Awal tahun 2022 menjadi babak baru yang cukup mengharukan bagi para pemain Wayang Orang Ngesti Pandowo. Setelah hampir dua tahun vakum karena pandemi Covid-19, mereka dapat pentas kembali pada Sabtu (8/1) malam di Gedung Kesenian Ki Narto Sabdo, Kompleks Taman Budaya Raden Saleh, Semarang. Lakon (tema) yang mereka tampilkan: “Semar Boyong”.
Wayang orang Ngesti Pandowo merupakan kelompok wayang orang legendaris di Indonesia. Di masa jayanya, Ngesti Pandowo sering dipanggil Presiden Sukarno maupun Soeharto, yang sama-sama penggemar wayang, untuk pentas di Istana Negara.
“(Pasca Soeharto, red.) Kalau ke Istana nggak. Artinya, untuk presiden setelah Soeharto, ya nggak pernah (pentas di Istana). Pernah pentas di Jakarta, tapi mungkin pentas di TIM, di Taman Mini. Biasanya seperti itu,” ujar Dhanang Respati Puguh, dosen di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, kepada Historia.
Baca juga: Hikayat Wayang Orang di Priangan
Kisah Ngesti Pandowo bermula dari sosok bernama Sastro Sabdo. Ia merupakan anggota kelompok wayang Sadyo Wandowo di Surabaya. Lantaran Sadyo Wandowo bubar akibat kalah bersaing dengan perkumpulan-perkumpulan wayang orang lain di Surabaya, Sastro Sabdo mendirikan kelompok baru yang diberinya nama Ngesti Pandowo. Modalnya berasal dari dari uang simpanannya dan tambahan dari seorang perempuan keturunan Tionghoa.
Pada 1 Juli 1937, sebuah pasar malam bernama Pasar Oranye dihelat di Maospati, Madiun. Di antara kerumunan penonton, terdapat orang Belanda penggemar wayang dan lumayan fasih bicara bahasa Jawa. Sastro Sabdo mendekati orang tersebut, mengajak menari. Orang Belanda tersebut mau lalu ikut tampil menjadi tokoh Werkudara. Pertunjukan itu menjadi pertunjukan perdana Ngesti Pandowo, dengan peralatan yang disewa dari pihak lain.
“Pertunjukan tersebut tidak dilakukan di dalam gedung atau bangunan yang permanen, tetapi mendirikan sebuah panggung dari bahan bambu atau yang sering disebut tobong,” tulis Haryono Rinardi, dosen sejarah sosial Universitas Diponogoro, dalam penelitiannya berjudul Perkumpulan Wayang Orang Ngesti Pandawa (1937–2001) Studi Tentang Menejemen Seni Pertunjukan.
Berpindah-pindah Tempat
Dari Madiun, Ngesti Pandowo memulai pentasnya dari kota ke kota. Namun hanya di seputaran Jawa Timur: Surabaya, Kediri, Nganjuk, Blitar, Madiun, dan Malang. Setiap ada pasar malam, mereka hampir selalu tampil di sana.
Pada awal 1942, Jepang masuk ke Jawa. Pengawasan ketat terhadap segala aktivitas masyarakat diberlakukan antara lain lewat sensor setiap kegiatan publik dan juga pemberlakuan jam malam. Akibatnya, jumlah penonton Ngesti Pandowo berkurang dan imbasnya, pendapatannya pun menurun.
Kondisi tersebut memaksa Ngesti Pandowo memutar otak supaya tetap bertahan. Hijrah mendekati pusat kebudayaan seperti Surakarta pun dipilih sebagai solusi. Ngesti Pandowo lalu memilih Klaten sebagai tempat persinggahannya karena diyakini wilayah tersebut penduduknya banyak yang menyukai kesenian tradisional.
Kendati mendapat sambutan baik dari masyarakat, eksistensi Ngesti Pandowo di Klaten hanya bertahan sebentar. Pada 1948, di Delanggu, Klaten, Tentara Republik Indonesia meminta anggota Ngesti Pandowo untuk meninggalkan tempat pertunjukan karena akan dibakar untuk menghambat masuknya pasukan Belanda.
Baca juga: Ludruk, Awalnya Pekerjaan Parttime
“Sastro Sabdo selaku pimpinan Ngesti Pandowo mengajak anggotanya pindah ke Begalon, Surakarta. Dalam perjalanan dari Delanggu ke Begalon sering terjadi pemeriksaan oleh anggota KNIL dan harus rela berhenti cukup lama saat terjadi pertempuran. Ternyata saat sampai di Begalon, mereka tetap tidak bisa melakukan pementasan. Bahkan anggota perkumpulan ini terkena kewajiban untuk melakukan kerja membersihkan ruangan dan lingkungan di tangsi pasukan KNIL, yang berlangsung mulai pukul 06.00 hingga sore hari. Imbalan yang mereka terima dari kerja itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Puncaknya ketika Truno Kartiko, anggota Ngesti Pandowo tertembak dan meninggal saat terjadi gencatan senjata,” kata Dhanang Respati Puguh, dosen sejarah Universitas Diponogoro, dalam penelitiannya berjudul “Pertunjukan Kethoprak Ngesti Pandowo, 1950-1996”, termaktub di buku Ngesti Pandowo: Sejarah Dari Masa ke Masa.
Ketika situasi sudah memungkinkan untuk menggelar pementasan kembali, pada 1949 Ki Sastro Sabdo mengumpulkan kembali anggota yang tercecer. Beberapa yang masih memiliki hubungan baik langsung diajaknya membangun kembali Ngesti Pandowo. Mereka kemudian pindah ke Semarang. Ngesti Pandowo tampil di Pasar Malam Jalan Ki Mangunsarkoro. Namun aral melintang tetap merintanginya.
“Pak Kusni, sutradara, tahun 1949 pernah dipanggil Belanda, dimintai keterangan ini pertunjukan apa, apa maksudnya, dikhawatirkan sebagai mata-mata,” tulis Sujarno dkk. dalam buku terbitan Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia Wayang Orang Ngesti Pandowo (2001-2015).
Masa Kejayaan
Usai perang menjadi lembaran baru bagi Ngesti Pandowo. Pada 1950, Walikota Semarang Hadi Supeno Sosrowardoyo meminta Ngesti Pandowo menetap di kota tersebut. Ia memberikan tempat untuk Ngesti Pandowo pentas di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Ngesti Pandowo menempati barak belakang gedung tersebut. Empat tahun kemudian, walikota Semarang membuatkan gedung pertunjukan secara khusus yang masih di dalam Kompleks GRIS.
Masyarakat Semarang dan sekitarnya semakin menyukai pertunjukan wayang orang Ngesti Pandowo. Penonton akan semakin banyak jika ada perayaan, entah lebaran atau pasar malam.
“Kalau ada pasar malam atau lebaran, satu hari mainnya sampai lima kali,” tulis Sujarno dkk.
Kondisi tersebut jelas menambah pundi-pundi penghasilan para pemainnya. Namun, Ngesti Pandowo juga menjadikan kepopulerannya sebagai sarana untuk beramal.
“Pada saat terjadi bencana alam Gunung Merapi meletus 1953, Ngesti Pandowo pentas dalam rangka pengumpulan dana,” kata Moehadi dalam Wayang Orang Ngesti Pandawa Sejarah Singkat dan Usaha Pengembangannya.
Mengetahui hal itu, Presiden Sukarno tertarik. Ia memanggil Ngesti Pandowo untuk pentas di Istana Merdeka dan Istana Bogor.
Baca juga: Cerita Sukarno dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya
Prestasi dan kiprah Ngesti Pandowo di bidang kesenian dan kemanusiaan membuat kelompok tersebut memperoleh penghargaan piagam Wijayakusuma dari presiden pada 1962. Setelah itu, Istana berkali-kali mengundang Ngesti Pandowo pentas untuk menyambut tamu-tamu negara. Biasanya, saat Presiden Sukarno akan menonton, ia memiliki permintaan untuk dijemput dan disambut oleh penari srimpi.
Popularitas Ngesti Pandowo makin meningkat ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pemerintah menjadikan Ngesti Pandowo salah satu agen penyebaran informasi program-program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang sedang gencar dilaksanakan pemerintah. Pesan pembangunan biasa disampaikan dalam adegan goro-goro.
Namun, kejayaan Ngesti Pandowo sejatinya bukan hanya karena perhatian lebih dari pemerintah. Kreativitas para pengurusnya juga berperan besar. Kreativitas itu dibuktikan dengan pembuatan trik-trik pementasan “Gatot Kaca terbang”, “Anoman Obong”, atau “Dewa Ruci” seperti bioskop. Saat itu menonton bioskop merupakan sesuatu yang mewah.
