Masuk Daftar
My Getplus

Desawarnana untuk Remaja

Sebuah upaya menampilkan naskah kuno dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak muda.

Oleh: Fadrik Aziz Firdausi | 17 Nov 2017
Naskah Desawarnana yang tersimpan di Perpustakaan Nasional. Sumber: perpusnas.go.id

Suatu hari Mien Ahmad Rifai pernah merasa bingung. Tetiba putri sulungnya yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar bertanya tentang isi kitab Negarakertagama terjemahan Slamet Mulyana. Tak ada yang bisa dilakukannya. Dari kebingunan itulah kemudian muncul ide dalam pikirannya: coba “meremajakan” naskah klasik karya Mpu Prapanca itu.

Ide Mien itu sejatinya bukan berasal dari ruang hampa. Pakar biologi itu, berkaca kepada tradisi pendidikan di Eropa yang memperkenalkan sejak dini karya klasik kepada siswa sekolah. Agar dimengerti oleh anak-anak seumuran para siswa, karya klasik itu dikreasi ulang. Sebagai contoh, adanya beberapa versi saduran karya-karya Shakespeare atau Dickens bagi siswa-siswa di Inggris.

Di Indonesia hal semacam ini jarang dilakukan. Padahal, menurut Mien, itu penting agar anak-anak muda mengenal lebih dalam budaya yang pernah berkembang di Nusantara. Itulah yang mendorong Mien menyadur Nagarakertagama dalam bahasa yang lebih mudah dibaca oleh remaja.

Advertising
Advertising

“Saya ingin membuat saduran yang bisa dibaca anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah. Karena kalau membaca dalam bentuk aslinya, mereka pasti akan kesulitan,” tutur Mien dalam acara peluncuran Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja, di Perpustakaan Nasional, Kamis, (16/11/2017).

Tidak sekadar menyadur, Mien juga kembali memakai judul asli naskah ini, Desawarnana. Selama ini khalayak lebih mengenal karya Mpu Prapanca tersebut sebagai Nagarakertagama sebagaimana diperkenalkan pertama kali oleh J.L.A. Brandes. Desawarnana ditemukan kembali oleh Brandes pada 1894 di Puri Cakranagara, Lombok.

Brandes kemudian memperkenalkannya kepada publik dengan judul Nagarakertagama berdasarkan kolofon yang ditulis oleh penyalin terakhir naskah ini. Selama beberapa waktu, naskah temuan Brandes itu dianggap sebagai satu-satunya salinan yang tersisa. Dalam pengajaran di sekolah-sekolah pun siswa memang lebih mengenal Nagarakertagama daripada Desawarnana.

Pada 1978 di Amlapura, Bali, ditemukan kembali empat naskah salinan Desawarnana yang lain. Dalam lembar pembungkus dan kolofon naskah ini dengan jelas disebutkan Desawarnana sebagai judulnya. Karena itulah Mien memilih untuk kembali memakai judul yang dimaksud oleh Mpu Prapanca sendiri untuk karyanya itu.

Dalam saduran karyanya tersebut terdapat beberapa hal menarik tentang kehidupan masyarakat semasa Majapahit berjaya. Salah satunya adalah kesukaan masyarakat Majapahit akan tanaman hias. Itu terpindai dari tuturan Prapanca tentang keindahan tata kota Majapahit pada pupuh delapan sampai duabelas.

“Tetumbuhan yang disebutkannya merupakan flora asli Pulau Jawa, jauh sebelum datangnya ratusan jenis tanaman pendatang baru yang dibawa orang Portugis atau Belanda beberapa abad kemudian,” ujar Mien.

Contoh lain misalnya tentang tempat tetirah berupa wisma-wisma yang dibangun di atas tiang-tiang di tengah laut. Wisma tetirah itu dipersiapkan khusus untuk rombongan Rajasanegara alias Prabu Hayam Wuruk saat singgah di Patukangan, dekat Panarukan. Wisma-wisma itu dirancang sedemikian rupa hingga menyerupai segugusan pulau.

“Rumah-rumah itu dihubungkan dengan jembatan bambu yang penopangnya goyah sehingga berayun-ayun sangat mengasyikkan bila diterpa alunan ombak,” tulis Mien dalam karyanya.

Desawarnan juga menyebut tentang komitmen kerukunan beragama yang dipegang oleh Rajasanagara. Di Majapahit terdapat tiga aliran agama yang dianut oleh masyarakat, yaitu Shaiwa, Waisnawa, dan Buddha. Ada menteri-menteri khusus yang diperintahkan raja untuk mengurus ketiga aliran agama ini. Demi menjaga kerukunan, raja melarang pemuka suatu agama mendakwahkan agama di daerah yang mayoritas memeluk agama lain.

“Karena itu pendeta Buddha yang mengemban tugas negara di sebelah barat Jawa dilarang menyiarkan kepercayaan agamanya sebab penghuninya umumnya bukan pengikut ajaran Buddha,” ungkap Mien.

Kendati berlatar keilmuan biologi, Mien memiliki minat besar terhadap sastra dan budaya. Semasa sekolah ia gemar membaca sastra. Ia sempat berkeinginan mendalami bahasa dan budaya namun tidak direstui orang tuanya. Ia kemudian memilih mendalami ilmu alam. Tetapi, minatnya pada sastra tidak luntur. Juga selama menempuh studi pascasarjadi di Universitas Sheffield, Inggris, ia rajin membaca dan mengumpulkan literatur klasik dunia.

“Saya merasa sebagai orang Indonesia yang utuh kala membaca karya-karya klasik penulis-penulis kita dari Sunda, Minang, Batak. Dengan mengetahui budaya bangsa, kita bisa membuat anak-anak ini cinta Indonesia,” ujar Mien.

Semangat itulah yang hendak ia tularkan kepada generasi kiwari melalui Desawarnana. Baginya, “peremajaan” Desawarnana adalah juga usahanya melecut penulis lain agar ikut meremajakan adikarya klasik Indonesia lainnya.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Sejarah Pipa Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi”