DALAM perjalanan ke Desa Kondomari, sekira tiga kilometer dari lapangan terbang Maleme di Pulau Kreta, Yunani, Franz Peter Weixler, fotografer XI Fliegerkorps Division Wehrmacht (AD Jerman), sempat singgah di Desa Maleme. Di sana dia ditunjukkan kondisi beberapa mayat prajurit Jerman yang membusuk oleh Kapten Horst Trebes, komandan salah satu kompi di Batalion II Resimen Badai Lintas Udara 1 AD Jerman.
Weixler dan Trebes pun berdebat. Weixler menyatakan mayat-mayat itu membusuk bukan disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan penduduk, tapi Trebes bersikeras mayat-mayat itu membusuk akibat siksaan penduduk. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke Desa Kondomari, tempat di mana Trebes akan memimpin ekspedisi untuk menghukum penduduk desa yang diyakini menyiksa tentara Jerman dalam Pertempuran Kreta (Mei-Juni 1941).
Pertempuran Kreta terjadi pada fase awal Perang Dunia II. Merebut Kreta mendadak jadi obsesi Hitler setelah berhasil menduduki Yunani daratan pada April 1941. Upaya meyakinkan yang terus diutarakan jenderal-jenderalnya di Luftwaffe (angkatan udara) membuat Hitler khawatir Kreta, yang masih dikuasai Inggris (Sekutu), akan dijadikan sebaagi basis untuk menyerang pangkalan minyak terpenting Jerman di Rumania, Ploiesti, dan serangan-serangan lain di sisi selatan daratan Eropa. Hitler jadi ragu karena dia mesti membagi fokus yang tadinya tercurah seluruhnya untuk pematangan rencana invasi ke Uni Soviet.
Baca juga: Neraka Hitler di Stalingrad
Meski ditentang banyak jenderalnya di Komando Tinggi Tentara Jerman yang masih disibukkan dengan perencanaan Operasi Barbarossa (invasi Jerman ke Soviet), Hitler akhirnya memutuskan untuk menyerang Kreta dan merebut tempat-tempat strategis, terutama tiga bandara yang ada, lewat Operasi Mercury. Operasi yang ditetapkan berjalan pada 20 Mei 1941 dan dipimpin Jenderal Kurt Student, komandan XI Flieger Division, itu menjadi operasi udara skala besar pertama di dunia yang mengkombinasikan penggunaan pemboman udara, penerjunan pasukan para, dan penggunaan pesawat layang (glider).
Lantaran waktu yang mepet, persiapan pun dilakukan secara tergesa-gesa. Banyak pesawat Luftwaffe yang sedang bertugas langsung dipulangkan untuk perbaikan guna menjalankan Operasi Mercury. Begitupula para personil, mereka mendapat pelatihan kilat operasi udara dan pembekalan lain.
“(Kapten Rudolf, red.) Witzig dan pasukan terjun payungnya menerima jatah khusus, yang bertujuan untuk membangun moril dan meningkatkan stamina fisik dalam persiapan untuk penerjunan tempur yang akan datang. Ransum mereka termasuk barang-barang yang dianggap mewah oleh tentara Jerman. Bagi sebagian besar pasukan terjun payung, ini adalah makan terakhir yang akan mereka makan untuk beberapa waktu; bagi banyak orang itu akan menjadi makanan terakhir mereka sekaligus,” tulis Gilberto Villahermosa dalam Hitler’s Paratrooper: The Life and Battles of Rudolf Witzig.
Baca juga: Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi
Apa yang ditakutkan banyak personil Jerman itu menjadi kenyataan pada 20 Mei 1941 ketika Hitler melancarkan Operasi Mercury dengan sasaran awal Bandara Maleme. Perlawanan dari pasukan Persemakmuran Inggris, terutama Batalyon ke-22 dan ke-23 AD New Zealand, yang bahu-membahu dengan personil militer Yunani dan milisi-milisi setempat begitu kuat.
“Serangan terhadap Maleme oleh Grup Barat dipelopori oleh LLStR (Luftlande Sturm Regiment) yang dipimpin Mayjen Eugen Meindl. Pendaratan awal glider pada pukul 07.15, setelah bombardir intensif Luftwaffe, dilakukan oleh unit 3.1/LLStR Letnan Satu Wulf von Plessen di mulut sungai, tujuannya adalah baterai AA. Sasaran ini cepat diserbu tetapi von Plessen terbunuh. Beberapa menit kemudian, glider-glider 4.1/LLStR Kapten Kurt Sarrazin mendarat tepat di selatan Bukit Kavkazia. Wadan-yon, Walter Koch, menemani mereka tetapi segera terluka, dan Sarrazin terbunuh tak lama kemudian. Stabskompanie Mayor Franz Braun mendarat di sekitar jembatan di atas dasar sungai; Braun segera terbunuh. Meindl dan ajudannya, Letnan satu Von Seelen, terluka parah dan, karena Koch juga absen dan Braun tewas, komando untuk sementara diambilalih Dr Heinrich Neumann, perwira senior yang selamat. Tujuh puluh dua orang dari komando di bawah Letnan Peter Murbe diterjunkan bermil-mil ke barat untuk merebut landasan terbang yang belum selesai di Kastellin Kissamos dan menderita secara mengerikan di tangan para pejuang Kreta. Akhirnya, III/LLStR Mayor Otto Scherber yang turun ke desa Maleme sendiri untuk menyerang lapangan terbang dari timur tetapi kebanyakan prajuritnya mendarat di tengah Batalyon ke-23 Selandia Baru dan Sherber terbunuh juga, bersama dengan sebagian besar anak buahnya,” tulis Bruce Quarrie dalam German Airborne Divisions: Blitzkrieg 1940-41.
Baca juga: Mengejar Gembong Nazi Terakhir
Meski akhirnya berhasil merebut Kreta, Jerman kehilangan banyak serdadu cakapnya. Momen-momen sejak pendaratan awal hingga gerak maju tentara Jerman itu diabadikan Weixler dengan kameranya. Termasuk yang diabadikan Weixler adalah tempat tahanan para tentara Sekutu yang tertawan.
Ketika sedang di mess-nya yang berada di Chania, ibukota Kreta, pada 2 Juni 1941, Weixler kedatangan seorang perwira muda. Dia diberitahu agar menyaksikan hal menarik sore nanti, berupa ekspedisi penghukuman terhadap penduduk. Menurutnya, langkah penghukuman terhadap penduduk itu diambil untuk membalas aksi mereka yang menyebabkan banyak kematian di pihak pasukan Jerman dan juga banyak penduduk itu memutilasi para prajurit Jerman yang terluka dan sekarat.
“Komando tertinggi Luftwaffe telah diberitahukan tentang hal ini beberapa hari sebelumnya, dan perintah telah diterima dari (kepala Luftwaffe Marsekal Hermann) Goering yang menurutnya tindakan paling tajam, yaitu penembakan terhadap penduduk pria berusia antara 18 dan 50 tahun, akan dilakukan,” kata perwira itu, dikutip Weixler dalam testimoninya untuk persidangan Hermann Goering di pengadilan penjahat perang Nuremberg.
Baca juga: Baju Nazi ala Ahmad Dhani
Melihat rencana mengerikan itu, Weixler segera menemui beberapa perwira di sekitarnya, antara lain Mayor Stenzler. “Saya mengatakan kepada Stenzler bahwa pada hari-hari pertama pertempuran saya telah melihat burung nasar memilih mayat rekan-rekan kami. Saya mengingatkan si mayor bahwa kami melihat kawan-kawan setengah membusuk yang tak terhitung banyaknya, tetapi kami belum pernah melihat satu pun pembunuhan atau pembantaian, dan saya akan menganggap melaksanakan perintah Goering sebagai pembunuhan langsung. Saya memohon kepada Mayor Stenzler untuk tidak mengirim ekspedisi hukuman,” sambung Weixler.
Upaya Weixler gagal sehingga dia menemui Kapten Horst Trebes, komandan kompi salah satu grup para. Lagi-lagi, Weixler gagal menghentikan upaya penghukuman. Dia akhirnya ikut ke dalam rombongan Trebes yang –berisi seorang penerjemah, seorang letnan, dua sersan, dan sekira 25 prajurit para dari Batalion Ke-2– bergerak ke Desa Kondomari.
Begitu rombongan tiba, para prajurit langsung turun ke rumah-rumah penduduk dan kembali dengan membawa penduduk. Penduduk itu dikumpulkan di alun-alun kecil desa. “Seorang tentara Jerman lalu mengeluarkan mantel penerjun payung yang ia ambil di salah satu rumah, dan itu memiliki lubang peluru di bagian belakang. Trebes segera membakar rumah itu. Seorang pria mengaku telah membunuh seorang tentara Jerman, tetapi tidak mungkin untuk menghukum yang lainnya karena kejahatan atau penjarahan, dan karena itu saya meminta Trebes untuk menghentikan tindakan yang dimaksud,” kata Weixler.
Trebes tetap mengacuhkan permintaan Weixler. Kemudian, kata Weixler, “Trebes memerintahkan untuk memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak; kemudian dia meminta penerjemah memberitahu para perempuan itu bahwa semua pria akan ditembak karena membunuh tentara Jerman, dan mayat-mayat itu harus dikebumikan dalam waktu dua jam. Ketika Trebes membalikkan badannya selama beberapa saat, saya memungkinkan melarikan sembilan orang menyelamatkan diri. Trebes menyuruh orang-orang itu membentuk setengah lingkaran, memberi perintah untuk menembak, dan setelah sekitar lima belas detik, semuanya berakhir.”
Baca juga: Cerita Kelam Perempuan Jerman Setelah Nazi Kalah Perang
Sejumlah 26 penduduk pria desa Kondomari pun meregang nyawa. Hal itu membuat Weixler tak bisa terima. “Saya bertanya kepada Trebes, yang cukup pucat, apakah dia menyadari apa yang telah dia lakukan, dan dia menjawab bahwa dia hanya menjalankan perintah Hermann Goering, dan membalas kawan-kawannya yang sudah mati. Beberapa hari kemudian dia menerima Knights Cross dari Goering karena ‘keberaniannya,’ di Kreta.”
Prosesi penembakan penduduk tak bersenjata itu diabadikan Weixler menggunakan kameranya. Meski Weisler menyerahkan negatif foto kepada atasannya dan menandatangani pernyataan bahwa tidak memiliki salinannya, Weixler sebetulnya berbohong karena dia sempat menduplikat negatif itu dan mengirimkannya ke rekannya di Athena. Negatif salinan itulah yang kemudian dicetak oleh rekannya.
Karena tersebarnya gambar eksekusi itu, yang sebetulnya ditujukan untuk propaganda militer Jerman, Weixler pun dipecat dari militer dan ditahan. “Salah satu alasan dakwaan saya adalah fakta bahwa saya telah memberi tahu teman-teman kebenaran tentang kesatuan parasut di Kreta pada Mei 1941, dan juga bahwa saya telah mengambil gambar di sana.”
Weixler yang berharap dihukum mati, tapi tak pernah mendapatkannya. Selamatnya dia dari tahanan Gestapo usai Jerman kalah perang justru menjadikannya bisa membuka fakta kejahatan perang Jerman di Kreta dalam Pembantaian Kondomari. Pada November 1945, dia menulis testimoni untuk pengadilan kasus kejahatan perang yang melibatkan Hermann Goering di Pengadilan Nuremberg. Salinan testimoni bertulis tangan itu kini tersimpan di Cornell University, Amerika Serikat.