PADA 3 April 2023 lalu, Presiden Joko Widodo melantik Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) yang baru, Ario Bimo Nandito Ariotedjo, atau biasa disapa Dito Ariotedjo, untuk menggantikan Zainudin Amali yang mengundurkan diri setelah terpilih sebagai wakil ketua umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).
Politisi Partai Golongan Karya (Golkar) berusia 32 tahun tersebut menjadi menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju setelah sebelumnya disandang Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Menristekdikti) Nadiem Makarim (35). Dito memiliki beberapa rekam jejak dan pengalaman di bidang olahraga, di antaranya sebagai Chef de Mission (CdM) kontingen Indonesia pada gelaran Youth Olympic Games 2018 di Buenos Aires, Argentina, serta bekerja sama dengan artis Raffi Ahmad membentuk RANS Sport dan menjabat sebagai chairman RANS Nusantara FC dan RANS PIK Basketball.
Keluarga Dito pun tak luput dari sorotan setelah diketahui bahwa ia adalah putra bungsu dari Arie Prabowo Ariotedjo, mantan direktur utama PT Aneka Tambang (Antam) dan cucu dari Marsekal Madya TNI (Purn.) Sri Bimo Ariotedjo.
Baca juga: AURI Ingin Membom Markas Kostrad?
Keluarga Ariotedjo bukanlah keluarga sembarangan. Kakek Dito, Sri Bimo Ariotedjo pernah menduduki beberapa jabatan strategis di militer dan menjadi saksi peristiwa penting dalam sejarah negeri ini, khususnya bagi perkembangan TNI Angkatan Udara. Lalu, siapakah sebenarnya Sri Bimo Ariotedjo?
Dalam biografi singkat yang termuat dalam Riwayat Hidup Anggota-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Hasil Pemilihan Umum 1971, diketahui Sri Bimo Ariotedjo lahir di Bima tanggal 7 Agustus 1925. Karier militernya dimulai pada masa revolusi nasional Indonesia ketika ia mengikuti pendidikan di Akademi Militer Yogyakarta. Pada 1947, ia menjadi kadet penerbang Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan mengikuti pelatihan di Yogyakarta, Rangoon (Myanmar), dan Allahabad (India).
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) dan penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), kedaulatan pertahanan juga diserahkan dari KNIL ke TNI. Matra udara yang semula menjadi tanggung jawab Militaire Luchtvaart diserahkan kepada AURI. Pada awal 1950-an, Sri Bimo sudah berpangkat letnan dan menjadi penerbang AURI yang bertugas di Skadron II yang ditempatkan di Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.
Baca juga: Derita Pasukan Karbol AURI
Pada 1954, Sri Bimo mengikuti kursus di Sekolah Ilmu Siasat dan Squadron Leader Course di India. Setelah mengikuti kursus tersebut, Kapten Udara Sri Bimo Ariotedjo bersama Mayor Udara R. Imam Soewongso Wirjosapoetro ditugaskan untuk mengikuti pendidikan lanjut ke Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris. Majalah resmi AURI, Angkasa memberitakan kepulangan mereka ke tanah air pada 12 Mei 1955. Berita tersebut menyebutkan secara rinci keikutsertaan mereka dalam pendidikan staff course, setara dengan sekolah staf dan komando (sesko) kecabangan udara.
Setelah pulang dari Inggris, karier Sri Bimo terus menanjak, hingga pada 1957 ia menjabat sebagai komandan Komando Pendidikan Udara di Halim Perdanakusuma. Pangkatnya dinaikkan menjadi mayor. Ia menduduki jabatan tersebut hingga tahun 1961 dan pangkatnya sudah naik menjadi kolonel udara. Di tahun yang sama, Kolonel Udara Sri Bimo Ariotedjo menerima tugas dan tanggung jawab baru sebagai atase udara di Kedutaan Besar Republik Indonesia di New Delhi, India.
Pada 1965, Sri Bimo dipanggil pulang ke tanah air untuk menjabat sebagai komandan Sekolah Staf dan Komando AU (Seskoau) dan pangkatnya dinaikkan menjadi komodor udara. Ketika menjabat sebagai komandan Seskoau, ia ditugaskan oleh Menteri/Panglima AU (Menpangau) Laksamana Madya Udara Omar Dani, untuk memimpin delegasi AURI ke Peking, Republik Rakyat Tiongkok sebelum pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Dalam Indonesia 1965: The Coup that Backfired yang diterbitkan oleh CIA, disebutkan Komodor Udara Sri Bimo Ariotedjo memimpin delegasi staf Akademi Angkatan Udara RI yang berjumlah 61 orang.
Baca juga: Kebingungan Rombongan Perwira Angkatan Udara Sepulang dari China
Sepulangnya dari Peking pada 2 Oktober 1965, Sri Bimo dan rombongannya yang masih berada dalam pesawat C-130 Hercules dibuat bingung oleh desas-desus lapangan udara Halim Perdanakusuma dikuasai pasukan RPKAD, serta tiga instruksi berbeda untuk mendarat di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Atang Sanjaya, dan Husein Sastranegara.
Sri Bimo yang berada di kokpit pesawat Hercules bersama Kolonel Udara Santoso, memutuskan untuk mendarat di Halim Perdanakusuma. Saat tiba di Halim, ia dan rombongannya masih dibuat bingung dengan perintah untuk menghadap Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto. Kebingungannya berlanjut bahkan saat ia berbicara dengan Soeharto yang menyampaikan bahwa pimpinannya terlibat peristiwa G30S seraya menyodorkan pilihan: apakah Sri Bimo dan rombongannya bersama Soeharto atau bersama Omar Dani? Sri Bimo tidak memberikan jawaban pasti dan cenderung diplomatis bahwa ia harus segera pulang dan melapor kepada Menpangau terlebih dahulu.
Menurut Humaedi, dosen program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta, dalam Dari Halim ke Nirbaya: Pasang Surut AURI dalam Politik 1962–1966, Soeharto mencoba mengambil alih kepemimpinan para perwira yang baru pulang dari luar negeri, melampaui garis hierarkis masing-masing institusinya. Sebagai perwira AURI, Sri Bimo diarahkan untuk memahami persoalan G30S sesuai dengan narasi Soeharto, bahwa Panglima AURI Omar Dani terlibat G30S.
Sri Bimo harus mengikuti garis koordinasi yang baru, di bawah kendali Letjen TNI Soeharto dan Kostrad, bukan garis organisasi institusinya sendiri yaitu AURI. “Dengan demikian, Soeharto telah bertindak tidak sapta-margais dengan menyuruh seorang perwira untuk membangkang terhadap atasannya,” tulis Humaedi.
Baca juga: Omar Dani, Kisah Tragis Panglima Sukarnois
Sementara banyak anggota dan perwira AURI termasuk Omar Dani dipenjara sebagai tahanan politik, tampaknya Sri Bimo memilih ikut Soeharto. Pasalnya, pada 1967 ia sudah berpangkat laksamana muda udara serta mendapat dua promosi jabatan sebagai Deputi Operasi Menpangau dan kemudian Deputi Pembinaan Administrasi Kepala Staf Pertahanan dan Keamanan.
Pada 1971, Marsekal Madya TNI Sri Bimo Ariotedjo ditunjuk menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui hasil pemilu. Pada 1974, ia mendapat tugas sebagai duta besar untuk Filipina. Saat menjadi duta besar, ia dan istrinya, Mien, menjalin hubungan baik dengan Presiden Ferdinand Marcos dan mendapat tanda jasa karena dinilai berhasil membina hubungan baik kedua negara.*
Penulis adalah mahasiswa S1 yang sedang menyelesaikan studinya di Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada. Menggemari bacaan dan film bertemakan militer.