Nagarakrtagama, karya monumental yang kini menjadi salah satu rujukan penting untuk memahami Majapahit dan Singhasari. Penulisnya adalah Mpu Prapanca, bukan nama sebenarnya. Dia menggunakan nama pena untuk menyembunyikan identitasnya.
Prapanca merupakan pujangga yang menggantikan ayahnya sebagai dharmadyaksa kasogatan atau ketua urusan agama Buddha di Majapahit. Namun, nama Prapanca tak pernah muncul dalam prasasti pada masa Hayam Wuruk.
Oleh karena itu, sejarawan Slamet Muljana meyakini Prapanca hanyalah nama samaran sebagaimana tersirat dalam karyanya. “Jelas sekali pemberitaannya dalam Nagarakrtagama dari ucapan: maparab Prapanca. Kata maparab berarti menyamar, mengambil nama samaran, mengambil nama olok-olok,” tulisnya dalam Tafsir Nagarakrtagama.
Baca juga: Prapanca, pujangga Majapahit yang diasingkan
Siapakah nama asli Prapanca? Setahun sebelum perjalanan ke Lumajang, Hayam Wuruk mengeluarkan Prasasti Canggu pada 1358 M. Pada masa itu, kiranya Prapanca sudah menjabat dharmmadyaksa kasogatan.
Jika kesimpulan itu benar, kata Hadi Sidomulyo, maka nama asli Prapanca adalah Dhang Acarya Nadendra. “Namanya itu terdaftar sebagai dharmadyaksa ring kasogatan dalam prasasti masa Hayam Wuruk, yaitu Prasasti Canggu 1358 M dan Prasasti Sekar yang dikeluarkan beberapa tahun kemudian,” tulisnya dalam Napak Tilas Perjalanan.
Sedangkan nama ayahnya, Dhang Acarya kanakamuni. Setelah mengabdi selama lebih dari 30 tahun, dia menyerahkan jabatannya kepada putranya.
“Sesuai dengan ucapan Prapanca, kalau dia telah menggantikan ayahnya yang sangat dihormati oleh para pendeta Buddis dan mungkin merupakan pujangga yang unggul,” jelas sejarawan asal Inggris yang bernama asli Nigel Bullough itu.
Baca juga: Kisah Panji, gudang data kebudayaan masa Majapahit
Slamet mengatakan dapat dipahami mengapa Dang Acrya Nadendra menggunakan Prapanca sebagai nama pena. Prapanca berarti kesedihan, perintah laku utama. “Pada hakikatnya, waktu dia mengubah Nagarakrtagama, hidupnya sedang diliputi kesedihan akibat kehilangan pangkat dan hidup kesepian jauh dari istana,” jelasnya.
Slamet juga menjelaskan kesedihan dan kelakuan yang tak senonoh menjadi dasar pemberitaan menjelang akhir karya Prapanca itu. “Segala kekurangan, terutama yang menyangkut kehidupan rohaniah tercantum bagai cacat rohani pada pupuh 96,” lanjutnya.
Dalam pupuh itu, Prapanca menyebut cacat badan dan kelakuannya. Dia sama sekali tak menyebut hal baik tentang dirinya. Alasannya, dia merasa dicela. Dia dianggap sebagai manusia yang tak berguna. Dia menyebut dirinya terlalu bersikap kurang ajar, terlalu bodoh, segan menganut ajaran yang baik, orang yang tak pantas ditiru. Pantasnya hanya dipukul berulang kali.
Baca juga: Upaya agar naskah Desawarnana mudah dipahami anak-anak muda
Lalu cacat badaniah, yakni tertawa terbahak-bahak, pipinya sembab, matanya mengeluyu seperti mengantuk, cakapnya agak ganjil alias lucu. “Kekurangan itu, kata Prapanca, merupakan suatu kesedihan dan cacat bagi pujangga. Itu semuanya dengan senang hati diakuinya,” kata Slamet.
Karena sadar akan kekurangannya itu, Prapanca kemudian memutuskan untuk masuk ke hutan sebagai pertapa. Dia mengubah namanya dari Nadendra menjadi Winada, yang artinya tercela.
“Seolah dia tak pantas bernama Nadendra, setelah dipecat dari jabatan dharmmadyaksa. Pantasnya bernama Winada, orang yang dicela, orang yang dicacat,” jelas Slamet.
Baca juga: Sikap pujangga terlihat dari karyanya: mengabdi kekuasaan atau melawan penjajahan
Menurut Hadi, sebelum diasingkan, meski punya jabatan tinggi, Prapanca tak begitu percaya diri dengan kemampuannya. Dia hidup dalam bayangan ayahnya yang sangat dihormati oleh para pendeta Buddha. “Penyair mengakui bahwa dia masih belum tahu cara menghasilkan syair yang baik, dan hampir tidak mungkin dapat menciptakan komposisi tertulis,” catat Hadi.
Baca juga: Fiksi dalam Babad Tanah Jawi berkaitan dengan mitos dan kebenaran simbolis