Banyak tokoh utama perempuan dalam sastra Jawa dikisahkan gemar mempelajari ilmu sastra. Seperti Kakawin Krsnayana karya Mpu Triguna menyebut Rukmini, kekasih Kresna, terbiasa membaca lontar seusai berhias dan berbedak.
“Dia tidak dapat dipisahkan dari lontar yang tersebar dan terawat untuk dibaca dan dipelajari dengan tekun. Tidak berhenti dia mempelajari ilmu-ilmu sastra, benar-benar mirip dengan orang bijaksana. Kakawin yang dipelajarinya secara sempurna konon dijadikan kutipan olehnya,” tulis Mpu Triguna.
Perempuan juga mempelajari agama seperti dicatat dalam Ramayana. Disebutkan Rama tengah memikirkan keberadaan Sita. Dia bertanya apakah Sita sedang memetik bunga atau sedang mendengarkan pelajaran tentang dharmasastra yang diberikan oleh pertapa perempuan.
“Adikku putri Janaka di manakah engkau, katakanlah! Jawablah aku yang merana, memanggil-manggil, memohon, dan meratap, apakah asyik memetik bunga sehingga engkau tidak datang atau ikut belajar dan mendengarkan tentang dharmasastra,” seru Rama dalam Ramayana.Dalam kisah itu juga Sita diceritakan selalu mengingat kanda dan parwwa selama di pengasingan di Langka. “Lihatlah bukankah dia terus menerus mengingat cerita dan mulut ke mulut, bukankah cerita yang didengarkan olehmu adalah cerita yang termahsyur dari kanda dan parwwa,” catat kisah itu.
Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, dalam Perempuan Jawa, mengungkap pendidikan bagi perempuan pada masa itu sangat erat kaitannya dengan jodoh mereka. Biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap punya derajat sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula jelata harus menikah dengan yang sederajat. “Perkawinan antarkasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi.
Dalam beberapa kasus, terkadang perempuan harus membantu pekerjaan suaminya. Misalnya dalam Prasasti Wukajana dari 830 Saka (908) disebut Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan.
Lalu seperti halnya rakai yang dijabat laki-laki, para rakai perempuan pun melakukan kegiatan yang sama. Di antaranya meresmikan daerah yang ada di bawah kekuasaannya menjadi sima. Keterangan ini disebutkan dalam Prasasti Kinawe (928 M). Disebutkan Rakai Gunungan Dyah Muatan, ibu dari Dyah Bingah meresmikan Desa Kinawe menadi sima. Itu dilakukan Dyah Muatan sehubungan dengan kedudukan dia sebagai seorang rakai.
Menurut Titi, di samping sebagai penguasa di wilayah Gunungan, dia masih mempunyai peran lain yang harus dilakukan sesuai kedudukannya sebagai istri dari suaminya yang kemungkinan besar penguasa juga. “Itu artinya dia masih mempunyai peranan tertentu sehubungan dengan peninggalan suaminya terdahulu,” jelas Titi.
Pun dengan kedudukan sebagai istri seorang penguasa, mereka dapat meresmikan suatu daerah menjadi sima. Ini sebagaimana yang ditulis dalam Prasasti Abhayananda 748 saka (826 M) yang menyebutkan istri Rakai Bawang meresmikan sima untuk kepentingan bangunan suci di Abhayananda.
Betapa pentingnya pendidikan, baik bagi laki-laki maupun perempuan terutama di kalangan bangsawan, secara tersirat terdapat antara lain dari Kakawin Krsnayana. Dalam kakawin itu dikisahkan para putri belajar etika, menyanyi, dan juga bahasa Sansekreta di antahpuri atau keputren.
“Kemudian ada seorang dayang yang ditunjuk sebagai ketua di tempat para gundik. Dia selau memberi pelajaran bernyanyi, cara berbicara, dan bahasa Sanskerta,” catat kakawin itu.
Dalam hal sastra, penulis laki-laki memang banyak berperan dalam pembuatn teks sastra, baik berupa kakawin, kidung, maupun porsa. Ini terjadi mulai dari masa Mataram Kuno sampai pada masa Majapahit.
Kendati begitu, bukan berarti perempuan tak belajar menulis kakawin. Dalam beberapa teks sastra disebutkan bagaimana perempuan membuat kakawin. Biasanya mereka menulis di daun pudak.
Dalam teks Sutasoma misalnya. Seorang raja cemburu karena menyangka permaisurinya menulis kakawin untuk kekasih gelapnya.
“Ketika sang raja mendengar istrinya menulis kakawin, sedih dan hatinya menjadi curiga, karena dia tak ingat mengirim istrinya kakawin dalam pudak,” tulis Mpu Tantular.