Hari ini dalam sejarah, 17 Februari 1674, gempa bumi mengguncang Ambon dan sekitarnya, disusul tsunami dari Laut Banda. Ia menjadi gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail oleh seorang naturalis, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), pada 1765. Selama hampir 50 tahun Rumphius tinggal di Ambon, di mana dia menikmati pekerjaannya sekaligus tragedi karena bencana alam itu.
“Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang,” tulis Rumphius dalam Amboina.
Hari itu, suasananya tengah meriah karena orang mengikuti perayaan Tahun Baru Tionghoa. Gempa mengakibatkan 75 bangunan milik orang Tionghoa, ambruk. Korban jiwa mencapai 79 orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, janda sekretaris Johannes Bastinck, serta empat orang Eropa. Sedangkan 35 orang luka serius di lengan, kaki, dan kepala.
Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter. “Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra, 5 Juli 2006.
“Semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut,” tulis Rumphius.
Rumphius mencatat korban akibat tsunami mencapai 2.243, termasuk 31 orang Eropa. Dalam bencana alam ini ada keajaiban. Tiga hari pasca gempa seorang bayi Tionghoa berumur sebulan ditemukan masih hidup di bawah reruntuhan. Dia dipelukan ibunya yang mati.
[pages]