TAG

tni ad feisal tanjung

ARTIKEL TERKAIT

Perjuangan Kapten Harun Kabir Aksi Tentara Semut di Zaman Revolusi Taruna Cilik Zaman Belanda Kerangka Serdadu Jepang dari Pertempuran Biak Oposan Sepanjang Zaman Orang Toraja dan Luwu Melawan Belanda Suka Duka Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza Orang Wana Melawan Belanda Pratu Misdi, Pasukan Perdamaian Indonesia yang Gugur di Gaza Pasukan Perdamaian Indonesia di Gaza