JUMAT (11/1), M.S. Kaban selaku bekas menteri kehutanan era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kini menjabat Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang, berkicau begini –dengan pengubahan redaksional seperlunya– dalam akun twitter pribadinya:
“Cheng Ho pernah membawa puluhan kapal lengkap dengan pasukan untuk menyerang Majapahit karena tidak mau tunduk membayar upeti kepada kaisar China. Di era Presiden Jokowi, mendarat dengan aman dan tenang ribuan orang RRC di Morowali pakai pesawat China Airlines.”
Di tengah sentimen anti-Cina yang acap dijadikan komoditas politik belakangan ini, ada tiga hal yang perlu diluruskan dalam kicauan tersebut.
Pertama, jika Cina yang dimaksud M.S. Kaban adalah Cina Daratan yang sejak 1949 dikuasai Partai Komunis sehabis mendepak Partai Nasionalis ke Taiwan, maka pesawat yang dipakai semestisnya adalah Air China (Zhongguo Hangkong), bukan China Airlines (Zhonghua Hangkong) yang merupakan maskapai Taiwan.
Baca juga: Apa agama Cheng Ho?
Kita tahu, Taiwan sampai sekarang masih menjadi entitas politik tersendiri yang belum berhasil disatukan kembali oleh Partai Komunis laiknya Hong Kong dan Macau. Dan, ketimbang Cina Daratan yang sekarang presidennya bernama Xi Jinping, Taiwan yang dipimpin oleh Tsai Ing-wen tidak begitu banyak mengirimkan pekerjanya ke Indonesia wabil khusus Morowali. Perusahaan Taiwan lebih intens berinvestasi di Batam.
Kedua, ogah mengakui atau tak mau tahu bahwa “ribuan orang RRC” juga “mendarat dengan aman dan tenang” untuk bekerja di Indonesia ketika zamannya SBY, adalah usaha yang naif belaka. Justru di era Jokowi, pekerja dari Cina itu tidak bisa sepenuhnya bekerja dengan “aman dan tenang” lantaran kerap dipermasalahkan. Bila boleh meminjam pepatah, “gajah di peluk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak.”
Betapa tidak, Biro Statistik Nasional Cina mendata, pihaknya mengirim 21.109 pekerja untuk menggarap proyeknya di Indonesia pada 2011. Lantas menukik menjadi 3.523 saja pada 2012. Lalu naik kembali ke 7.985 pada 2013. Kemudian terdongkrak menuju 15.689 pada 2014. Kini, di era Jokowi, angkanya belum terlampau jauh beranjak dari sana.
Ada baiknya kita tidak melupakan wejangan Jean Marais kepada Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang masyhur ini: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Konflik karena upeti?
Ketiga, di satu sisi, saya tidak setuju bahwa tujuh kali pelayaran armada Cheng Ho ke Samudra Barat (xiyang) yang tercatat juga berkesempatan singgah di beberapa wilayah yang sekarang kita kenal dengan nama Indonesia ini, sepenuhnya berjalan damai tanpa konflik berdarah-berdarah. Pasalnya, kita semua mafhum bahwa awak-awak kapal Cheng Ho pernah terlibat dalam pertempuran di Palembang dan Jawa.
Namun, di sisi lain, saya juga tidak sepakat kalau peperangan yang melibatkan pasukan Cheng Ho itu dipicu oleh ketidakmauan kita untuk “tunduk membayar upeti kepada kaisar China” sebagaimana cuitan M.S. Kaban. Sebab, fakta sejarah tidak mengatakan demikian.
Untuk tragedi berdarah di Palembang, disebabkan karena Chen Zuyi –alias Tan Tjo Gi kalau dilafalkan dalam dialek Hokkien– yang diyakini menjadi gembong bajak laut bengis setelah kabur dari Cina, bersikeras tidak mau dipanggil pulang ke negeri asalnya.
Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
Sebagaimana dicatat Ma Huan dalam kitab terkenal "Mengarungi Pemandangan Indah di Seberangan Samudra" (Yingya Shenglan), seorang bernama Shi Jinqing “datang melaporkan kebengisan (xiongheng) beserta tindak tanduk Chen Zuyi yang lain” kepada Cheng Ho yang sedang berlabuh di Palembang pada 1407.
Kebrutalan Chen Zuyi, masih menurut Ma Huan, tampak dari kelakuannya “merompak barang-barang setiap kapal pendatang yang melintas” di Pelabuhan Lama (Jiugang) –julukan Palembang dalam catatan Ma Huan.
Merujuk keterangan dalam Riwayat Cheng Ho (Zheng He Zhuan) yang termaktub dalam Sejarah Ming (Ming Shi) yang selesai dikompilasi pada 1739, selepas utusan Cheng Ho membacakan titah Kaisar Yongle (1402–1424), Chen Zuyi “berpura-pura menyerah, padahal berintrik untuk merampok [rombongan kapal Cheng Ho].”
Berdasar delik demikian, seperti diungkap Catatan Fakta Ming (Ming Shilu) bagian “Catatan Fakta Kaisar Yongle” (Taizong Shilu) jilid 71, pasukan Cheng Ho lantas “membunuh lebih dari 5000 orang komplotan, membakar 10 kapal, menawan 7 kapal, dan merampas 2 stempel perunggu [lambang kekuasaan]” Chen Zuyi.
Belum berhenti di situ, menukil keterangan Ma Huan di Yingya Shenglan, Chen Zuyi dan dua konconya ditangkap hidup-hidup, lantas dibawa pulang ke pusat kekaisaran di Nanking untuk dieksekusi mati dengan dipancung kepalanya di depan khalayak umum. Berkat jasanya menyingkap “kebengisan” Chen Zuyi, kekaisaran mengangkat Shi Jinqing sebagai “pemimpin besar” (da toumu) –atau disebut juga “duta pasifikasi” (xuanwei shi)– komunitas Cina di Palembang.
Baca juga: Islamisasi ala Cheng Ho
Untuk diketahui, karena masalah internal dengan saudaranya, putri Shi Jinqing yang bernama Shi Dajie alias Nyai Gede Pinatih belakangan pindah dari Palembang dan menjadi syahbandar di Gresik. Dialah pengasuh Raden Paku dan penyokong finansial Giri Kedaton.
Dengan begitu boleh dikata, meski secara tak langsung, ada jasa Cheng Ho dan orang-orang Cina dalam ketersebaran Islam di Jawa Timur yang dimotori oleh Sunan Giri.
Cheng Ho menyerang Majapahit?
Sama seperti yang dengan Chen Zuyi, konflik armada Cheng Ho yang terjadi di Jawa juga tidak disebabkan oleh masalah terkait upeti. Malahan, berbeda dengan yang dilakukan kepada Chen Zuyi, pada konflik di Jawa ini pasukan Cheng Ho justru tercatat tidak melakukan perlawanan sama sekali meski tak sedikit awak kapalnya yang dibunuh.
Perlakuan berbeda itu kemungkinan karena, di Palembang, pihak yang terlibat adalah Chen Zuyi yang notabene warga Cina sendiri; sedangkan di Jawa, yang menjadi lawan mainnya adalah warga Majapahit. Cheng Ho agaknya benar-benar tidak ingin mencari musuh dengan negeri lain. Apalagi, hubungan Dinasti Ming dengan Majapahit, kalau melihat catatan Ming Shi jilid 324, tampak cukup intim: ditandai dengan intensitas saling kirim duta ke kerajaan masing-masing.
Baca juga: Cheng Ho tak menyerang Jawa
Sayangnya, tatkala Cheng Ho diutus ke Jawa pada 1406, Kerajaan Majapahit sedang terjadi perang saudara antara kedaton timur pimpinan Raja Wirabumi dengan kedaton barat yang dikepalai Raja Wikramawardhana. Perang ini kesohor dengan sebutan Perang Paregreg.
Ming Shi jilid 324 menceritakan, ketika armada Cheng Ho melewati wilayah kedaton timur, sebanyak 170 awak kapal Cheng Ho menjadi korban pembunuhan serdadu-serdadu kedaton barat yang memenangkan pertempuran tersebut. Raja Wikramawardhana lantas mengirim utusan ke Dinasti Ming untuk meminta maaf atas pembunuhan tersebut. Dinasti Ming meminta Raja Wikramawardhana untuk menyerahkan emas sebanyak 60 ribu tahil (liang) sebagai ganti rugi.
Pada 1408, masih menurut Ming Shi jilid 324, Cheng Ho berkunjung lagi ke Jawa. Raja Wikramawardhana cuma mampu memberikan 10 ribu tahil emas. Bagian protokoler Dinasti Ming menyarankan kepada Kaisar Yongle agar menjatuhkan hukuman kepada Raja Wikramawardhana.
Apa jawaban Kaisar Yongle? “Zhen yu yuan ren, yu qi wei zui eryi, ning li qi jin ye?” Terjemahan bebasnya kira-kira: “Aku hanya ingin mereka mengakui dan takut melakukan kesalahan kembali. Kalau itu sudah tercapai, buat apa aku menuntut kompensasi emasnya?”
Membaca jawaban Kaisar Yongle itu, saya mendadak kepikiran peristiwa G30S. Saya membayangkan, barangkali seperti jawaban Kaisar Yongle itu pula yang diharapkan para korban kejahatan kemanusiaan 1965 kepada siapa pun pelakunya.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.