DE OOST (The East) kini tengah diperbincangkan khalayak di Belanda dan Indonesia. Drama perang besutan sutradara Jim Taihuttu itu dianggap telah kembali menorehkan luka lama tentang kejahatan perang militer Belanda selama era Perang Kemerdekaan Indonesia (1946-1949).
Aksi boikot terhadap film itu bahkan telah diserukan oleh para veteran Belanda dan keluarganya. Salah satunya adalah Palmyra Westerling, putra dari tokoh antagonis dalam De Oost (Kapten R.P.P. Westerling) yang secara resmi telah membuat sepucuk surat terbuka di media sosial.
“[Mengimbau kepada] seluruh pembaca surat saya dan saudara sebangsa untuk tidak mendukung fim fantasi ini,” ungkap Palmyra.
Baca juga: DeOost, Perang Westerling di Timur Jauh
De Oost sendiri berkisah tentang pengalaman seorang serdadu bernama Johan de Vries selama bertugas di wilayah timur (Indonesia). Sebelum bergabung dengan Korps Pasukan Khusus (KST) pimpinan Westerling, sang prajurit muda itu dikisahkan merupakan anggota dari kesatuan militer Belanda yang memiliki tanda pengenal “sepatu yang menganga”. Apakah simbol tersebut hanya fiksi belaka?
Sama sekali tidak. Jika kita menelisik dokumen-dokumen militer Belanda periode 1945-1949, maka akan ditemukan sebuah kesatuan bernama Batalion 2-6-RI. Menurut A. Verhulst dalam Zo maar wat herinneringen aan mijn verblijf in Nederlands-Indië bij 3-II-6RI (Kenangan ketika bertugas dengan Kompi ke-3, II-6-RI di Hindia Belanda), saat awal didirikan pada 16 April 1945 2-6-RI merupakan kesatuan pengawal yang perlengkapannya serba minim.
Puncak serba kekurangan itu terjadi saat mereka ditugaskan sebagai bagian dari pasukan Sekutu yang bertugas menghabisi tentara Jerman di wilayah Raamsdonk (Belanda). Kala itu nyaris semua sepatu para prajurit 2-6-RI sudah tak layak pakai lagi. Namun karena belum datang kiriman, sepatu-sepatu busuk itu terpaksa mereka tetap pakai.
Baca juga: De Oost dan Ikhtiar Menyembuhkan Luka Lama
“Begitu terkesannya dengan kenangan buruk itu, semua anggota 2-6-RI kemudian menyepakati untuk menjadikan “sepatu menganga” mereka dijadikan simbol kesatuan,” ungkap Verhulst, yang sudah menjadi anggota 2-6-RI sejak awal pendiriannya di Sittard, Belanda.
Awal Maret 1946, 2-6-RI mendarat di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Alih-alih disambut hangat sebagai “pasukan pembebas”, mereka justru mendapatkan suasana dingin orang-orang Jawa terhadap kedatangan mereka. Menurut Prajurit Jan van Asseldonk, dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat jalan-jalan di Semarang begitu penuh dengan bendera merah-putih.
“Kalimat-kalimat berbahasa Melayu dan Inggris yang tertera di tembok-tembok sepanjang jalanan menegaskan keengganan mereka terhadap kehadiran kami di sini,” ungkap Van Asseldonk dalam sebuah tulisannya di koran De Locomotief, 17 April 1948.
Baca juga: Orang Semarang Melawan Jepang
Namun diam-diam, para pribumi memperhatikan gerak-gerik Batalion 2-6-RI. Mereka bahkan memiliki julukan sendiri untuk membedakan anak-anak muda Belanda dari 2-6-RI dengan kesatuan lainnya: tentara sepatu rusak. Merasa senang dengan julukan itu, 2-6-RI lantas menjadikan “Sepatoe Roesak” sebagai nama resmi kesatuannya.
Saat Belanda melancarkan aksi polisionil-nya yang pertama pada 21 Juli 1947, Batalion Sepatoe Roesak (di bawah T-Brigade) termasuk salah satu unit pemukul yang ikut mengobrak-abrik pertahanan kekuatan republik di Semarang dan sekitarnya. Setidaknya nama unit mereka disebut-sebut oleh A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi Militer Belanda I Jilid V.
Baca juga: Pertempuran Lima Hari di Semarang
Pasca invasi pertama tersebut, Batalion Sepatoe Roesak merangsek terus ke luar Semarang. Pada Agustus 1947, mereka berhasil menguasai Kaliwungu dan Weleri. Setelah itu giliran Salatiga yang ditaklukan. Ada sebuah kisah lucu ketika mereka baru saja menaklukan Weleri.
Begitu Weleri bebas dari kekuatan republik, serombongan anggota Palang Merah Belanda pimpinan istri dari komandan T-Brigade (Kolonel D.R.A. van Langen) berkenan datang. Usai melihat kondisi tentara Belanda di Weleri, rombongan itu merencanakan untuk pergi ke Kaliwungu dengan misi yang sama. Sebagai pengawal, maka ditugaskanlah beberapa prajurit dari Batalion Sepatoe Roesak.
Baca juga: Kekerasan Seks Serdadu Belanda
Entah gugup atau memang tidak memiliki pengetahuan mengenai navigasi, alih-alih menuju Kaliwungu, rombongan Nyonya van Langen malah tersesat ke sebuah kota yang banyak dipenuhi bendera merah-putih. Tempat itu ternyata adalah Kendal yang memang masih dikuasai pihak republik secara utuh.
“Begitu sadar, mereka langsung berbalik arah dengan memacu kendaraan dalam kecepatan tinggi hingga membuat wajah para perempuan Palang Merah (termasuk Nyonya van Langen) pucat pasi. Untunglah mereka bisa sampai ke Semarang dalam keadaan utuh,” ungkap Prajurit Van Asseldonk.
Setelah Agresmi Militer Belanda I selesai, Batalion Sepatoe Roesak mendapatkan tugas di bagian timur Salatiga sekitar Bringin. Pada Januari 1948 mereka kemudian mengambil-alih beberapa posisi di Salatiga dari Resimen Stoottroepen ke-1. Batalion Sepatoe Roesak menempati wilayah itu hingga mereka dipulangkan ke Belanda pada 24 April 1948.