Majapahit dalam Kisah Panji
Gudang data kebudayaan masa Majapahit. Menguraikan beragam aspek kehidupan masyarakat Jawa.
JIKA ingin membayangkan bagaimana suasana Jawa pada era surutnya pengaruh Hindu-Buddha, Kisah Panji bisa menjadi acuan. Ceritanya menggambarkan suasana budaya dan geografi lokal, tentang kerajaan yang pernah ada sekaligus sepak terjang para ksatria di Jawa.
Secara garis besar, Kisah Panji merupakan kumpulan cerita yang isinya seputar kepahlawan dan cinta Raden Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji atau Dewi Candra Kirana. Ceritanya punya banyak versi yang menyebar luas di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara.
Filolog dan pakar sastra Jawa Kuno, Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan berpendapat Kisah Panji berlatar belakang Kerajaan Kadiri. Sebagaimana disebutkan dalam Kakawin Smaradhahana, Raja Kadiri Kameswara punya permaisuri Sri Kiranaratu dari Janggala. Kameswara kemudian dikenal dengan Raden Inu Kertapati. Pun permaisurinya yang sama-sama bernama Kirana.
Namun, arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar berpendapat Kisah Panji justru lebih mengacu pada peristiwa di era Majapahit. Tepatnya sejak awal Majapahit, era Wijaya hingga masa cicitnya, Hayam Wuruk. Kisah Panji mulai digubah setelah masa kejayaan Majapahit hingga paruh pertama abad ke-15 M.
“Cerita Panji adalah gudang data kebudayaan yang berkembang di Jawa sezaman dengan penggubahan kisah itu,” kata Agus dalam seminar Festival Panji Internasional 2018 di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa sore (12/7).
Aspek budaya yang menurut Agus bisa ditengok dalam Kisah Panji misalnya soal birokrasi pemerintahan kerajaan. Dalam kerajaan, raja adalah penguasa tertinggi, memiliki istri utama yang disebut permaisuri, dan sejumlah selir yang juga tinggal di istana.
Raja mempunyai putra mahkota yang disebut yuwaraja yang kelak menggantikannya. Dalam Kisah Panji, dia adalah Raden Inu (Hino) Kertapati atau Raden Panji, putra mahkota Kerajaan Janggala. Dia punya pengiring bernama Kadeyan, yaitu para ksatria pengiring dan teman setia.
Pejabat lain adalah arja yaitu tangan kanan raja atau setara dengan patih; rangga, demang (kepala daerah yang statusnya lebih tinggi dari desa), dipati (adipati), tumenggung, dyaksa, manguri, akuwu, lurah (kepala pasukan), dan gulang-gilang (pengawal bersenjata); pangalasan (panggilan untuk ajudan); dan inya (pelayan perempuan yang sudah tua yang bertugas mengiringi putri raja)
“Disebutkan juga jenis jabatan yang belum dapat diketahui tugasnya secara pasti, seperti bupati gedong, mantri anom. Harus ada kajian lebih lanjut,” kata Agus.
Selain soal birokrasi pemerintahan, Kisah Panji juga memuat soal agama terutama Hindu-Siwa. Buddha hanya disebut sepintas khususnya dalam versi Panji Kuda Semirang yang menyebut bhiku dan Begawan Gotama.
“Kisah Panji itu secara garis besar berkisar soal kewiraan, seorang ksatria yang mahir berperang. Sementara Budhhisme kan mengajarkan ahimsa. Ini tidak sejalan,” kata Agus.
Kisah Panji juga menguraikan cukup lengkap soal kondisi istana, misalnya istana Jenggala, Panjalu, Gegelang, dan Bali.
Khususnya dalam versi Panji Angreni Palembang, Malat, Wangbang Wideya, dan Panji Kuda Narawangsa disebutkan adanya kedaton, puri, atau keraton sebagai tempat tinggal raja. Bangunan lain adalah paseban agung (bangunan tanpa dinding untuk berkumpul), siti inggil, kaputren, pendapa, pagelaran, tepas, bale kambang atau yasa kambang. Ada juga taman di istana bernama taman baginda.
Digambarkan pula istana dilindungi tembok keliling yang tinggi. Kompleksnya terdiri dari sejumlah halaman yang bersekat. Beberapa pintu gerbang istana disebut wijil pisan (pintu gerbang pertama), wijil kaping rwa atau kaping pindo (pintu gerbang kedua), wijil ping tri (pintu gerbang ketiga, yang terluar).
“Misalnya dalam Malat digambarkan pada wijil pisan, pintu gerbang pertama yang dekat dengan bangunan di mana raja tinggal, terdapat orang-orang Melayu dan Gegelang yang bermain gamelan,” kata Agus.
Pembagian halaman dalam istana ini juga disebut dalam kitab Nagarakrtagama. Halaman keraton Majapahit terbagi tiga, masing-masing ditandai pintu gerbang.
“Dinyatakan adanya pintu gerbang wijil ping tri, wijil ping kalih, wijil pisan dekat dengan tempat tinggal Rajasanagara (Hayam Wuruk, red.),” kata Agus.
Menurut Agus, berdasarkan Kisah Panji juga rekonstruksi perkotaan sezaman bisa dilakukan. Alun-alun menjadi pusatnya. Istana raja si selatan. Wilayah angker di sisi barat yang pada masa Islam biasanya menjadi lokasi masjid agung. Pasar (pken) di utara alun-alun. Puri untuk putra mahkota di utara pasar.
“Dalam masa perkembangan Islam, pola tata kota ini tetap berlanjut di sejumlah kota di Jawa,” kata Agus.
Kisah Panji pun kaya data militer. Hampir semua versi Kisah Panji menggambarkan peperangan. Karenanya penjabaran strategi perang banyak dijumpai di sini. Misalnya penataan pasukan bernama Garudda Wyuha. Bentuknya serupa burung garuda yang tengah mengembangkan sayap, kepala terjulur ke depan, dengan paruh siap mematuk.
“Dalam strategi tempur itu, para ksatria pemimpin pasukan berada di bagian paruh, dan sayap kanan kiri,” ujar Agus.
Dalam Malat dinyatakan Raden Panji membentuk pasukan tempur bernama Dwiradameta. Artinya, dua ekor gajah sedang birahi. Dalam bentuk ini, pemimpin pasukan ada di ujung belalai dan di ujung dua gading gajah. Sementara tentara membentuk badan gajah yang lebar.
Aspek kesenian juga banyak disebut dalam Kisah Panji seperti tentang permainan gamelan, seni tari, tembang, seni pahat relief, dan lukis.
Menarik pula soal penyebutan nama-nama tempat di Kisah Panji. Beberapa bahkan masih dikenal hingga sekarang. Misalnya, dalam Hikayat Panji Kuda Semirang, disebutkan soal Goa Selomangleng di dekat Kerajaan Daha (Kadiri).
Kini, di sebelah barat Kota Kediri masih terdapat tinggalan arkeologis yang disebut Goa Selomangleng. Goa buatan ini dikerjakan dengan cara melubangi bukit batu menjadi beberapa bilik.
“Ketika Kisah Panji digubah, goa sudah tidak berfungsi. Masyarakat tak tahu lagi fungsinya makanya dinyatakan saja sebagai tempat tinggal raksasa karena suasananya seram,” kata Agus.
Belum lagi soal penanda sosial yang banyak dijabarkan di dalam Kisah Panji. Pun tentang gambaran masyarakatnya. Kisah Panji jelas menuturkan bagaimana aktivitas masyarakat pada golongan istana, rakyat biasa, dan kaum agamawan.
“Aspek kebudayaan dalam cerita-cerita Panji belum banyak dilakukan. Saya ini hanya kulitnya,” kata Agus. Padahal, kajian data budaya dalam kisah ini akan bisa memperluas pemahaman sejarah budaya Jawa.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar