Hari ini, 30 September, 58 tahun silam. Sersan Mayor Surono Hadiwijono bersama rekan-rekannya bergerak ke sebuah desa di Jakarta Timur yang bernama Lubang Buaya. Letaknya dekat dari Lanud Halim Perdanakusuma. Mereka diperintahkan oleh komandan batalyon mereka, Letkol Untung Sjamsuri.
Surono merupakan komandan Peleton II Kompi C Batalyon Kawal Kehormatan 1 Resimen Tjakrabirawa. Pemuda asal Solo berusia 35 tahun itu, menurut buku Gerakan 30 September di Hadapan Mahmillub 2 di Jakarta: Perkara Untung, sehari-harinya tinggal di Asrama Tjakrabirawa Tanah Abang II selama di Jakarta.
Baca juga: Perisai Presiden Bernama Tjakrabirawa
Surono tentu bangga bisa menjadi bagian dari pasukan pengaman presiden itu. Pasalnya, hanya orang-orang pilihan dari empat matra ABRI yang bisa masuk Tjakrabirawa.
Pada malam pergantian dari 30 September ke 1 Oktober 1965, Surono bersama puluhan anggota batalyon Untung ikut sang dan-yon ke Lubang Buaya. Mereka cukup lama istirahat di kawasan Lubang Buaya. Di antara mereka ada yang tertidur.
“Kira-kira jam 3.45 tanggal 1 Oktober 1965 kami dibangunkan dan diberi tahu bahwa Dewan Jenderal akan mengadakan coup (kudeta), maka kami sebagai anggota Tjakrabirawa harus menjaga keselamatan dan keamanan pribadi Paduka Jang Mulia Presiden beserta keluarganya. Sebab itu kami diperintahkan untuk mengambil Jenderal Yani mati atau hidup,” aku Gijadi dalam persidangannya di Mahmillub, 25 Februari 1966.
Serda Gijadi merupakan bintara di Kompi B Batalyon Kawal Kehormatan I Tjakrabirawa. Mantan anggota pasukan elite Banteng Raider itu justru mendapat tugas menculik hidup atau mati Menteri/Panglima Angkatan Darat yang juga pendiri Banteng Raider, Letjen A. Yani.
Baca juga: Gijadi Menembak Yani
Lain Gijadi lain pula Surono. Surono kebagian tugas memimpin penjemputan paksa Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo, kala itu menjabat Inspektur Kehakiman Militer (Oditur Jenderal) merangkap direktur Akademi Hukum Militar (Perguruan Tinggi Hukum Militer). Perwira tinggi asal Corps Polisi Militer itu pernah menjadi atase militer.
Ketika tiba di sekitar rumah Soetoyo yang berada di Jalan Sumenep, Jakarta Pusat, pasukan Surono langsung melumpuhkan satu persatu penjaga rumah. Mereka lalu berpencar sesuai pembagian yang ditetapkan: menjaga jalanan depan rumah, halaman belakang, dan yang masuk ke rumah.
“Mereka berhasil membujuk Soetoyo untuk membuka pintu kamar dengan alasan membawa surat dari presiden, kemudian menangkap dan meringkusnya. Kedua matanya ditutup, tangan diikat di belakang punggung, dan didorong masuk ke truk yang telah menunggu, lalu segera menuju Lubang Buaya,” catat Ruth McVey dan Ben Anderson dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Analisis Awal.
Surono dkk. hanya menjalankan perintah Komandan Pasopati Letnan Satu Dul Arief dan komandan batalyon mereka Letkol Untung. Dalam pikiran mereka, barangkali sedang menyelamatkan Presiden Sukarno.
Pada 1 Oktober 1965 pagi, Sutoyo yang merupakan ayah dari Gubernur Lemhanas Letnan Jenderal Agus Widjojo dieksekusi di Lubang Buaya. Kemungkinan ditembak dari punggung. Ia gugur dan kemudian jasadnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Pada, 8 Oktober 1965, Surono ditangkap dan ditahan. Laporan Amnesty International Juli 1987 menyebut, pada sidang Mahkamah Militer Jakarta tanggal 29 Oktober 1970, Surono dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi, Surono ditahan di Penjara Cipinang.
Namun, eksekusi mati tak kunjung dijalani Surono. Ketegangan menanti ajal selama belasan tahun tentu membuat Surono berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Menurut dua tahanan politik di Cipinang era orde baru, Fauzi Isman dan Wilson, pemuka agama Kristen lebih memperhatikan pelaku G30S yang semula beragama Islam itu. Surono pindah agama dan berganti nama menjadi Yohannes Surono.
Rupanya, Yohannes Surono harus mengalami masa di penjara hingga lebih dari 19 tahun lamanya. Baru sektiar 15 Februari 1990 Surono bersama Satar, Nurchayan, dan Sulaiman dijemput dari sel mereka di Cipanang dan tak pernah kembali lagi setelahnya.