RAJA yang memerintah rakyat dengan adil sama dengan orang yang pergi haji ke Makkah sebanyak enam puluh kali. Raja yang adil juga akan beroleh ganjaran dari Tuhan sebesar orang yang salat seribu kali.
Begitulah Kitab Taj us-Salatin mengiming-imingi para sultan di masa lalu agar menjadi pemimpin yang baik. Dari 24 bab, sembilan bab berisi pedoman menjadi raja.
Sejarawan Danys Lombard menjelaskan Taj us-Salatin berarti Mahkota Raja-Raja. Penulisnya menyebut diri Bokhari ul-Jauhari. Namanya bisa diterjemahkan menjadi "Bokhari si pandai emas" atau "Bokhari yang berasal dari Johor."
“Dibuat pada 1012 H (1603/4 M), Taj al-Salatin merupakan sebuah persembahan bagi raja Sultan Alaudin Riayat Syah,” tulis Lombard dalam Kerajaan Aceh.
Kitab itu memandang kekuasaan politik merupakan bagian tak terlepasakan dari agama. Terutama berkaitan dengan tugas pemimpin sebagai pengatur masyarakat. Bahkan disejajarkan dengan tugas kenabian, yaitu membimbing manusia ke jalan yang benar. Syaratnya sungguh tak mudah.
"Kedua tugas ini harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan sebagai 'dua permata dalam satu cincin'," kata Jajat Burhanudin, dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah.
Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menerangkan bahwa Taj us-Salatin memuat kriteria para raja. Mereka harus memiliki kualifikasi untuk menjalankan tugas-tugas politik maupun tugas kenabian.
Adil dan Ihsan
Yang termasuk dalam kualifikasi itu kalau sang raja mampu bersikap adil. Dijelaskan dalam kitab itu, adil berasal dari bahasa Arab, adl yang bermakna jujur. Ini merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama, di mana kebenaran muncul, baik dalam ucapan maupun tindakan raja.
Sifat itu kemudian harus datang bersama ihsan (kebaikan). “Adil didefinisikan sebagai hal terbaik bagi para raja, sehingga raja yang tidak memiliki kedua kondisi ini (adil dan ihsan) tidak dapat diakui sebagai raja yang sejati,” jelas Jajat.
Taj us-Salatin kemudian juga mengklasifikasi konsep adil ke dalam beberapa kualitas yang harus dimiliki raja. Raja adil, kata teks itu, adalah yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama. Ia juga harus memperhatikan kondisi sosial rakyatnya. Pun senantiasa menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan.
Raja adil juga harus melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan. Ia pun dituntut untuk mirip seperti para nabi dan wali dalam tugasnya.
“Raja juga harus mengetahui rakyatnya berdasarkan rasio (akal budi), sehingga mampu membedakan antara baik dan buruk, antara kebahagiaan dan bahaya, dan antara adil dan yang tidak adil," lanjutnya.
Ditekankan pula dalam karya itu, raja setidaknya mengetahui ilmu kirafat dan firasat. Dengan ilmu itu, raja akan mampu memahami secara tepat karakter dasar manusia. Khususnya bagi orang-orang yang bakal diangkat sebagai pejabat resmi istana.
Menurut Jajat begitu pentingnya konsep adil tidak hanya menjadi rumusan raja ideal. Konsep adil juga menunjukkan keberadaan kerajaan dan sumber stabilitas sosial kerajaan.
“Adil diletakkan dalam arah yang berlawanan dengan zalim atau situasi tirani,” jelasnya.
Maksudnya, jika konsep adil dijadikan sebagai kriteria raja yang ideal, zalim merupakan kriteria bagi raja yang tak adil. Adapun konsep adil merupakan jaminan bagi keberadaan kerajaan yang stabil. Sementara zalim menjadi faktor utama bagi kekacauan dan kehancuran.
Witjaksana
Meski dikaitkan dengan istilah Arab, kata Jajat, konsep ini sesuai dengan budaya politik Nusantara. Meski dengan istilah berbeda, spirit adil dapat ditemukan dalam tradisi Jawa: witjaksana atau kaw
“Seperti adil, pengertian witjaksana juga menunjukkan kesempurnaan dalam diri seorang raja yang memerintah kerajaan,” katanya.
Konsep witjaksana telah mapan di Nusantara pada abad ke-17 dan 18. Ia didefiniskan sebagai suatu kapasitas yang sangat dihormati dan langka. Itu tak hanya menganugerahi pemiliknya dengan tingkat pengetahuan yang sangat luas. Namun, juga kesadaran yang mendalam terhadap realitas dan kepekaan terhadap keadilan.
Seperti juga adil, witjaksana adalah konsep politik Jawa untuk menunjukkan raja ideal yang memiliki kemampuan menimbang untung-rugi dalam suatu keputusan yang rumit. Bukan cuma itu, konsep ini juga berarti kepekaan yang tajam dalam membuat keputusan untuk mengendalikan situasi, khususnya dalam menjaga tata-kosmik.
Taj us-Salatin juga menjadikan ajaran sufi untuk merumuskan nasihat moral bagi para raja. Teks itu meminta raja dan para pejabatnya agar selalu mengingat kiamat kehidupan di mana martabat dan kemakmuran yang mereka miliki akan lenyap.
Lombard menduga karya itu kemungkinan besar sangat terkenal di Nusantara. Naskahnya ditemukan dalam jumlah besar. Apalagi pada abad 19 adaptasi naskahnya dibaca pula di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Tak hanya itu, pada masa Thomas Stamford Raffles menduduki Singapura, sultan di sana memerintah dengan mengacu pada Taj us-Salatin.
Sekretaris Raffles, Abdullah Munsyi, juga menggunakannya ketika akan mengetahui watak sang letnan gubernur Inggris itu. Munsyi melakukannya dengan berpanduan pada asas ilmu firasat yang ditemukannya di Taj us-Salatin.
"Taj us-Salatin adalah suatu teks tentang cermin bagi para raja di Nusantara. Rumusan nasihat moral bagi sikap politik raja menjadi substansi utama teks itu,” ujar Jajat.
Baca juga: