Masuk Daftar
My Getplus

Menguliti Muasal Pertunjukan Wayang Kulit

Pertunjukkan wayang berkembang mengikuti zaman. Awalnya dipertunjukkan untuk acara sakral pada masa kuno.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 23 Des 2019
Pagelaran wayang kulit tradisional. (Risa Herdahita Putri/Historia).

Gunungan muncul menari-nari dalam layar. Pertanda pagelaran akan dimulai. Gamelan gaya baru mengiringi. Para sinden bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Begitu pula sang narator yang bagaikan dalang membuka kisah pewayangan. 

Munculah Kertanegara, raja terakhir Singhasari dalam layar. Dalam wujud wayang, ia bermakutha dan mengenakan praba. 

Suara-suara terdengar tengah merapal mantra. Di belakang Kertanegara tergambar stupa. Ini penggambaran Kertanegara sedang melakukan ritual dalam ajaran Buddha Tantrayana. 

Advertising
Advertising

Seketika langit serupa merah darah. Pasukan Jaran Goyang dari Kadiri menggempur Singhasari, membakar, dan membunuh yang dilewatinya. 

"Bakar! Bakar! Bakar!" teriak mereka. 

Kertanegara dan semua pendeta kebingungan. Mereka masih separuh jalan menyempurnakan ritual Tantrayana untuk membangkitkan kekuatan sang Kalacakra di lapangan ksetra.

Namun, api sudah di mana-mana. Serangan mendekat.

"Jayakatwang!" teriak Kertanegara. "Raja Glang Glang terkutuk! Tak bisakah kau bersikap seperti layaknya kesatria? Kau mengerahkan pasukanmu pada saat pasukanku berlayar ke Sriwijaya. Kau menyerang di saat kami semua sedang melakukan ritual Tantra. Jayakatwang tunjukan dirimu! akan ku..."

Tiba-tiba sebuah panah melesat menembus dadanya. Serapahnya terhenti seketika. 

Tertawalah Jayakatwang. "Si tua bodoh Kertanegara," katanya. "Teruslah bermimpi! Hukum alam menyatakan yang kuat dan cerdiklah yang akan berkuasa. Bukan raja yang gemar melakukan ritual sia-sia!"

Matilah Kertanegara di tangan besannya sendiri. Singhasari pun binasa bersamanya. Wijaya, sang menantu berhasil kabur. Ia menyimpan dendam dan cita-cita meneruskan kembali pemerintahan Singhasari di Jawa.

Baca juga: Asal Usul Raden Wijaya

Episode itu mengawali pagelaran sinewayang karya sutradara Sambowo Agus Herianto di Teater Kautaman, Gedung Pewayangan Kautaman akhir pekan ini. Sinewayang Babad Majapahit dengan lakon Adiparwa Wilwatikta atau Berdirinya Kerajaan Majapahit itu menggabungkan gerak wayang kulit dengan penyajian ala film layar lebar.

Pertunjukan selama kurang lebih dua jam ini diramu dari kisah runtuhnya Kerajaan Singhasari dan berdirinya Kerajaan Majapahit. Kisahnya mudah dimengerti karena disajikan dalam bahasa Indonesia. 

Pagelaran wayang dalam bentuk sinewayang mengubah cara penyajiannya dari tradisi lama. Tradisi yang katanya telah ada sejak era perkembangan Hindu-Buddha di Jawa. 

Tak mudah menentukan kapan dan bagaimana wayang purwa pertama kali dikenal masyarakat Jawa. Tapi ada teori yang menyatakan kalau bentuk wayang kulit sekarang berasal dari penciptaan awalnya pada era pemerintahan Jayabhaya di Kadiri (1130-1160). Soedarso Sp menjelaskan itu dalam “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk”, yang disampaikan dalam Pidato Ilmiah Pada Dies Natalis Ketiga Institut Seni Indonesia Yogyakarta tahun 1987. 

Katanya, menurut R.M Mangkudimeja dalam Kawruh Asalipun Ringgit Sarta Gegepokanipun Kaliyan Agami ing Jaman Kina dan Pangeran Kusumadilaga dalam Serat Sastramiruda Jilid I, pada awalnya wayang dibuat di atas daun lontar. "Dalam proses penciptaannya si pembuat mengacu pada bentuk arca yang mendapat pengaruh budaya Hindu," kata Soedarso. 

Baca juga: Hiburan Masyarakat Jawa Kuno

Bentuk wayangnya tak seperti wayang kulit yang dikenal kini. Wayang kulit sekarang adalah gabungan dari tampak depan, tampak samping, dan pandangan menyudut. Kalau dulu, wayang dibuat tampak depan. 

Dari menggunakan lontar kemudian berkembang menggunakan kertas. Pada masa Majapahit wayang kertas itu berkembang menjadi wayang beber. 

Namun, Soedarso tak sepakat dengan teori itu. "Wayang kulit tidak baru diciptakan pada zaman pemerintahan Jayabhaya," tegasnya. 

Berdasarkan Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada 1036, wayang sudah dibuat dengan memahat kulit. Sementara naskah Bhoma Kawya dan Bharatayuddha melengkapi penggambaran tentang bagaimana pertunjukkan wayang kulit dimainkan waktu itu. 

"Sampai pada adanya kelir, blencong, serta instrumen pengiringnya, dapat dipastikan apa yang tergambar pada 1036 itu adalah hasil perkembangan dari sesuatu yang sudah dimulai lama sebelumnya," kata Soedarso. 

Karena sangat populer, ini kemudian mengilhami timbulnya ide menghiasi dinding candi dengan adegan dari pagelaran wayang kulit. Khususnya pada candi-candi dari periode Jawa Timur (di atas abad ke-10), seperti Candi Surawana, Candi Jago, Candi Tigawangi, dan Candi Panataran.

Relief kisah Parthayajna di dinding Candi Jago menampilkan tokoh Arjuna dan dua punakawannya
(Foto: Risa Herdahita Putri)

Baca juga: Mantra Sakti Sang Dalang Wayang

Pendapat Soedarso itu didukung data prasasti. Arkeolog Dyah W. Dewi dalam "Kesenian Wayang Pada Masa Jawa Kuno dan Persebarannya di Asia" termuat di Pertemuan Arkeologi V mengungkapkan wayang sudah dikenal di Nusantara sejak kurang lebih abad ke-9. 

"Itu sehubungan dengan diselenggarakannya suatu upacara untuk memperingati suatu kejadian," katanya.

Ada banyak buktinya. Timbul Haryono, guru besar arkeologi Universitas Gadjah Mada dalam "Masyarakat Jawa Kuna dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur", termuat di 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur, menjelaskan bukti tertua yang menyebut kata dalang (haringgit) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Dalam prasasti ini, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem. Artinya berada di lingkungan istana.

"Haringgit adalah bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang," jelas Timbul.

Sementara padanan kata untuk ringgit bisa dijumpai di Prasasti Tajigunung (910). Di sini istilah haringgit digunakan secara bergantian dengan awayang

Informasi lebih lengkap terkait wayang dihadirkan oleh Prasasti Wukajana dari dari masa Raja Balitung (907). Prasasti ini menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara, sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang tergila-gila pada Drupadi. 

Baca juga: Hikayat Wayang Orang di Priangan

Di dalamnya juga tertulis kalimat "...mawayang bwat hyang". Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang. Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti.

Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok (abad ke-10).

Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam catatan Ma Huan, Yingya Shenglan pada awal abad ke-15. Catatan ini merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. 

Catatan itu menyebut adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga.

Purwarupa Wayang

Tradisi wayang kemudian diwariskan hingga masa perkembangan Islam. Menurut Sunarto dan Sagio dalam Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Bentuk dan Ceritanya, diduga tradisi pewayangan yang telah ada pada masa Majapahit dilanjutkan pada masa Kerajaan Demak dan berakulturasi dengan kebudayaan Islam yang berkembang kala itu. Tradisi pewayangan ini kemudian didukung oleh kuasa keraton. Lalu dikembangkan oleh penguasa dan para sunan untuk dijadikan salah satu media dakwah Islam.

Bentuk wayang kulit pada masa ini berubah lagi. Sunarto dan Sagio menjelaskan bentuknya menyesuaikan dengan ajaran Islam yang berkembang. Terutama larangan membuat karya seni yang menyerupai bentuk makhluk hidup. 

"Penggambaran tokoh wayang seperti yang ada dalam relief candi kemudian berubah menjadi gaya yang telah distilasi dan mengarah pada perlambangan," jelasnya. 

Lebih lanjut, Sri Mulyono dalam Wayang, Asal-Usul, Filsafat dan Masa Depannya menjelaskan, yang berubah terutama adalah bentuk muka dan lengan. "Bentuk muka wayang kulit digambar miring, lengan dan tubuh dibuat panjang sehingga menjauhi gambar manusia yang sebenarnya," jelasnya. 

Baca juga: Wayang Wahyu Melakonkan Kisah Injil

Namun, Soedarsono, guru besar bidang seni dan sejarah budaya UGM, dalam Beberapa Catatan tentang Seni Pertunjukan Indonesia melihat bentuk wayang kulit menjadi seperti yang sekarang bukan merupakan akibat dari stilasi masa Islam yang melarang membuat karya seni menyerupai makhluk hidup. Proses penyamaran dari wujud manusia sudah terlihat dalam seni masa sebelum Islam, yang terwujud dalam relief candi-candi. Pasalnya waktu itu pun cara penggambaran tokohnya memperlihatkan muka menyamping, dua bahu yang terlihat dari arah depan, disambung dengan dada dan perut dari arah samping, dan berakhir dengan tubuh bagian bawah yang menampakkan kedua kaki.

"Itu menandakan perbedaan gaya seni antarmasa yang berbeda bukan terletak pada mana yang tidak distilir dan mana yang kemudian distilir, namun lebih kepada perbedaan bentuk stilasinya," jelasnya.

Perkembangan wayang, khususnya wayang kulit kemudian menjadi sangat rumit ditelusuri. Kendati masih ada standardisasi gaya, atau yang dalam istilah pewayangan disebut dengan pakem. Ini paling terlihat, misalnya di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Itu karena di sana ada pusat otoritas sebagai pemegang kendali berkembangnya tradisi. 

Di luar pakemnya, seni wayang berkembang leluasa. Makanya kini dikenal banyak bentuk wayang, dari segi bahan, tokoh, dan cerita.

Baca juga: Wayang Perang Idola di Gelanggang

Wayang kulit Arjuna gaya Bali/Wikipedia

 

Kendati sudah banyak perubahan, bentuk wayang kulit lawas itu kini masih bisa ditemukan jejaknya di Bali. Berdasarkan sejarahnya, hubungan Jawa dan Bali telah ada berkat Airlangga. Ia adalah seorang pangeran dari Bali, putra Raja Udayana dengan Putri Dharmawangsa Tguh yang naik takhta menggantikan kakeknya di Jawa.

Berikutnya, Bali dan Jawa terhubung setelah adanya ekspedisi Majapahit ke wilayah itu pada 1343. Ini berakibat pada kekalahan di pihak Bali. 

Semenjak itu, menurut ahli bahasa P.J. Zoetmulder dalam Kalangwan, dapat dikatakan wilayah Bali mengalami proses Jawanisasi. Figur dan tata busana wayang kulit Bali umumnya punya kemiripan dengan penggambaran tokoh dalam relief candi-candi masa Jawa Timur.

Bahkan, Soedarsono dalam Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta mengatakan kalau wayang Bali merupakan kesinambungan dari wayang Jawa Timur. Maka bisa dibilang kalau ingin membayangkan bagaimana rupa boneka wayang pada masa kuno, bisa dilihat wayang gaya Bali sekarang. Walaupun telah mengalami beberapa modifikasi, bentuk wayangnya tetap melestarikan bentuknya dari masa kuno.

TAG

wayang

ARTIKEL TERKAIT

Wayang Potehi Terawat di Gudo Gan Kam, Tionghoa Penyelamat Wayang Orang Jawa Jalan Terjal Ngesti Pandowo Sambo Malu karena Kehilangan Kewibawaan Wayang Penerang Kisah Hanoman dari Kota Lama Gan Thwan Sing, Pencipta Wacinwa Membaurkan Cina-Jawa dalam Wacinwa Dari Penasehat ke Pelawak Tjokroaminoto Jadi Hanoman