Masuk Daftar
My Getplus

Menumpas Pengikut Tan Malaka (2)

Setelah bertahan selama hampir seminggu, kekuatan Lasjkar Rakjat di Karawang tercerai berai. Sebagian malah menyeberang ke pihak Belanda.

Oleh: Hendi Johari | 27 Jul 2020
Eks Pasukan Laskar Rakjat (LR) yang bergabung dengan militer Belanda dan dinamakan sebagai HMOT. (Arsip Nasional Belanda).

Pertempuran di pinggir Kali Citarum itu berlangsung selama dua hari dua malam. Masing-masing pihak saling bergantian melakukan serbuan. Tak jarang pertempuran harus diakhiri dengan perkelahian brutal jarak dekat menggunakan bayonet, klewang dan golok. Korban pun berjatuhan, baik dari pihak Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) maupun dari pihak Lasjkar Rakjat (LR).

“Orang-orang LR itu memang pandai silat. Mereka rata-rata adalah jawara atau jago di era sebelum Jepang berkuasa,” ujar Endin (93), eks prajurit dari Batalyon Beruang Merah.

Karena kalah taktik dan kurang menguasai medan, pasukan gabungan TRI sempat dipukul mundur dari wilayah Lamaran . Kekalahan TRI itu, otomatis menjadikan gerak LR semakin melaju ke arah kota Karawang, di mana satu unit pasukan anak buah Sutan Akbar itu tengah dikepung oleh pasukan Siliwangi pimpinan Kapten Lukas Koestarjo.

Advertising
Advertising

Baca juga: Membentuk Tentara Rakyat

Tak ingin kehilangan Karawang yang merupakan front penting menghadapi militer Belanda, Panglima Divisi Siliwangi Kolonel A.H. Nasution lantas  memerintahkan Batalyon Garuda Hitam pimpinan Mayor Mohamad Rivai, satu kompi eks Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) pimpinan Kapten Dodong dan satu kompi eks Barisan Banteng Repoeblik Indonesia (BBRI) pimpinan Kapten K.Kamil untuk berangkat ke palagan Karawang.

“Dari Garut kami bergerak memakai kereta api menuju Kroya di Jawa Tengah, terus ke Cirebon dan turun di Stasiun Klari yang jaraknya hanya 5 km dari markas besar LR di Lamaran,” ungkap Mohamad Rivai dalam Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Rivai menetapkan Stasiun Klari sebagai basis pasukan gabungan. Dengan menetapkan strategi serangan dadakan sebagai cara untuk menghadapi para gerilyawan LR, dia membagi pasukan menjadi dua bagian: lambung kanan melalui Palawad dipimpin oleh dia sendiri dan lambung kiri melalu Warung Bambu dipimpin oleh Kapten Gultom.

“Sebagai upaya penyesatan, saya menempatkan satu regu dari Batalyon Garuda Hitam di antara dua lambung itu yakni di Pasar Jengkol,” ujar Rivai.

Pada akhirnya serangan mendadak itu harus gagal, karena gerak pasukan yang dipimpin oleh Kapten Gultom terlanjur diketahui oleh pasukan LR pimpinan Wahidin Nasution. Maka terjadilah pertempuran seru yang menyebabkan terpukul mundurnya pasukan Kapten Gultom. Untunglah bala bantuan pasukan pimpinan Mayor Neman cepat datang dan menyebabkan anak-anak TRI cepat menguasai medan kembali.

Baca juga: Menumpas Pengikut Tan Malaka (1)

Sementara itu mengetahui pasukan Kapten Gultom tertahan di lambung kiri, maka Mayor Rivai berinsiatif langsung menyerbu Lamaran. Sebelum menjalankan raid, dia memerintahkan untuk menghujani kawasan markas LR dengan peluru mortir.

“Ternyata serangan ini mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan: (kedudukan) pasukan LR yang serba kuat itu hancur seketika tanpa meninggalkan bekas,” tutur Rivai.

Wahidin Nasution sendiri berhasil menyingkir ke kota Karawang bersama beberapa pengawalnya. Dia lantas bergabung dengan unit LR pimpinan Sutan Akbar di sana.

*

Sementara itu, pengepungan terhadap kota Karawang dilakukan secara rapat oleh gabungan pasukan TRI. Beberapa kali kota itu dihujani oleh artileri dan mortir yang menyebabkan perlawanan pasukan LR menjadi semakin lemah. Pada 26 April 1947, secara resmi TRI memenangi perang. Tanpa tertahan sedikitpun mereka melenggang saat masuk Karawang dan hanya menemukan beberapa unit LR dan salah satu pimpinannya (Wahid Nasution) bertekuk lutut.

“Wahidin kemudian ditahan di penjara Purwakarta,” ungkap sejarawan Robert B. Cribb.

Pasca penyerahan itu, pasukan gabungan TRI lantas menjalankan berbagai razia di jalanan menuju Cirebon dan Purwakarta. Maka tertangkaplah beberapa gembong LR seperti Sidik Kertapati, Akhmad Astrawinata dan Hassan Gayo. Mereka kemudian dipenjarakan di Tasikmalaya.

Baca juga: Soeharto Pernah Ditangkap di Madiun

Pemimpin-pemimpin LR yang lain seperti Sutan Akbar, Armunanto, Hasnan Cinan dan Kusandar berhasil meloloskan diri dengan kereta api ke Jawa Tengah. Beberapa unit LR yang salah satunya dipimpin oleh “jagoan Pasar Senen” Imam Syafe’i  berhasil dinetralisir lantas digabungkan dengan kekuatan TRI di Cirebon.

Pentolan-pentolan LR lainnya seperti Wim Mangilap, Pandji, Sudjono dan Harun Umar melarikan diri ke wilayah Belanda. Di sana mereka kembali menjadi unit-unit liar yang berprofesi sebagai perampok dan penyamun. Wim sendiri yang di kalangan orang-orang Karawang dikenal sebagai “Pak Kilap atau Pak Kilat” lantas membentuk laskar baru bernama Matjan Tjitaroem. Sedangkan Padji, Sudjono dan Harun Umar kemudian ditangkap militer Belanda di wilayah Kleder, Jakarta Timur.

Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda

Sejarah mencatat, (kecuali Wim Mangilap) eks para pengikut Tan Malaka itu kemudian berhasil dibujuk oleh militer Belanda untuk masuk dalam suatu kesatuan baru bernama HMOT (Pasukan Non Organik Ratu Belanda). Mereka inilah yang pada 21 Juli 1947, menjadi garda terdepan dalam aksi militer Belanda ke-1 bertajuk Operasi Produk di wilayah Karawang.

“HMOT sudah bersiap di sana untuk menghadapi musuh lama mereka: Beruang Merah…” ungkap Cribb.  

TAG

siliwangi laskar tan malaka

ARTIKEL TERKAIT

Komandan Polisi Istimewa Digebuki Anggota Laskar Naga Terbang Serdadu Ambon Gelisah di Bandung Westerling Nyaris Tewas di Tangan Hendrik Sihite Perang Saudara di Tapanuli Bandit Medan Berjuang dalam Perang Kemerdekaan Pamer Kemewahan Hasil Jarahan Kapten Matheus Sihombing, Jago Revolusi dari Tapanuli Cerita Gerilya dari Sanggabuana, Tempat Ditemukannya Ular Naga Sepak Terjang Pasukan 303 Kisah Tarigan, Laskar Buronan Westerling di Medan