KALAU India punya kisah Ramayana, Jawa punya Kisah Panji. Cerita tentang Raden Panji Inu Kertapati dan Galuh Candra Kirana ini begitu populer hingga menyeberang keluar Nusantara.
Awalnya, tradisi Panji dimulai dari cerita lisan paling tidak sejak 1400 M. Pada era Majapahit, kisah ini mewujud dalam bentuk relief di candi-candi Jawa Timur.
Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar menyebut, salah satu candi yang punya relief candi adalah Panataran di Blitar, Jawa Timur. Candi Panataran bisa diibaratkan sebagai candi nasional-nya Majapahit.
“Apabila Kisah Panji dipahatkan di percandian nasional Majapahit, Kisah Panji pun jadi kisah nasional Majapahit. Tak heran akhirnya dikenal di berbagai kawasan Nusantara dan Asia Tenggara,” ucap Agus dalam Seminar Internasional Panji/Inao 2018, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (10/7).
Kisah Panji popular karena digemari di wilayah Majapahit. Menurut Agus, hubungan daganglah yang menyebarluaskan kisah ini ke luar Jawa. “Panji itu adalah simbol ideal ksatria Nusantara,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti Kisah Panji dari Jerman, Lydia Kieven berpendapat selain soal kepahlawanan, kepopuleran Kisah Panji didukung beberapa aspek. Kisah Panji adalah teladan bagi rakyat, tapi menyajikan kisah yang tak rumit. Jalan ceritanya mudah dipahami. Ia banyak menyajikan nilai-nilai religius, tapi tak terlalu banyak menyebut persoalan kedewataan yang jelimet.
Kisah Panji juga merupakan karakter yang kreatif. Ia seringkali digambarkan sedang bermain musik dan seni lainnya. Menurut Lydia, hal ini bisa jadi inspirasi bagi masyarakat. “Panji berkarakter spiritual, ini bisa jadi sumber inspirasi kesenian yang dihargai,” jelasnya.
Adapun Kisah Panji adalah petunjuk bagi kehidupan yang baik. Kisahnya tentang mengatasi segala halangan demi mencapai satu tujuan. Meski begitu, Panji tetap digambarkan sebagai manusia biasa seperti gemar bermain-main dengan perempuan di samping cinta sejatinya, Galuh Candra Kirana (Dewi Sekartaji). Ini membuatnya menjadi sosok yang tak muluk-muluk.
“Kisah ini romantis, erotis, tapi bukannya menjadi jorok,” kata Karsono H. Saputra, dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Kisah Panji, menurut Karsono, mendapatkan bentuk tulisnya baru pada abad 16-17 dalam bentuk naskah yang ditulis di skriptorium-skriptorium pesisiran. “Terlihat dialek pesisiran abad ke-17, sayangnya (naskah, red.) yang paling awal yang kita tahu dari abad ke-18,” ujarnya.
Peneliti sekaligus Direktur KITLV Jakarta, Roger Tol menunjukkan kalau Kisah Panji sejak dulu pastilah dianggap penting. Pada perkembangan berikutnya, kisah ini banyak ditulis ulang ke dalam berbagai bahasa dan versi. “Suatu karya sastra yang banyak disalin dari masa ke masa biasanya adalah karya yang penting,” katanya.
Kisah Panji, selain tersebar di Nusantara, juga tersebar di wilayah Asia Tenggara. Ia telah digunakan dalam 13 bahasa. Bentuknya pun beragam. Ada wayang, teater, tarian, lukisan, sastra lisan, tulis, variasi bahasa, bahan dan variasi ceritanya.
Dalam pendaftaran naskah Kisah Panji sebagai Memory of the World UNESCO tahun lalu pun, didasarkan atas variasi naskah yang begitu banyak. Itu berdasarkan empat koleksi di Perpustakaan Nasional Kamboja (1 naskah), Perpustakaan Negara Malaysia (5 naskah), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (76 naskah) dan Perpustakaan Universitas Leiden (260 naskah). Jumlah ini belum semua karena masih banyak naskah yang tersimpan di perpustakaan lain yang belum sempat terinventaris.
“Variasi besar lainnya dalam segi bahan dan bahasa. Ada lontar, daluang, kebanyakan kertas Eropa,” kata Roger.
Meski dipakai dalam 13 bahasa, naskah yang didaftarkan di UNESCO terdiri dari 10 bahasa: Jawa-Bali, Jawa, Bali, Melayu, Sasak, Sunda, Aceh, Bugis, Thai, Khmer. Sementara tiga lainnya adalah Myanmar, Vietnam, dan Laos.
Roger menyebutkan variasi naskah Panji misalnya, Malat dari Bali. Naskah tertuanya dari tahun 1725, berbahasa Jawa-Bali dan beraksara Bali. Lalu ada variasi naskah Panji Ngron Akung dari Gresik (1823). Ada Panji Jaya Lengkara dari perpustakaan Susuhunan, Surakarta (1830). Ada juga Serat Panji Murtasmara dari Surakarta (1808). Kemudian Panji Anggraeni koleksi Perpustakaan Nasional yang disalin tahun 1801.
“Ini langka karena indah dengan ilustrasi. Kalau di Leiden yang seperti ini tidak ada,” kata Roger.
Lalu ada versi Sasak, yang disebut Cilinaya (Datu Daha). Versi ini berbahan lontar dan diperkirakan berasal dari abad ke-19. Dari Aceh ada Hikayat Cintabuhan, koleksi C. Snouck Hurgronje dari tahun 1873.
Ada lagi naskah yang sering digunakan sebagai bahan studi oleh pakar-pakar Panji, seperti Poerbatjaraka, yaitu naskah Panji Melayu berjudul Hikayat Cekel Weneng Pati dari tahun 1821.
Dari Bugis ada Cékélé. Versi ini beraksara Bugis. Ditulis pada 1870 dan diadaptasi dari Hikayat Cekel Weneng Pati.
Adapun Inav Puspa adalah versi Khmer dari kisah Panji. Koleksi Perpustakaan Nasional Kamboja ini beraksara dan bahasa Khmer.
“Dari semua itu, variasi ceritanya sangat banyak namun cerita pokoknya sama,” kata Roger.
Kisah Panji di mana pun selalu tentang Raden Inu Kertapati dan kekasihnya Candra Kirana. Mereka dipisahkan dan harus mengatasi banyak rintangan luar biasa sampai akhirnya bersatu lagi. Terdapat banyak versi dari kisah pokok ini. Baik soal lokasi, tokoh, maupun nama.
“Kita bisa menemukan metamorfosis, penyamaran, bahkan perubahan gender, di samping segala kejadian ajaib,” kata Roger.
Baca juga:
Majapahit dalam Kisah Panji
Cerita Panji di Candi Miri Gambar