Masuk Daftar
My Getplus

Bertahan di Barat Jawa

Perjanjian Renville tidak menjadikan mereka berhenti melawan pendudukan tentara Belanda.

Oleh: Hendi Johari | 27 Mei 2020
Tentara Republik Indonesia di Jawa Barat. (IPPHOS).

Awal Mei 1948, empat bulan setelah Divisi Siliwangi meninggalkan Jawa Barat. Senja mulai memasuki Curug Sawer yang dingin. Suara air terjun bergemuruh memerangi sunyi di kawasan yang termasuk wilayah Cianjur Selatan itu. Diapit tebing tinggi dan jurang menganga, iring-iringan konvoi militer Belanda merayap di jalan sempit. Beberapa serdadu bule di dalamnya nampak tegang, sebagian di antara mereka menghisap rokok untuk mengusir rasa takut. Senjata-senjata mereka siap ditembakkan.

Begitu jip pengawal iring-iringan lewat, rentetan tembakan berhamburan dari atas tebing-tebing tinggi. Granat-granat melayang dibarengi teriakan nyaring yang membuat suasana semakin mencekam. Di balik sebuah pohon besar, Kopral BM. Permana menembakan stengun-nya. Begitu juga dengan pimpinan pasukan, Letnan Djadja Djamhari tak henti-henti menembakan pistol seraya memberi komando. Setengah jam lamanya pertempuran berlangsung

“Mereka akhirnya lari dengan meninggalkan sebuah truk yang berisi sekitar 10 prajurit KL (Angkatan Darat Kerajaan Belanda) yang langsung kami hantam tanpa ada yang tersisa,” kenang lelaki kelahiran Kebumen, 95 tahun lalu itu.

Advertising
Advertising

B.M. Permana adalah seorang prajurit muda dari Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi. Berbeda dengan sebagian besar kawan-kawannya yang dikirim untuk berhijrah ke Yogyakarta akibat pemberlakuan Perjanjian Renville saat itu, dia justru ditugaskan untuk tetap bertahan di wilayah Cianjur Selatan.

Baca juga: Berjudi di Atas Renville

“Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi mengatasnamakan Kesatuan Patriot Bangsa. Belanda sendiri menyebut kami sebagai 'gerombolan liar',” kata B.M. Permana.

Letnan M. Adnan dari Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana menguatkan pernyataan BM. Permana.  Dia masih ingat, pada hari-hari menjelang hijrah, dirinya dipanggil oleh Letnan Kolonel A.E. Kawilarang (Komandan Brigif 2 Soerjakantjana) ke Sukabumi.

“Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949.

Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.

Baca juga: Harimau-Harimau Garut

Soal “penanaman” pasukan itu diakui oleh pihak TNI. Itu terjadi karena  hasil kesepakatan Perjanjian Renville diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Demikian menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968). Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan Letnan Kolonel Soetoko untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan.

Lewat Soetoko-lah kemudian dibentuk Brigade Tjitaroem, sebagai induk perlawanan kaum Republik di Jawa Barat. Upaya tersebut sempat tercium oleh intelijen militer Belanda dan menyebabkan Soetoko dipenjarakan pada Agustus 1948. Namun tanpa Soetoko, kiprah Brigade Tjitaroem terus berjalan. Ada beberapa batalion dan kesatuan lasykar yang tergabung dalam organ tersebut.

“Yang saya ingat di antaranya  adalah pasukan Mayor Soegih Arto di Cililin, pasukan Letnan Effendi di Gentong-Tasikmalaya, pasukan Letnan Tjoetjoe di Gunung Cikuray-Galunggung, pasukan Letnan Zakaria di Bekasi, dan sebagian anggota Brigade Infanteri Soerjakantjana di Cianjur-Sukabumi,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi.

Aksi rahasia yang dilakukan oleh TNI itu mendapat reaksi keras dari pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.

Baca juga: Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan

Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu, propaganda-propaganda pro-republik terus berlangsung. Bahkan, penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda juga sering terjadi, kadang-kadang secara sporadis.

Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut salah seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin (95), tidak jarang usai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam kemudian.

“Rakyat sipil dikumpulkan. Setelah dintimidasi, beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer Van Delden, yang terletak di Gunung Puyuh, Sukabumi,” ujar anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Takokak ini.

Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Kedua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum Republik. Selanjutnya dari Van Delden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum Republik dibawa ke wilayah Takokak , nama suatu kawasan terpencil yang yang terletak kira-kira 25 km di utara Sukabumi.

Baca juga: Langkah Gila Belanda di Yogyakarta

Salah seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi (96) mengakui bahwa Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum Republik memang sudah santer di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur.

“Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah…” ujar veteran yang di masa-masa tuanya pernah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Cianjur tersebut.

Sepeninggal Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah, sesungguhnya tak ada perubahan situasi yang berarti di Jawa Barat. Pertempuran tetap berlangsung dan penyerangan pos-pos militer Belanda tetap terjadi. Itu dilakukan baik oleh pasukan Siliwangi yang sengaja ditinggalkan di Jawa Barat, laskar-laskar maupun oleh pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang secara resmi menentang Perjanjian Renville. 

Kondisi tanpa stabilitas tersebut berlangsung hingga “para maung” Siliwangi pulang kembali ke Jawa Barat menyusul  hancurnya kesepakatan Renville pada 19 Desember 1948.

TAG

divisi siliwangi alex kawilarang

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pesindo Sukses Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado