Sejuta tahun yang lalu, nenek moyang manusia berkeliling, berburu, dan memakan sesamanya. Berburu daging manusia dinilai lebih menguntungkan dibanding mengejar hewan lain.
Homo antecessor merupakan spesies manusia purba yang diperkirakan telah hidup antara 1,2 juta sampai 800.000 tahun yang lalu di dataran Eropa. Situs Smithsonian menjelaskan, spesies yang kontroversial ini diyakini oleh sebagian kecil antropolog sebagai leluhur terakhir Homo sapiens dan Neanderthal sebelum kedua spesies itu berpisah. Mereka disebut pula sebagai manusia kanibal tertua.
"Fosil yang ditemukan di situs arkeologi berisi tanda-tanda kanibalisme yang tidak perlu dipertanyakan lagi," kata peneliti dari Pusat Penelitian Nasional untuk Evolusi Manusia (CENIEH) Spanyol, dalam studi yang mengamati tingkah laku perburuan Homo antecessor, sebagaimana dikutip Newsweek.
Baca juga: Spesies Baru Manusia Ditemukan
Adalah Jesús Rodríguez, Ana Mateos, dan Guillermo Zorrilla, ilmuwan yang berada di balik penelitian ini. Studi yang diterbitkan dalam Journal of Human Evolution itu dihasilkan setelah mempelajari fosil tulang tujuh individu di situs arkeologi Spanyol, Gran Dolina. Mereka menemukan bukti yang jelas tentang praktik kanibal atau antropofagi dalam istilah antropologi. Itu seperti gigi manusia, luka dan patah tulang yang memperlihatkan sumsum. Temuan ini ada di antara sembilan spesies mamalia lainnya dan 22 individu yang tidak dimakan.
Para peneliti pun menggunakan model matematika untuk memahami mengapa kanibalisme terjadi meski banyak mangsa lain yang tersedia.
Mereka menganalisis kasus kanibalisme, sebagai salah satu opsi mencari makan. Para ahli pun menimbang antara perburuan manusia dan hewan lain dalam hal usaha dan berapa besar manfaat nutrisi yang mereka bisa dapat.
Berburu manusia purba, kata mereka, nyatanya dilakukan demi mendapatkan manfaat maksimal dengan biaya minimum. Dengan kata lain praktik ini adalah bagian dari strategi berburu yang menguntungkan bagi pendahulu manusia modern itu.
“Analisis kami menunjukkan kalau Homo antecessor, seperti juga predator lainnya, memilih mangsanya berdasarkan keseimbangan antara keuntungan dan usaha yang dikeluarkan,” jelas Rodríguez, dikutip laman resmi CENIEH.
Baca juga: Kanibalisme di Nusantara
Seperti Daily Mail laporkan, Homo antecessor sadar kalau hewan lain mengandung kalori yang lebih banyak per gigitannya. Namun, kemudahan dan kurangnya upaya yang mereka keluarkan dalam berburu manusia membuat itu lebih hemat energi dalam jangka panjang.
“Mengingat prinsip seimbang tadi, manusia adalah pemangsa di peringkat atas. Artinya, jika dibandingkan mangsa lainnya, akan banyak makanan yang bisa diperoleh dari manusia dengan usaha yang minim,” lanjut Rodríguez.
Praktik kanibal ini juga didorong tingkat pertemuan yang tinggi antara sesama manusia. Peneliti lainnya, Ana Mateos, mengatakan, bagi Homo antecessor lebih mudah menemukan manusia daripada hewan lain. “Mayat yang dikanibal adalah orang-orang dari anggota kelompok yang telah meninggal karena sebab yang berbeda,” jelas dia.
Sejauh ini diketahui kalau kanibalisme adalah praktik manusia sejak lama dan tersebar luas. Namun, penyebab mereka memilih mengonsumsi manusia lain masih menjadi perdebatan hangat.
"Beberapa penjelasan dimungkinkan untuk perilaku kanibalistik, mulai dari motivasi sosial dan budaya hingga penyebab gizi murni," jelas para peneliti.
Baca juga: Kisah Pemburu Kepala
Dalam penelitian sebelumnya, arkeolog Inggris James Cole menghitung nilai gizi tubuh manusia dan menerapkannya pada temuan Palaeolitik. Hasil studinya, yang diterbitkan dalam Scientific Reports, mengajukan ide bahwa kanibalisme tidak harus hanya didorong oleh kebutuhan akan nutrisi. Ini mengingat nilai kalori daging manusia tidak sekuat mangsa potensial lainnya pada saat itu.
“Ini mengindikasikan ada juga alasan sosial dan budaya untuk kanibalisme prasejarah,” kata Cole dikutip Newsweek.
Cole yang tak terlibat dalam penelitian itu berkata kalau temuan terbaru ini membantu interpretasi alasan kanibalisme di antara leluhur kuno manusia, yaitu motivasi perilaku kanibalisme menggunakan teori pencarian makan yang optimal.
"Pendekatan semacam itu sangat unik dan menunjukkan kalau meskipun ada masalah dengan lebarnya waktu, kita masih dapat menghasilkan interpretasi baru dari perilaku kompleks yang dilakukan leluhur hominin kita," katanya.