Masuk Daftar
My Getplus

Pramoedya dan Gelanggang Asia-Afrika

Di masa muda, Pramoedya Ananta Toer memimpin delegasi Indonesia di Konferensi Pengarang Asia-Afrika. Ia gelorakan lagi semangat KAA 1955 di masa senja. 

Oleh: Randy Wirayudha | 10 Feb 2025
Ilustrasi Pramoedya Ananta Toer (Betaria Sarulina/Historia.ID)

KONFERENSI Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung memang tak melahirkan badan atau lembaga internasional yang permanen. Namun, KAA berhasil memantik konferensi-konferensi antar-regional dari berbagai golongan. Salah satunya The Asian-African Writer’s Conference atau Konferensi Pengarang Asia-Afrika (KPAA) I di Tashkent, Uzbekistan pada 1958. Pramoedya Ananta Toer turut hadir sebagai ketua delegasi Indonesia.

KPAA di Tashkent 1958 itu sendiri, menurut Kumiko Makino dalam artikel “Afro-Asian Solidarity and the Anti-Apartheid Movement in Japan” yang termaktub di buku A Global History of Anti-Apartheid: “Forward to Freedom” in South Africa, adalah kelanjutan lebih luas dari konferensi serupa, Konferensi Pengarang Asia di New Delhi, India, pada 23 Desember 1956. 

Diskusi para pengarang dari berbagai negara Asia itu tak hanya membicarakan masalah sastra dan literatur semata, tapi juga membicarakan kebangkitan Asia untuk lepas dari belenggu kolonialisme di masa pergolakan dan perubahan zaman. Para pengarang dan sastrawan juga bisa, bahkan dintuntut berperan memainkan momentum itu untuk membawa perbedaan dan perubahan di negeri masing-masing. 

Advertising
Advertising

Indonesia saat itu belum turut serta. Konferensi Pengarang Asia yang diprakarsai Progressive Writer Association itu baru diikuti delegasi dari India, Burma (kini Myanmar), China, Korea Selatan, dan Vietnam. Ketika itu Pram belum lama pulang dari kunjungannya ke Peking (kini Beijing), China. 

“Pada bulan Oktober 1956, Pramoedya melawat ke Beijing atas undangan Lembaga Sastrawan China Pusat untuk menghadiri peringatan ke-20 meninggalnya pujangga Lu Sin. Di China inilah ia memperoleh pengertian yang agak luas tentang pentingnya faktor rakyat jelata dalam pembinaan bangsa yang kuat-padu bersama dengan pembangunan yang menyeluruh. Ia mulai merasa curiga terhadap kemajuan sosio-ekonomi Barat,” tulis Koh Young-hun dalam Pramoedya Menggugat: Melacak Jejak Indonesia. 

Terlepas ia menelurkan novel Korupsi (1954) yang mengkritik merajalelanya praktik korupsi para pejabat pemerintahan dan lemahnya penegakan hukum, Pram tetap mendukung ide-ide revolusioner Presiden Sukarno tentang Demokrasi Terpimpin. Dukungan itu, lanjut Koh, disampaikan melalui artikel “Jambatan Gantung dan Konsepsi Presiden” yang dimuat Harian Rakjat edisi 28 Februari 1957. 

“Bersama dengan (pelukis) Henk Ngantung dan (sineas) Kotot Sukardi, Pramoedya membentuk delegasi seniman supaya menyatakan siap mendukung cita-cita ‘demokrasi terpimpin’ tersebut. Delegasi seniman yang terdiri dari 67 orang itu menghadap presiden pada bulan Maret 1957. Kemudian pada 28 Desember 1957, Pramoedya dilantik sebagai anggota penasihat Kementerian Petera (Pengerahan Tenaga Rakjat),” tambahnya. 

Baca juga: Penulisan Sejarah Indonesia di Tangan Pram

Dari Tashkent ke Beijing (Lagi) 

Kedekatan Pram dengan rekan-rekan seniman membawanya turut mendirikan kelompok diskusi “Simpat Sembilan”, medio Juli 1958. Menurut Koesalah Soebagyo Toer dan Soesilo Toer dalam Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer, Simpat Sembilan merupakan singkatan dari “Simpang Empat dan Sembilan”. 

