BILA berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun.
Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih.
Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok.
Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja.
Demikianlah catatan Ma Huan dalam Yingya Shenglan. Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.
Baca juga: Adakah Peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan.
“Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia.
Dia menyebutkan kota-kota penting di Jawa yang berada di daerah peisisir sebagai tempat-tempat berlabuh pertama.
“Selain Majapahit, Ma Huan menyebut Tuban, Gresik, dan Surabaya, dan memang inilah kota penting masa itu,” ujar Nurni.
Tiga golongan penduduk Jawa
Ma Huan juga membagi penduduk Jawa ke dalam tiga golongan. Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan.
Kedua, golongan Tangren atau Tenglang. Ini merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus.
“Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit konon Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni.
Nurni juga mengatakan bahwa Ma Huan adalah orang pertama yang menyebut penduduk Jawa yang berasal dari Tiongkok. Meski kedatangan orang Tiongkok di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6 M.
Baca juga: Catatan Pertama Kedatangan Orang Tionghoa ke Nusantara
Ketiga, masyarakat pribumi. Tak seperti sebelumnya, masyarakat dalam golongan ini tercatat sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Mereka juga memelihara anjing di dalam rumah. Bersama anjingnya, mereka tidur dan makan tanpa risih.
“Buku ajaran Buddha pernah menyebutkan adanya negeri-negeri setan, inilah salah satu wilayahnya,” catat Ma Huan.
Belum lagi soal makanan. Ma Huan menilai makanan penduduk pribumi sangat kotor dan jorok. Contohnya, semut, berbagai jenis serangga, dan ulat. Makanan itu pun hanya dipanaskan sebentar di atas api untuk kemudian ditelan.
“Kurang lebih seperti ini yang dilihat Ma Huan. Jadi selain kota juga kehidupan penduduknya,” lanjut Nurni.
Berbeda dengan karya Ma Huan, sumber lainnya, yaitu Ming Shi lebih memuat soal hubungan bilateral Tiongkok dan Jawa. Ming Shi merupakan catatan sejarah resmi Dinasti Ming.
Baca juga: Hubungan bilateral Jawa dan Tiongkok
Dalam catatan Sejarah Dinasti Ming ini Majapahit disebut dalam bab tentang “Jawa”. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting,” kata Nurni.
Dibandingkan penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan misalnya, isinya sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singhasari.
Menurut Nurni, pada masa Dinasti Ming berbeda. Sudah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang. Pun soal bagaimana menjaga hubungan walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok.
“Kenapa sampai begitu, karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi. Itukan masalah uang dalam jumlah besar,” jelas Nurni.
Baca juga: Alasan Khubilai Khan menyerang Jawa
Narasi tentang Majapahit cukup panjang bila dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. “Ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah. Baru terakhirnya sedikit tentang kondisi umum Jawa,” kata Nurni.
Dari naskah itu terlihat pula kalau Jawa lebih dari 30 kali mengunjungi Tiongkok. Penyebabnya ada dua pendapat berbeda. Tiongkok dianggap memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Jawa, demi mendapatkan keuntungan yang besar darinya, membangun hubungan resmi dengan cara mengirim upeti.
“Karena orang Jawa katanya kasih cuma sedikit, bisa bawa pulangnya banyak. Jawa membawa hasil bumi ke Cina, sementara saat meninggalkan Cina digambarkan membawa barang-barang bagus, hadiah dari kaisar,” kata Nurni.
Namun, beberapa sejarawan, kata Nurni, berpendapat lain. Baik Jawa dan Tiongkok sebenarnya sama-sama diuntungkan. “Kenapa? Jangan lupa hasil bumi Jawa itu luar biasa kaya. Kalau dijual di sana harganya bisa lima kali lipat,” jelasnya.
Baca juga: Mata uang Tiongkok era Majapahit
Misalnya, lada. Lada kerap menjadi komoditas selundupan ke Tiongkok. Garam sudah menarik perhatian pedagang Tiongkok sejak abad ke-6 M.
Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majaphit,” ujar Nurni.