Masuk Daftar
My Getplus

Perang Bubat dan Dampaknya Buat Majapahit

Perang Bubat membuat pemerintahan Hayam Wuruk lebih terbuka. Dia tak tergantung pada Gajah Mada.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 21 Mei 2019
Patung yang menyimbolkan Gajah Mada di Jatim Park, Kota Batu. (INDONESIAPIX/Shutterstock).

Tanah lapang itu terletak di utara Kota Majapahit. Lapangan Bubat namanya. Tadinya tempat Raja Sunda, permaisuri, dan putrinya, serta para pengiring pengawalnya beristirahat seraya menunggu diterima Rasajanagara di Kedaton.

Namun, di situ Raja Sunda dan putrinya menemui ajal. Pernikahan Hayam Wuruk dengan Sang Putri Sunda batal. Cintanya terpaksa diperabukan.

Setelah peristiwa di Bubat itu, para petinggi keraton cemas. Semua orang menuding Mahapatih Gajah Mada biang keladinya. Bersama Sang Prabu, mereka meminta Gajah Mada menjelaskan tindakannya. Dia menjawab bahwa kebijakannya mensyaratkan agar setiap raja kecil mengakui kedudukan sebagai bawahan Majapahit sebelum menikmati hak-hak istimewa sebagai anggota imperium.

Advertising
Advertising

“Jika Raja Sunda tak sudi menerima ketentuan itu, sudah seharusnya ia tidak menerima lamaran terhadap putrinya dan tidak pula berlayar ke Majapahit bersama rombongan besar, seolah-olah pernikahan itu melibatkan pihak-pihak yang sederajat,” kata Gajah Mada.

Baca juga: Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat

Namun, Gajah Mada mengakui sudah seharusnya dia terlibat dalam perundingan perkawinan itu sejak awal untuk meluruskan segala kesalahpahaman. Jauh sebelum rombongan pengantin berlayar dari Sunda.

Keraton Majapahit menyimpulkan ada beberapa orang bersalah dalam menangani urusan pernikahan itu. Namun yang paling bertanggung jawab secara langsung adalah Gajah Mada.

Baca juga: Batalnya Pernikahan Hayam Wuruk-Dyah Pitaloka

Begitulah intepretasi Earl Drake, sejarawan mantan Duta Besar Kanada di Indonesia tentang peristiwa di Bubat. Dalam Gayatri Rajapatni, Earl Drake menilai Gajah Mada kemudian menyesali kesalahannya dan meminta maaf dengan cara memohon cuti panjang yang akan dihabiskan di tanah miliknya di desa.

Tragedi di Bubat, menurut Pararaton terjadi pada 1279 Saka atau 1357. Menurut Drake, peristiwa ini adalah malapetaka besar bagi Sunda. Di sisi lain, mendorong Majapahit merefleksi diri.

Ada dampak positif setelahnya. Drake melihat Raja Hayam Wuruk menjadi tergugah dan berusaha untuk tidak lagi terlalu menggantungkan diri pada Gajah Mada dalam mengambil keputusan sulit di pemerintahan. Dia mulai langsung terlibat di dalamnya.

Baca juga: Perang Bubat dalam Memori Orang Sunda

Hayam Wuruk mencetuskan sistem pemerintahan baru. Dia membuat penguasa dapat memainkan peranan aktif secara langsung. Dia meminta pertimbangan dari keluarga dan pejabat senior sebelum mengambil keputusan vital.

“Ia melakukan serangkaian perjalanan ke berbagai daerah agar mengetahui isu-isu hangat di masyarakat,” kata Drake.

Salah satu caranya seperti digambarkan Prapanca dalam Nagakretagama tentang lawatan Hayam Wuruk ke Lamajang. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama menjelaskan, Sang Prabu dengan membawa rombongan kerajaan bertolak dari ibukota Majapahit pada 1359 M.

Dalam perjalanannya, dia melewati Kunir dan Basini terus ke Sadeng. Padahal, 28 tahun sebelumnya, Sadeng salah satu wilayah yang memberontak kepada Majapahit. 

“Lawatan itu rupanya menjadi salah satu cara diplomatik Hayam Wuruk merekatkan kembali hubungan dengan wilayah bawahannya,” catat Muljana.

Baca juga: Misi Diplomatik Hayam Wuruk ke Wilayah yang Memberontak

Namun, tanggapan atas pendekatan baru sang raja tak ditemukan dalam Kidung Sunda, salah satu sumber kisah Perang Bubat, melainkan hanya dalam Nagarakrtagama.

Tentu saja, kata Drake, Prapanca tak bisa menandingi kejujuran si pendongeng Kidung Sunda yang telah menuturkan peristiwa Bubat dari sudut pandang yang tidak menguntungkan bagi raja dan mahapatihnya. Dalam Nagarakrtagama, peristiwa Bubat hanya disebut samar-samar.

“Kendati begitu, Prapanca sangat fasih mendedahkan secara detil soal Hayam Wuruk muda yang menghayati nasihat ibunya dan belajar menjadi raja yang selalu hati-hati dan berbudi,” jelas Drake.

Baca juga: Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda

Tak demikian halnya dengan Gajah Mada. Ia memang pernah menjabat sebagai Mahapatih yang tangguh dalam pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi. Setelah kematian Gayatri, ibu Tribhuwana, pada 1350 rekam jejak Mahapatih legendaris itu pun mengalami pasang surut. Nama baiknya hancur dalam peristiwa Bubat.

“Corak kepemimpinannya yang dominan berhasil, karena sifatnya yang menggebu-gebu dan tak sabaran itu disalurkan menjadi prestasi gemilang oleh seorang sosok kuat di keraton seperti ibu suri Gayatri,” ujar Drake.

Karena alasan itulah, menurutnya, keluarga raja membentuk dewan menteri yang baru pada 1357 sewaktu Gajah Mada menikmati cuti panjang. 

“Para pangeran menarik kesimpulan bahwa tak seorang pun mampu menggantikan Mahapatih Gajah Mada sehingga akhirnya menciptakan suatu dewan menteri yang dipimpin oleh menteri paling senior,” katanya.

Sebaliknya, Pararaton terkesan tak menyalahkan mahapatih itu. Naskah itu menyatakan setelah peristiwa Bubat yang bersamaan waktunya dengan penyerangan tentara Majapahit ke Dompo, Gajah Mada menikmati masa istirahat setelah sebelas tahun menjabat patih amangkubhumi.

Baca juga: Cerita Tutur Perang Bubat

Dengan kata lain, menurut Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada, Biografi Politik, Gajah Mada masih berperan di Majapahit setelah peristiwa Bubat. 

“Dapat ditafsirkan Gajah Mada yang memimpin serangan ke Dompo. Pada 1364 Gajah Mada meninggal,” kata dia.

Terlepas dari itu, kata Drake, sejak peristiwa Bubat, nampaknya tak ada keraguan kalau rakyat terkesan dengan pemerintahan Hayam Wuruk yang lebih terbuka.

TAG

Majapahit Bubat

ARTIKEL TERKAIT

Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno Akulturasi Budaya dalam Naskah Pegon Naskah Pegon Tertua di Jawa Memahami "Preman" yang Diberantas Gajah Mada Hikayat Putri Cempa dan Islam di Majapahit Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit Blambangan dan Kuasa di Ujung Timur Jawa Menak Jingga yang Ganteng