“Penonton dibuat kagum, seakan-akan adegan tersebut sungguh-sungguh terjadi, mereka terhanyut di dalam alur cerita atau adegan tersebut,” menurut Sujarno dkk.
Berbekal pemasukan dari pentas-pentas yang dimainkannya, Ngesti Pandowo semakin profesional dengan membeli seperangkat gamelan. Di luar urusan teknis, Ngesti Pandowo amat memperhatikan kesejahteraan para anggotanya. Selain mendirikan asrama untuk para anggotanya, Ngesti Pandowo memberikan biaya pengobatan hingga bantuan untuk biaya sekolah anak para anggotanya.
Kemunduran
Para paruh kedua 1970-an, pemerintah gencar membagikan pesawat televisi ke berbagai daerah usai mengoperasionalkan Satelit Palapa A-1. Masyarakat semakin gencar menonton televisi meski pesawat televisi baru terjangkau kelas menengah ke atas. Akibatnya, Ngseti Pandowo mulai kehilangan penontonnya.
Kerugian Ngesti Pandowo semakin menanjak dari tahun ke tahun. Kompas edisi 9 Oktober 1982 memberitakan bahwa Ngesti Pandowo kesulitan keuangan sehingga terpaksa menjual salah satu perangkat gamelannya. Beruntung tidak semua gamelannya yang dijual.
“Saat ini masih ada gamelan lama Ngesti Pandowo yang disimpan di Asrama Ngesti. Gamelan tersebut memiliki kualitas sangat bagus namun sudah tidak digunakan lagi,” kata Dhanang.
Kemunduran Ngesti Pandowo bukan hanya karena kemunculan media-media dan produk-produk kesenian baru, namun juga akibat kehilangan semangat karena ditinggal oleh para pendirinya seperti Ki Sastro Soedirdjo (1984) dan Ki Narto Sabdo (1985). Belum lagi, kreativitas-kreativitas yang mereka lakukan sudah mudah diikuti kelompok kesenian lain. Keunikan Ngesti Pandowo berkurang drastis.
Baca juga: Ki Narto Sabdo Sang Pembaru Kesenian Tradisi Jawa
Masalah kian pelik karena pihak GRIS, tempat Ngesti Pandowo pentas, mulai berniat menjual lahannya pada 1990 lantaran merasa selalu rugi. Lahan itu akhirnya dijual GRIS pada 1994. Ngesti Pandowo pun angkat kaki dengan pesangon sebesar 500 juta rupiah.
Tempat yang dipilih Ngesti Pandowo pasca-GRIS adalah Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Semarang. Dua tahun di sini, Ngesti Pandowo pindah lagi lantaran rugi karena TBRS kurang strategis. Ngesti Pandowo lalu memilih ke Taman Rekreasi Istana Majapahit.
Meskipun bertahan di Istana Majapahit hingga tahun 2001, Ngesti Pandowo tetap merugi. Saking defisitnya, di awal tahun 2001, Ngesti Pandowo harus vakum dari pementasan selama tiga bulan.
Baca juga: Tari Gambyong dari Jalanan ke Istana Hingga Pernikahan Modern
Kondisi tersebut membuat Pemerintah Kota (pemkot) Semarang turun tangan. Ngesti Pandowo dipinjami Gedung Ki Narto Sabdo di Taman Budaya Raden Saleh tanpa biaya sewa maupun listrik dengan jatah pemakaian hari Kamis, Jumat, dan Sabtu. Selain itu, pemkot juga meminjamkan gamelan.
“Kalau sekarang, pentas di Gedung Ki Narto Sabdo itu menggunakan gamelan milik pemkot,” kata Dhanang.
Berbekal dukungan Pemkot Semarang itulah ngesti bertahan dari gempuran zaman yang kini sedang “dicengkeram” K-Pop. Kendati sempat lumpuh akibat pandemi Covid-19, Ngesti Pandowo kini kembali lagi.
“Ngesti Pandowo itu sebelum pandemi pentasnya kan seminggu sekali, tiap malam Minggu. Pada saat pandemi ya mandek, nggak pentas. Kelihatannya ini sudah normal kembali ya, setiap malam Minggu,” ujar dosen yang kerap dijuluki “anak angkat” Ki Narto Sabdo itu.