Masuk Daftar
My Getplus

Rupa Istana Raja-Raja Hindu-Buddha

Pergantian kekuasaan dan perpindahan ibukota kerajaan membuat istana-istana tak tersisa.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 11 Jan 2018
Kompleks bangunan dengan gerbang paduraksa dalam relief Candi Jago, Malang/foto: Risa Herdahita Putri

TAK banyak yang tersisa dari istana-istana pada era kerajaan Hindu-Buddha. Alih-alih membangun istana dengan batu seperti bangunan keagamaan yang megah, para penguasa memilih bahan yang mudah hancur.

Meski begitu, keterangan soal rupa istana bisa diperoleh dari berita Cina, karya sastra, dan data arkeologi. Keterangan tertua soal ibukota kerajaan di Jawa disebut dalam berita Cina dari masa Dinasti Tang (681-906). Kota di Jawa itu dikelilingi tembok yang terbuat dari papan kayu. Di dalamnya terdapat rumah-rumah besar berlantai dua beratap daun kelapa. Bangunan-bangunan itu dibuat dengan bahan yang mudah hancur ketimbang bangunan keagamaan yang umumnya terbuat dari batu. Tidak disebutkan adanya bangunan batu untuk istana raja.

Berita Cina dari masa Dinasti Sung (906-1279) menyebut ibukota kerajaan Jawa memiliki tembok-tembok kota, parit, tempat harta, dan lumbung pangan. Semuanya dijaga sekira 1000 pegawai rendahan. Sang raja duduk di atas balai-balai berbentuk persegi.

Advertising
Advertising

Panglima perang Cina dari Dinasti Yuan (1280-1367) yang datang untuk menaklukkan Jawa melaporkan bahwa Da-ha (Daha) merupakan kota dengan benteng. Namun, tak dijelaskan benteng itu tembok keraton atau kota dan terbuat dari bahan apa.

Informasi bagaimana bentuk istana lebih banyak didapat pada masa Majapahit. Dalam Yingya Shenglan (1416) Ma Huan menulis Negara Jawa yang sebelumnya dikenal dengan nama Ja-pa memiliki empat kota yang semuanya tidak punya tembok. Raja menetap di kota bernama Majapahit, atau yang dalam lafal Hokiian (Fujian) selatan, Moa-cia-pa-i. Kediamannya dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter, panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara.

Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya dari papan yang ditutupi tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam untuk orang-orang duduk bersila. Atapnya menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk seperti genting.

Berbeda dengan itu, rumah tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 meter. Tempat ini biasa digunakan untuk meyimpan barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk.

Dalam karya sastra ibukota sering disebut dengan istilah rajya, nagara, kadatwan, dan pura. Nagarakrtagama menggambarkan istana atau pura Majapahit dikelilingi tembok batu merah, tebal, dan tinggi. Tembok ini memisahkan bangunan keraton dari bangunan lainnya. Pintu gerbang utama terletak di utara.

Rumah tinggal para pejabat tinggi sipil, khususnya rumah Narapati dan Gadjah Mada, serta tempat penjagaan dan balai pertemuan terletak di sebelah utara kompleks istana. Sebaliknya rumah tinggal pejabat tinggi keagamaan dan gedung peradilan terletak di selatan istana. Rumah pejabat keagamaan terbagi menjadi dua: pendeta Buddha di sebelah barat dan pendeta Siwa di sebelah timur.

Bagitu masuk gerbang kedua terlihat taman istana yang luas dan indah. Ada beberapa wisma dan pendopo untuk orang-orang menunggu giliran menghadap raja. Tempat raja bertakhta di Balai Witana yang berhias serba gagah berada di bagian timur.

Tempat tinggal Raja Hayam Wuruk dan kerabatnya terletak di halaman ketiga (paling belakang) dari kompleks istana. Di sebelah timur Balai Witana berdiri gapura pertama yang terlarang bagi sembarang orang. Sementara di sebelah selatan dihuni Singhawardhana, ipar Hayam Wuruk, bersama Ratu Pajang dan putra-putrinya. Kertawardana, ayah Hayam Wuruk bersama Ratu Kahuripan, tinggal di sebelah utara.

Saking indahnya, Nagarakrtagama menyebut ketiga istana itu bagaikan kayangan. Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni. Kakinya dari batu merah berukir, bergambar aneka lukisan. Genting atapnya dihiasi tembikar berukir. Bunga tanjung, kesara, campaka, dan lainnya menghiasi halaman.

Gambaran itu dapat sedikit divisualisasikan dengan mencocokkan bangunan yang kini masih tersisa di Trowulan dan di relief Candi Jago yang berangka tahun 1343 M. Relief Candi Bentar di Candi Jago punya keserupaan dengan bentuk gapura Candi Bentar di situs Wringin Lawang, Trowulan. Bentuk ini merupakan pintu gerbang untuk masuk ke satu kawasan yang di dalamnya beberapa bangunan panggung, baik bertiang terbuka maupun tertutup.

Ada pula pintu gerbang yang berbentuk paduraksa. Dalam relief Candi Jago diketahui gerbang paduraksa ini memiliki pagar dinding yang tinggi dan panjang mengelilingi gugusan bangunan panggung, seperti balai-balai yang lebih besar ukurannya.

Jika dilihat dari relief itu, balai-balai mungkin terdiri dari tiang kayu dan atap genting. Ini didukung temuan artefak miniatur rumah yang kini ada di Museum Trowulan.

Mengenai model susunannya, menurut Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa kompleks istana raja, di Jawa khususnya, tidak mengikuti konsep kosmologis, di mana negara dan tata kota menggambarkan kerajaan dewata di bumi.

Tatanan kosmis semacam itu mestinya menempatkan istana raja dalam posisi di tengah lingkaran. Sementara bagian lain dari istana dan ibukota akan menggambarkan replika dari tatanan ibukota kayangan, di mana Dewa Indra ada di pusat.

Alih-alih mengambil susunan seperti itu, kompleks istana raja di Jawa ini memilih susunan pembagian dua secara dikotomis.

“Gagasan itu memang dikenal di lingkungan istana. Setidaknya oleh para pujangga keraton, tetapi di Jawa, konsep itu tidak diterapkan, khususnya dalam penataan kota dari tata ruang istana,” tulis Supratikno.

Rasanya memang akan meleset jika membayangkan sebuah bangunan istana pada masa Hindu-Buddha berbentuk seperti Keraton Yogyakarta pada masa yang lebih modern. Menurut Suwardono, sejarawan Malang, khususnya pada masa Singhasari, Konsep istana ketika itu adalah sistem kuwu.

“Tergantung rajanya tinggalnya di mana, di situ menjadi istananya,” ujarnya.

Karena tak tetap, bangunan itu pastilah sesuatu yang temporer sifatnya. “Ya, dari bahan organik, kalau cari keratonnya ya nggak bakal ketemu,” lanjutnya.

Kecuali ibukota Kerajaan Majapahit, khususnya sejak masa Hayam Wuruk, gambaran ibukota kerajaan di Jawa Timur sangat sedikit diketahui. Kemungkinan lain adanya kebiasaan untuk membiarkan pusat pemerintahan lama hancur bila terjadi pergantian dinasti.

Meski begitu perpindahan ibukota ke tempat baru tak selalu berarti hancurnya ibukota lama. Kota Kahuripan, Janggala, Kadiri, dan Tumapel, Singhasari tetap menjadi pusat pemerintahan yang penting meski tak lagi jadi ibukota kerajaan.

TAG

ibu kota kerajaan hindu-buddha

ARTIKEL TERKAIT

Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Menapak Tilas Ken Angrok Ratu Kalinyamat Menjadi Pahlawan Nasional Zhagung dan Tikus versi Pram versus Karmawibhangga Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menyita Harta Pejabat Kaya Raya Kurug, Pakaian Istimewa Masyarakat Jawa Kuno