SUATU hari Prabu Angling Dharma, raja Kerajaan Malawapati, sedang berburu. Dia memergoki istri gurunya, Nagagini, sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Angling Dharma pun menarik busurnya untuk membunuh ular jantan itu. Namun, tanpa sengaja ekor Nagagini ikut terluka.
“Kurang ajar kau Angling Dharma! Kau akan aku adukan kepada Kakang Naga Bergola!” seru Nagagini.
Nagagini pun pulang dengan menyusun laporan palsu. Dia ingin agar suaminya membalas dendam kepada Angling Dharma.
Setelah mendengar laporan istrinya, Naga Bergola lalu menyusup ke dalam istana Malawapati. Dia mendengar Angling Dharma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini dengan istrinya, Setyawati. Sang naga pertapa itu pun sadar kalau istrinya yang salah.
Naga Bergola lalu muncul. Dia meminta maaf kepada Angling Dharma sekaligus ingin segera moksa.
“Aku telah bersumpah lebih baik mati daripada dikhianati seorang istri. Aku akan laksanakan sumpahku,” kata Naga Bergola.
Sebelum moksa Naga Bergola mewariskan ilmu kesaktiannya, Aji Gineng kepada Angling Dharma. Ilmu itu akan membuat Angling Dharma paham bahasa binatang. Dia berpesan supaya warisannya dijaga dengan penuh rahasia.
Kisah itu membuka episode pertama sinetron kolosal berjudul Angling Dharma. Pada 2001, Angling Dharma mulai disiarkan lewat salah satu stasiun TV swasta hingga 2005. Sinetron arahan sutradara Imam Tantowi ini pernah meraih penghargaan sebagai sinetron terpuji di Festival Film Bandung 2004.
Dari Lisan ke Tulisan
Jauh sebelum kisah ini menjadi demikian populer, Angling Dharma sudah lebih dulu dikenal pada era Majapahit.
Menurut Dwi Cahyono, arkeolog Universitas Negeri Malang, kisah itu muncul lebih dulu dalam tradisi lisan kemungkinan pra-Majapahit.
Pada masa Hindu-Buddha, sebagai sastra lisan, kisah itu terdapat di berbagai tempat terutama wilayah Jawa Timur sekarang. Sampai-sampai pada masa modern, nama tempat yang disebut dalam cerita, dianggap sebagai awal mula wilayah itu.
“Yang menarik adalah klaim setting area untuk daerah-daerah tertentu. Dalam kisah yang kini dikenal luas, misalnya ada yang disebut Negara Boja atau Boja Nagara, ini kemudian dianggap sebagai toponimi daerah yang kini dikenal dengan Bojonegoro,” jelas Dwi.
Kisah itu kemudian ditulis kemungkinan pada era Majapahit. Awalnya berjudul Ari Dharma. Pada perkembangannya dikenal sebagai Angling Dharma.
Menurut Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit, Angling Dharma sekarang adalah versi Bahasa Jawa Modern dari kidung bahasa Jawa Pertengahan. Judulnya, Aji Dharma. Di luar itu, hingga kini dikenal begitu banyak versi naskah tentang Angling Dharma.
“Saya tidak tahu, kenapa bisa jadi perubahan itu. Saya tidak melihat apakah itu merujuk pada arti harfiah yang sama,” ujar Dwi.
Relief Angling Dharma
Dari bentuk tertulis, kisah Angling Dharma kemudian ditransformasikan lagi ke bentuk visual. Kisah ini bisa ditemukan dalam relief candi. Meski begitu, relief cerita ini baru ditemukan di Candi Jago. Padahal, sebagai cerita ia sudah dikenal baik dalam bentuk kidung maupun Serat Angling Dharma. Versi reliefnya pun tak bisa ditentukan dengan pasti korelasinya dengan narasi manapun.
Penetuan kisah relief itu hasil tafsiran Thomas M. Hunter, ahli linguistik dan Jawa Kuno, berdasarkan naskah yang tak diterbitkan karya Bambang Soetrisno, mantan juru kunci Candi Jago. Tafsiran itu pertama kali diungkapnya lewat seminar pada 1989. Dia kemudian menuliskannya lewat makalah “The Aridharma Reliefs of Candi Jago” yang terbit dalam Society and Culture of Southeast Asia: Continuities and Changes pada 2000.
Jika dibandingkan, kesamaan versi relief dengan yang dikenal sekarang hanya pada awal kisah sampai ketika Angling Dharma dibuang ke hutan. Sementara perbedaannya begitu banyak.
Pertama, kisah pertemuannya dengan Ambarawati, istri keduanya, diceritakan berbeda. Dalam relief mereka bertemu di hutan. Pada kisah yang kini dikenal luas, mereka bertemu di istana.
Latar belakang Ambarawati juga berbeda. Dalam relief, perempuan itu adalah anak dari seorang resi yang dikutuk. Sementara dalam versi yang dikenal luas, dia merupakan putri Raja Darmawangsa. Peran Angling Dharma yang berhasil meruwat resi, ayah Amabarawati, juga tak dikisahkan dalam versi yang dikenal luas.
Di versi yang banyak dikenal masyarakat, Angling Dharma juga diceritakan terkena kutuk dua kali. Selain dibuang ke hutan, dia juga dikutuk menjadi seekor belibis. Sementara dalam relief, tak ada kisah dia berubah menjadi belibis.
Paling mencolok adalah keberadaan dua tokoh Punakawan dalam relief. Ini tak ditemukan dalam versi tertulisnya.
Secara keseluruhan, kisah Angling Dharma terdapat dalam tujuh panil relief. Kisahnya di relief didahului dengan adegan naga jantan merayu naga betina.
Di Candi Jago, relief Angling Dharma bisa ditemukan di kaki candi, tepatnya pada sisi timur laut. Letaknya setelah relief Tantri Kamandaka dan sebelum relief Kunjarakarna. “Kalau diurutkan setelah cerita trantrik (Tantri Kamandaka: cerita binatang, red.). Kenapa ditempatkan begitu? Karena dalam kisah Ari Dharma itu ada kisah binatangnya,” jelas Dwi.
Walaupun relief Angling Dharma dipahat di Candi Jago, bukan berarti relief ini dibuat pada masa Singhasari. Itu mengingat Candi Jago dibangun sebagai pendharmaan bagi Raja Singhasari, Wisnuwardhana.
Menurut Dwi, relief ini dipahat pada bangunan yang dipugar pada masa Hayam Wuruk. “Di Nagarakrtagama disebutkan Hayam Wuruk melakukan pemugaran terhadap 27 pendharmaan leluhurnya. Candi Jago ini mengalami perombakan signifikan secara arsitektural. Seni pahatnya, wayang style, ini baru hadir pada masa Majapahit,” jelas Dwi.
Selain di Candi Jago, masyarakat banyak yang percaya kisah Angling Dharma juga terbaca di relief Candi Mirigambar. Namun banyak ahli yang meragukannya di antaranya arkeolog Belanda N. J. Krom dan Knebel.
“Knebel dan kemudian Krom, seperti halnya saya, meragukan penafsiran bahwa relief tersebut menggambarkan Angling Dharma,” jelas Lydia.