UTUSAN kerajaan dari Jawa datang ke kerajaan di Tiongkok pertama kali muncul dalam catatan Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116. Dokumen Tiongkok klasik ini disusun sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M). Sementara catatan pertama kedatangan orang Tionghoa ke Nusantara baru muncul pada abad ke-5.
Seorang biksu bernama Faxian melakukan perjalanan darat dari Tiongkok ke India pada 400 M. Dalam perjalanan pulang lewat laut, dia mengunjungi Jawa pada 414 M. Catatan perjalanannya berjudul Catatan Negara-Negara Buddhis tak terlalu banyak mengulas soal Jawa.
“Saya curiga (pelawat Tionghoa, red.) belum berlayar sendiri. Tetapi pakai perahu atau kapal besar milik India. Sebab Faxien tidak melaut dengan kapal Tiongkok, tapi pakai kapal dagang India,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina di Universitas Indonesia, saat ditemui di acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah.
Baca juga: Hubungan bilateral Jawa dan Tiongkok
Berabad-abad setelah masa Faxian tidak ditemukan adanya catatan perjalanan para pengelana Tiongkok ke Nusantara. Satu-satunya sumber yang tersedia kemudian adalah catatan dalam Sejarah Dinasti.
W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menerjemahkan catatan Sejarah Dinasti Liu Song (420-479 M). Di dalamnya disebutkan pada 435 M, raja negara Ja-va-da, Sri Ba-da-duo-a-la-ba-mo mengirimkan utusan untuk mempersembahkan sepucuk surat dan sejumlah hadiah.
“Kalimat yang tidak penting ini diterjemahkan karena nama negara ini mirip degan Ya-va-di yang digunakan oleh Faxian,” tulis Groeneveldt.
Rute ke Nusantara
Sementara itu, Nurni berasumsi, secara resmi bangsa Tionghoa pertama datang ke Nusantara baru pada abad ke-7 M pada masa Dinasti Tang. Ketika itu letak geografis Nusantara, khususnya Jawa, sudah tercatat.
Pada masa berikutnya, Dinasti Sung (960-1279 M), rute perjalanan ke Nusantara sudah dijabarkan lebih lengkap. Dalam Catatan Sejarah Dinasti Song, Jawa disebut terletak di Samudra Selatan. Jika pelaut berangkat dari ibukota ke arah timur, dalam waktu sebulan akan menemukan lautan. Dari sana berlayar dengan kapal selama sebulan setengah akan sampai di Pulau Kondor, Vietnam. Di barat, laut berjarak 45 hari. Di selatan, laut berjarak tiga hari dan dari sana, jika selama lima hari akan sampai di Da-zi. Goreneveldt menerjemahkan Da-zi sebagai orang Arab di pantai barat Sumatra.
Jarak dari ibukota ke utara (Kalimantan) memakan waktu 15 hari. Lima belas hari kemudian akan sampai di pantai timur Sumatra. Tujuh hari kemudian sampai di Kora, wilayah barat Semenanjung Malaya. Akhirnya tujuh hari lagi menuju Chaili-ting (mungkin sebuah pulau yang terletak di mulut Teluk Siam, yang terletak di jalan menuju tanah Jiaozhi (Annam bagian utara) dan menuju Guangzhou.
“Mulai dari Dinasti Tang mungkin sudah pakai kapal sendiri (kapal Tiongkok, red.). Cuma kita tidak tahu seberapa besar armadanya,” ujar Nurni.
Baca juga: Nusantara dalam kitab-kitab Tiongkok
Ketika Dinasti Yuan berkuasa (1279-1368), rute ke Jawa yang tercatat dalam Sejarah Dinasti Yuan berbeda. Bangsa Mongol itu ingin mencari rute yang paling singkat menuju Jawa. Sebabnya, kepentingan mereka adalah mengirimkan angkatan perangnya.
Sebelumnya, Dinasti Yuan mengirim utusan ke Kerajaan Singhasari pada 1289. Namun Raja Kertanegara merusak muka utusan itu sehingga Khubilai Khan murka.
Namun, kata Nurni, rute itu bukannya mudah malah berisiko besar. Apalagi latar belakang orang-orang Mongol bukan bangsa pelaut, melainkan bangsa pemelihara kuda. “Berhasil tapi sulit sekali. Kalau dari narasi, katakanlah mereka membawa 10.000 balatentara yang sampai ke Jawa tinggal 3.000,” kata Nurni.
Baca juga: Kegagalan Khubilai Khan di Jawa
Setelah peristiwa itu, hubungan Tiongkok dan Nusantara, khususnya Jawa, renggang. Namun tak berlangsung lama. Begitu Dinasti Ming berkuasa, utusan Tiongkok kembali datang ke Jawa. “Yang mengambil inisiatif justru Ming. Karena dia perlu memberikan pengetahuan kepada kerajaan lain kalau telah berdiri dinasti baru di Tiongkok,” kata Nurni.
Namun Catatan Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) tak menyertakan lagi narasi rute ke Nusantara. “Karena mereka mengganggap orang sudah tahu. Kenapa? Karena catatannya sudah lengkap dari dinasti awal, jadi tak usah ditulis lagi,” lanjut Nurni.
Bangsa Tiongkok memang punya tradisi mencatat yang sudah sangat tua. Katanya, mereka tak hanya menerbitkan buku, tapi juga melakukan penerbitan dan menghimpun buku penting dan langka yang pernah terbit di Tiongkok dalam satu serial.