“Karena anggotanya sembilan orang: Mas Pram sendiri, Mas Wiek (Walujadi Toer), saya, guru sekolah SMA di Rawasari Hidayat Wikantasasmita, tiga orang wartawan APB yang berkantor di Gang Tengah, seorang di antaranya bernama Jamhur Yusuf, mahasiswa UI (Universitas Indonesia) Piet Santoso, dan seorang lagi yang sekarang saya sudah lupa namanya. Kelompok diskusi itu untuk membicarakan masalah-masalah hangat dalam perpolitikan Indonesia,” tulis Koesalah dan Soesilo. 

Sebagai anggota penasihat Kementerian Petera dan perwakilan para seniman, Pram tak hanya diikutsertakan tapi juga memimpin delegasi Indonesia untuk menghadiri Konferensi Pengarang Asia-Afrika I yang dihelat di Tashkent, ibukota Uzbekistan kurun 7-13 Oktober 1958. Anggota delegasi Indonesia lainnya yakni: sastrawan cum anggota Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra) Utuy Tatang Sontani dan Dodong Dwipraja. 

“Dalam perjalanan udara, Pramoedya menuliskan pengalamannya kepada putranya, Yudi, menyarankannya membuka atlas sekolah untuk membuka peta Asia demi melacak perjalanannya melalui sungai-sungai, pegunungan, dan kota-kota yang dilewatinya. Ia berangkat dari Jakarta dengan maskapai Qantas menuju Singapura dan dilanjutkan dengan maskapai Cathay Pacific hingga transit dan bermalam di Bangkok (Thailand) sebelum lanjut lagi menuju Delhi dengan maskapai Air India,” tulis Su Lin Lewis dalam artikel “Skies that bind: Air travel in the Bandung era” yang termaktub di buku Placing Internationalism: International Conferences and the Making of the Modern World. 

Baca juga: Pramoedya Melancong ke Negeri Belanda

Setibanya di Delhi, lanjut Lewis, Pram lebih terkagum-kagum lagi dengan armada lain maskapai Air India dengan rute Delhi-Tashkent berupa pesawat jet Ilyushin yang dua kali lebih besar dari pesawat manapun yang pernah ia tumpangi. Kebetulan, kerjasama maskapai Air India dan Aeroflot asal Uni Soviet baru membuka rute Delhi ke Moskow via Tashkent pada Agustus 1958, dua bulan sebelum dihelatnya KPAA. 

KPAA dihadiri sekitar 140 pengarang, sastrawan, dan sebagainya dari 36 negara. Di antaranya Nâzim Hikmet (penyair Türkiye), Faiz Ahmad Faiz (penyair Pakistan), Mulk Raj Anand (sastrawan India), Mao Dun (sastrawan China), Mário Pinto de Andrade (penyair Angola), Marcelino dos Santos (penyair Mozambik), Ousmane Sembène (pengarang dan sineas Senegal), dan sosiolog cum sejarawan dan aktivis HAM Afrika asal Amerika Serikat William Edward Burghardt Du Bois sebagai undangan kehormatan. KPAA dibuka secara resmi oleh Ketua Komite Persiapan KPAA Sharaf Rashidov dan dilanjutkan penyampaian pesan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, yang diperantarakan anggota Presidium CC Partai Komunis Soviet, N.A. Mukhitdimnov. William Du Bois sendiri diberikan tempat untuk berpidato di hari kedua. 

“Dengan perwakilan yang lebih banyak dari Afrika daripada Konferensi Bandung (KAA, red) ‘55, Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, ibukota kuno Uzbekistan ini menjadi konferensi internasional paling penting yang pernah diadakan. Sekarang para cendekiawan dari Afrika dan Asia hadir di Tashkent yang mulanya sebagai orang asing, kini selangkah lebih dekat menuju persatuan menghadapi jiwa umat manusia yang terganggu dari masa lalu yang penuh kegelapan,” ungkap potongan pidato Du Bois yang disambut standing ovation, dikutip Gerald Horne dalam Black and Red: W.E.B. Du Bois and the Afro-American Response to the Cold War, 1944-1963 

Pram kembali ke tanah air pada 21 Oktober 1958 dengan rute berbeda: Taskent-Turkmenistan-Moskow-Siberia-Beijing-Rangoon-Jakarta. Dalam rangkaian perjalanan itu ia juga menyempatkan diri untuk kembali bertandang ke Beijing guna menemui para kolega sastrawan dari China. 

“Kunjungan Pramoedya kedua kali memang bersilang jadwal dengan Konferensi Pengarang Asia dan Afrika di Tashkent. Setelah konferensi, Pram pulang via China. Ia mengunjungi Peking, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Sejak kunjungan itu otoritas dan cendekiawan China sudah menganggap Pramoedya mulai memahami konsep politik front nasionalis dan demokratik. Kedatangannya di beberapa kota bahkan disambut dengan acara-acara yang cukup besar. Pramoedya tidak lagi menjadi sekadar pengamat tapi juga partisipan aktif dalam romantisme revolusi China,” tulis Hong Liu dalam artikel “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual” yang dimuat dalam Jurnal Indonesia No. 61, April 1996. 

Baca juga: Tidak Lagi Memunggungi Afrika

Hasil dari lawatannya dari Tashkent hingga ke China itu juga melahirkan terjemahan novel Ibunda (1958) dari karya Maxim Gorky, Mat (1906). Karya itu dianggap sebagai peletak dasar konsep ‘Realisme Sosialis’, dan mendorong Lekra mengundang Pramo ke Kongres Nasional I Lekra di Solo pada 22-28 Januari 1959. 

“Pada Januari 1959 dalam laporannya kepada (kongres) Lekra tentang Konferensi Pengarang Asia-Afrika, Pramoedya menegaskan beberapa tema sentral yang sudah pernah ia uraikan dua tahun sebelumnya. Ia mengakui bahwa di masa lalu ia menganggap sastra hanya sekadar ekspresi pemikiran pribadi tanpa menyadari bahwa seorang individual adalah juga sebuah entitas sosial. Ia juga mengakui pengaruh Lekra dalam membentuk perspektifnya mencintai rakyat. Kemudian Pramoedya menyatakan bahwa pengarang punya tugas penting untuk ikut mengubah keadaan sosial dalam masyarakat,” tambah Hong Liu. 

Setelah kongres itu, rapat pleno Lekra menghasilkan pemberian keanggotaan kepada Pram. Meski di kemudian hari ia tak banyak punya peran dalam Lekra, melainkan lebih sering menyibukkan diri mengasuh rubrik “Lentera” di harian Bintang Timur dan menulis artikel di edisi mingguannya, Bintang Minggu. 

Setelah lebih sibuk dengan karya-karyanya yang lain, baru di masa senjanya Pram menyinggung kembali perspektif solidaritas bangsa Asia-Afrika dalam semangat KAA 1955  yang diprakarsai Bung Karno dan KPAA 1958 yang pernah ia hadiri. Tepatnya ketika mengisi orasi budaya sekaligus memperingati KAA dan Hari Buku Internasional di Bandung, pada 23 April 2003. 

“Menurut Pram, sampai-sampai bangsa-bangsa Afrika berkata, ‘Sukarno, perintahlah kami, maka kami akan bergerak.’ Dan kebersatuan kulit berwarna, Asia-Afrika ini mengguncangkan Barat. Siapa yang tidak pusing, Eropa sudah susah akibat perang, masalah ekonomi, industri dan nuklir. Apakah mereka berani menghadapi masalah lain: kebangkitan bangsa-bangsa yang mereha hisap dan membuat begitu kaya?” tandas penyair Eka Budianta dalam Mendengar Pramoedya.

Baca juga: Ketika Pram Dipenjara Gegara Membela Etnis Tionghoa

TAG

pramoedya ananta toer pramoedya-ananta-toer pramoedya pram konferensi asia afrika konfrensiasiaafrika kaa sastrawan

ARTIKEL TERKAIT

Al-Asma'i, Penyair di Balik Lantunan "Tob Tobi Tob" Balada Dua Mayor Pramoedya Bicara Soeharto D.I. Pandjaitan Ditawan Mengenang Pak Tuba Para Sarjana Batak Tempo Dulu Pramoedya Berkarya Kisah Pram dan Gadis Belanda Tanpa Nama Pramoedya Ananta Toer: Pena yang Ulung dan Tajam Mereka yang Memihak Pramoedya