Masuk Daftar
My Getplus

Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat

Di puncak kariernya, Gajah Mada menghancurkan pencapaiannya sendiri karena ambisinya.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 16 Mei 2018
Perang Bubat. Foto: Ilustrasi novel Aan Merdeka Permana.

KOTA Bandung kini punya Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Penamaan jalan ini disebut sebagai rekonsiliasi hubungan antara suku Jawa-Sunda. Penyebabnya adalah peperangan antara Majapahit dan Sunda di lapangan Bubat pada 1357.

Tanah lapang itu diperkirakan terletak di utara Kota Majapahit. Di sana raja Sunda, permaisuri, putri, para pengiring dan pengawalnya beristirahat seraya menunggu diterima Hayam Wuruk, raja Majapahit. Nahas, di tempat itu pula mereka menemui ajal.

Menurut arkeolog Agus Aris Mundandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik, Peristiwa Bubat bisa dianggap sebagai titik balik kesuksesan karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya sendiri.

Advertising
Advertising

Kejadian ini berawal dari rencana pernikahan putri Sunda, Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Untuk maksud itu, sebagaimana dikisahkan Pararaton dan Kidung Sunda, Raja Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit.

Agus menyatakan hal itu dapat dianggap berbeda dalam perspektif politik Gajah Mada. Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bisa saja dinilai sebagai kelemahan pihak mereka, yaitu seorang penguasa Sunda bersedia datang menghampiri Kerajaan Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Apalagi, pada masa itu, Kerajaan Sunda menjadi wilayah yang tersisa setelah wilayah lain di Pulau Jawa berhasil dikuasai Majapahit.

Namun, pernikahan itu gagal. Dua naskah kuno itu menyebut kegagalan pernikahan itu akibat ambisi Gajah Mada yang bernafsu menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit.

“Kebetulan orang nomor satu dari Kerajaan Sunda hadir di wilayah Majapahit, lalu tinggal ditekan saja agar mau menuruti keinginan sang patih,” ujar Agus.

Rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa sendiri ke istana Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai wujud takluk. Sedari awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya dengan raja Majapahit.

Puncaknya, ketegangan berkembang menjadi pertempuran. Perang berdarah tak terhindarkan di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan bangsawan. Sementara, permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh diri.

Agus menilai, Peristiwa Bubat memperlihatkan bahwa untuk mencapai ambisinya, Gajah Mada tak ragu memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk. Dia memancing raja Sunda untuk datang ke Majapahit karena merasa tak mampu jika harus mengalahkannya langsung di wilayah asalnya. Kerajaan Sunda yang lahir dari peradaban lebih kuno membuatnya segan.

Di sisi lain, Gajah Mada juga memanfaatkan emosi raja Sunda. Sang raja tak punya pilihan selain mengantarkan putrinya sebagai tanda tunduk atau berperang sampai mati membela kehormatannya. Raja Sunda itu merasa jika dia pulang tanpa melawan, akan menjadi aib sepanjang hidup di hadapan rakyatnya. Dia akan dicap sebagai raja yang gagal melangsungkan perkawinan putrinya.

“Sunda pasti mudah dikalahkan karena berada jauh dari daerahnya dengan tentara yang terbatas pula,” ujar Agus.

Pada akhirnya, hubungan dengan Sunda yang awalnya akan diperteguh melalui ikatan perkawinan menjadi sirna. Padahal, jika berhasil, Kerajaan Sunda bisa dirangkul sebagai negara mitra stata Kerajaan Majapahit. Itu sebagaimana yang disebutkan oleh Nagarakrtagama terhadap sejumlah negara lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit.

Perang Bubat mungkin membuat Gajah Mada tak dipercaya lagi oleh keluarga kerajaan. Dia membuat Hayam Wuruk kehilangan cintanya. Hubungan Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk.

Maka, kata Agus, demi membersihkan namanya Sang Patih kemudian merancang serangan ke Dompo. Dia sendiri yang memimpin ekspedisi itu.

“Pertama, untuk menghindari cercaan terhadap dirinya. Kedua, ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga kerajaan terhadap dirinya. Ketiga, sebagai bentuk hukuman kepada dirinya sendiri,” jelas Agus.

Adapun bagi Kerajaan Sunda, peristiwa Bubat nampaknya tak cukup besar hingga bisa meruntuhkannya. Kerajaan Sunda baru runtuh akibat serangan tentara Banten pada 1579. Ini 60 tahun lebih lama dari tahun keruntuhan Majapahit, sebagaimana yang diperkirakan arkeolog Hasan Djafar, yaitu tahun 1519.  

Terlepas dari itu, kata Agus, kendati dipaparkan gamblang dalam Pararaton, banyak ahli sejarah kuno yang tak percaya Perang Bubat pernah ada. Mereka menilai Perang Bubat tak lebih dari tuturan yang disisipkan oleh penyalin Pararaton.

“Atau malah tambahan orang Belanda pertama yang meneliti Pararaton serta berbagai alasan lainnya,” ujar Agus.

Sebaliknya, ada pula yang menganggap mengingkari kisah Perang Bubat adalah hal yang aneh. Jika kisah Ken Angrok dalam Pararaton yang mistis saja bisa dipercaya, seharusnya kisah Perang Bubat pun sepatutnya diyakini.

Baca juga: 

Perang Bubat dalam Memori Orang Sunda
Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda
Tragedi Perang Bubat dan Batalnya Pernikahan Hayam Wuruk-Dyah Pitaloka

TAG

Bubat Majapahit Mada Sunda Jawa

ARTIKEL TERKAIT

Lagu Ramadan yang Tak Termakan Zaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Serdadu Württemburg Berontak di Semarang Sang Penangkap Diponegoro Klewang Pangeran Diponegoro di Gudang Museum Belanda Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Duel Setan Yahudi dan Jin Hawara Seni Pertunjukan dalam Resepsi Pernikahan Jawa Kuno Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda Pakaian Mewah pada Masa Jawa Kuno