Masuk Daftar
My Getplus

Sisi Lain Gipsi

Sementara sejumlah negara Eropa mendiskriminasi kaum Gipsi, pemerintah Spanyol justru memfasilitasi integrasi.

Oleh: Devi Fitria | 08 Des 2010

ENCARNACIÓN Rómero Bastante, seorang ahli manikur, tak yakin ketika sebuah program pemerintah Spanyol mempekerjakannya untuk melatih seorang perempuan Gipsi berusia 33 tahun bernama Emilia Jim nez González. Dalam waktu beberapa minggu, Rómero mengatakan bahwa siswinya berhasil mempelajari dengan baik semua hal yang berhubungan dengan cara merawat kuku. Romero kemudian melangkah lebih jauh dengan memberikan pekerjaan pada Jim nez.

“Dia membuktikan bahwa dirinya seorang profesional,” ujar Rómero, yang sebelumnya tak punya kenalan orang Gipsi.

Di seantero Eropa, kelompok Gipsi –kerap disebut Roma di banyak tempat di Eropa, atau gitano dalam bahasa Spanyol yang diucapkan dengan kebanggaan) biasanya harus bertahan hidup di daerah-daerah terisolasi, dengan berprofesi sebagai peminta-minta atau pencuri. Di beberapa negara Eropa Timur, mereka menghadapi prasangka sehingga kerapkali diusir keluar dari angkutan umum, dan di sekolah-sekolah, anak-anak mereka dimasukkan ke dalam kelas khusus anak-anak dengan keterbelakangan mental.

Advertising
Advertising

Bahkan di Eropa Barat, Presiden Prancis Nicolas Sarkozy mendapatkan dukungan luas saat dia memutuskan untuk mendeportasi ribuan orang Gipsi ke Romania awal tahun ini.

Tapi kondisi berbeda di Spanyol.

Di sana, pemerintah merancang program khusus untuk mendorong kemajuan masyarakat ini sejak 30 tahun lalu. Nyaris semua anak Gipsi mengecap pendidikan di sekolah dasar. Setengah dari masyarakat Gipsi memiliki tempat tinggal sendiri. Dan seperti Jimenez, mereka mendapatkan pekerjaan, alih-alih mencari nafkah dengan profesi tradisional seperti menjual ternak dan barang-barang lainnya.

Namun masalah tetap ada. Angka putus sekolah pada anak-anak gipsi berusia 12 hingga 18 tahun masih tinggi, yakni sekitar 80 persen. Hampir empat persen dari masyarakat Gipsi masih tinggal di rumah-rumah kumuh.

Mereka juga masih mengalami diskriminasi. Saat ini, misalnya, sekelompok perempuan Gipsi melakukan tur sandiwara keliling The House of Bernarda Alba, karya sastrawan Federico Garcia Lorca, yang mendapat pemberitaan dan sambutan positif. Namun di Madrid, para aktris itu –yang tinggal di kota-kota miskin seperti Seville dan kerap mengenakan pakaian khas Gipsi, dengan rok mereka yang panjang–kesulitan memanggil taksi. Dan meski dikawal pegawai pemerintah, mereka tak diizinkan masuk sebuah bar lokal.

Meski demikian, para pembela kaum Roma mengatakan bahwa Spanyol masih jauh lebih baik dibandingkan negara Eropa lainnya.

Gipsi, yang berasal dari India, telah ada di Spanyol sejak abad ke-15. Menurut situs BBC, kaum Gipsi kali pertama masuk ke Zaragoza pada 1425, meski ada juga yang percaya mereka masuk lewat Barcelona pada 1447. Tradisi mereka, seperti kontribusi mereka pada tarian tradisional flamenco, sudah menjadi bagian dari identitas nasional Spanyol. Namun hingga kini mereka masih menghadapi kondisi sulit, terkadang hendak diusir dari negara ini, terkadang dipaksa berasimilasi. Pada titik ini, ada aturan hukum yang mengharuskan mereka menikahi orang-orang non-Gipsi, tapi di sisi lain mereja dilarang berkumpul dalam kelompok lebih dari empat orang.

Di bawah pemerintahan diktator Franco, kaum Gipsi hidup dalam ketakutan. Mereka berada di bawah pengawasan polisi militer, atau Guardia Civil, yang kerap kali menggusur perkampungan mereka, dan memaksa mereka hidup berpindah-pindah. Sebagaimana negara-negara lain yang dikuasai Nazi, kaum Gipsi mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan orang-orang Yahudi di masa itu.

Namun Konstitusi demokratis Spanyol mendukung keberagaman negara itu, dan untuk kali pertama memberikan hak-hak warga negara kepada kaum Gipsi. Pada 1980-an Guardia Civil ditugaskan di sekitar sekolah-sekolah untuk melindungi anak-anak Gipsi dari para orangtua yang tak ingin anak mereka berbaur dalam kelas yang sama.

Sejak itu, pemerintah Spanyol secara konsisten mendanai program integrasi bagi kaum Gipsi, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 700.000 orang.

Saat ini, kebijakan pemerintah mendorong penyebaran penduduk Gipsi di perumahan-perumahan publik, dan mendukung anak-anak mereka bersekolah di sekolah umum. Di tiap-tiap sekolah, dipersiapkan mediator untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Dinas Sosial membantu proses transisi mereka.

Belum jelas apakah keberhasilan Spanyol bisa diterapkan di negara-negara lain. Para ahli mengatakan, beberapa negara –terutama Romania dan Bulgaria, yang memiliki populasi Roma yang besar–tak memiliki kapasitas untuk mengatur mereka dengan baik.

“Faktanya bahwa masyarakat Gipsi di beberapa negara memiliki standar kehidupan yang lebih rendah dibandingkan 15 tahun yang lalu,” ujar Jos Manuel Fresno, seorang penasihat Masalah Gipsi dari Uni Eropa, yang juga merupakan ketua dari Dewan Persamaan Ras dan Etnis Spanyol.

“Alhasil, di sebagian negara Eropa banyak uang dihabiskan untuk mengintegrasikan Gipsi, namun dengan hasil yang teramat minim,” ujar Isidro Rodriguez, direktur Fundación Secretariado Gitano, sebuah organisasi yang didanai pemerintah untuk menangani Acceder (akses), sebuah program relokasi tenaga kerja yang membantu Jimenez.

Di Spanyol, Acceder telah membantu lebih dari 37.000 orang Gipsi mencari pekerjaan sejak 2001.

Sementara di masa sekarang, Jim nez, yang memakai pemulas mata berwarna biru, dengan kuku dicat mengkilat, sedang menunggu pelanggan di sebuah mal di pinggiran kota Madrid. Dia mengatakan dia selalu meminta bantuan Acceder kapanpun ia butuh pekerjaan, mengambil keuntungan dari berbagai pelatihan yang disediakan lembaga itu.

“Lembaga itu seperti jembatan bagi saya,” ujar Jim nez. “Sebab terkadang, banyak sekali kesulitan yang harus dihadapi, hanya karena Anda adalah seorang Gipsi.” [NYTIMES/BBC]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh