MOEHIDIN masih ingat bagaimana aksinya bersama Batalyon 22 Djaja Pangrerot Brigade Guntur Divisi Siliwangi di wilayah Batujajar, Cililin dan Gunung Halu pada 1947-1949. Nyaris setiap minggu, mereka selalu mengganggu para prajurit KST (Korps Pasukan Khusus) pimpinan Kapten R.P.P. Westerling. Bentuk gangguan tersebut bisa lewat aksi penyangongan (penghadangan) atau bisa melalui penyerangan langsung ke markas musuh.
“Kami buat pasukan Baret Hijau (KST) tidak pernah tenang tidurnya,” ungkap veteran pejuang berusia 101 tahun itu.
Salah satu penyerangan yang tak terlupakan oleh Moehidin adalah saat mereka menyambangi para prajurit KST di kandangnya sendiri (Markas Batujajar, sekarang menjadi Pusdiklat Kopassus TNI AD). Masih segar dalam ingatannya, suatu malam pada Juli 1948, dia bersama kawan-kawannya yang dipimpin oleh Letnan Satu Udaka menyergap secara tiba-tiba pasukan lawan. Kontan, mereka yang tengah beristirahat di markasnya itu menjadi panik dan kacau.
Baca juga: Bom Berjatuhan di Gunung Halu
Tapi dasar pasukan khusus, mereka cepat berkoordinasi kembali dan menahan laju serangan anak-anak Djaja Pangrerot hingga mundur. Kendati demikian, pasukan Letnan Satu Udaka sempat memasuki lingkungan markas dan membunuh beberapa anggota KST sekaligus merampas senjatanya. Bahkan salah seorang gerilyawan Djaja Pangrerot berhasil membuat aksi corat-coret di tembok markas KST berbunyi: “Inilah gajah Soegih Arto!” (mengacu kepada lambang Yon 22 yakni kepala gajah).
Nama Soegih Arto sebagai pemimpin Djaja Pangrerot semakin dikenal para prajurit KST, ketika mereka kerap berupaya melakukan berbagai aksi pembunuhan terhadap Kapten Westerling secara pribadi.Pernah suatu kali tersebar berita bahwa Kapten Westerling tengah bergerak dengan sebuah jip menuju Gunung Halu. Anak-anak Djaja Pangrerot kemudian mencegat jip tersebut di tengah jalan dan menghancurkannya. Namun mereka kecele, ternyata penumpangnya bukan Westerling melainkan seorang letnan KNIL yang juga berhasil melarikan diri.
Sejak itulah, Soegih gantian yang diburu oleh pasukan Westerling. Berbagai cara dilakukan oleh pasukan Baret Hijau untuk mendapatkan kedudukan komandan Djaja Pangerot tersebut. Termasuk melalui pembersihan-pembersihan brutal terhadap penduduk sipil.
Pernah dalam suatu aksi perburuan di suatu kaki bukit dekat Gunung Halu, pada suatu subuh para prajurit KST mengepung sebuah kampung kecil lalu membakar rumah-rumahnya. Tidak cukup itu, mereka pun menyiksa kaum laki-laki dan memperkosa kaum perempuannya. Kendati Soegih Arto saat itu ada di suatu bukit yang terletak persis di atas kampung tersebut, namun dia hanya membawa beberapa prajuritnya saja.
Baca juga: Pengalaman Pasukan Kelaparan
“Rasanya marah dan sedih mendengar jerit para perempuan saat diperkosa, tapi kami tak bisa berbuat apa-apa. Karena selain kekuatan kami kecil, orang-orang KST itu ada di tengah rakyat,” ungkap Soegih Arto dalam otobiografinya, Sanul Daca.
Aksi saling buru memburu itu memang tak pernah tuntas. Pada akhirnya, Kapten Westerling memilih jalan damai dengan memberikan surat kepada Mayor Soegih Arto lewat seorang opas desa. Surat itu berisi ajakan untuk berunding guna menyelamatkan rakyat dari kekejaman perang. Ditegaskan oleh Westerling, andaikan tidak terjadi kata sepakat, sang kapiten akan menjamin keselamatan Soegih untuk kembali ke hutan.
Alih-alih disambut baik, surat itu malah dibalas dengan kata-kata keras dan pengecaman terhadap berbagai aksi brutal Westerling dan pasukannya terhadap rakyat. Singkat kata, Soegih menolak mentah-mentah ajakan Westerling untuk berunding.
“Saya tidak bersedia menemui Westerling karena saya ingat bagaimana dalam sejarah Belanda tak pernah menepati janjinya…Saya ingat riwayat Pangeran Diponegoro yang juga terjebak dengan cara yang sama,” ujar Soegih Arto.
Baca juga: Kisah Perburuan Kapten Westerling
Pada 31 Mei 1948, Kapten Soegih Arto akhirnya tertangkap oleh pihak Kepolisian Federal Negara Pasundan. Dia kemudian dipenjarakan di Penjara Banceuy, Bandung hingga sampai pengakuan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
“Kapten Soegih Arto bahkan sempat ditawari untuk bergabung dengan VB (Veiligheids Batallion) sebagai komandan…Namun dia lebih suka terus meringkuk dalam tawanan Belanda,” ungkap A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville Jilid VII.
Westerling sendiri sempat mengajukan permintaan khusus kepada pemerintah Negara Pasundan agar Soegih Arto diserahkan langsung kepadanya. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan kesalahan Soegih Arto merupakan murni masalah kriminal hingga itu menjadi urusan kepolisian Negara Pasundan.