Pertengahan Maret 2016. Suara riang para bocah terdengar di Petirtaan Watugede di Desa Watugede, Singosari, Kabupaten Malang. Dengan menggunakan ban dalam bekas berukuran besar, mereka berenang kian kemari di kolam yang dipercaya penduduk sebagai tempat Ken Dedes kerap membersihkan diri pada masa dahulu.
Mata air Watugede merupakan cagar budaya peninggalan raja-raja Singosari dan Majapahit. Kendati sudah berusia ratusan tahun, namun airnya tetap memancar dan menghidupi warga desa sekitarnya hingga sekarang. Ini juga membuktikan bahwa jauh sebelum tanggal 22 Maret ditetapkan sebagai hari air sedunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun 1992, leluhur di Nusantara telah menempatkan air sebagai zat yang sakral.
Pemandian Ibu Para Raja
Meskipun terletak tak jauh dari Pasar Singosari yang hiruk pikuk, namun di mata air Watugede suasana justru terasa tenang dan sejuk. Terlebih areal cagar budaya seluas 300 meter persegi itu dipenuhi aneka bunga dan dikepung rindangnya pohon-pohon elo seolah mewadahi air yang berkilau ketika ditempa sinar matahari.
Para sesepuh meyakini jika Ken Dedes sering meluangkan waktu untuk sekadar membersihkan tubuhnya di mata air Watugede. Konon saat mandi inilah tubuhnya memancarkan sinar biru, pertanda ia merupakan nareswari, yakni perempuan terpilih yang melahirkan keturunan para raja. “Dalam Pararaton tempat ini disebut sebagai taman Bubuji, tempat Ken Dedes dan calon putri lain mandi,” kata Agus Irianto, berusia 57, juru pemelihara Pemandian Watugede.
Sampai saat ini, mata air itu masih menyisakan jejak penghuninya di masa lalu. Batu asah dengan goresan kasar berukuran besar tergolek di salah satu sudut pemandian. Agus menyebut batu itu digunakan prajurit di masa Kerajaan Singosari untuk mengasah pedang. Itu dilakukan sebagai persiapan buat memotong leher siapa pun yang tertangkap basah mengintip para putri keraton yang sedang mandi di dalam kolam.
Baca juga: Agama-Agama di Majapahit
Enambelas jaladwara berbentuk patung perempuan berderet di tepian kolam. Pancaran air keluar dari berbagai bagian tubuh, tak pernah surut sepanjang tahun. Namun pemandangan itu hanya ada di catatan sejarah pemandian Watugede. Kini, hanya tersisa satu jaladwara saja yang masih berada di tempatnya. Berupa arca Dewi Durga tanpa kepala berdiri di atas dua kepala kera yang mengeluarkan air dari mulutnya.
Menurut Agus, pada 1931 saat pemerintah Hindia Belanda pertama kali menemukan tempat ini, ada 16 jaladwara. Namun, setelah ditangani oleh pemerintah Indonesia, hanya empat arca jaladwara saja yang tersisa. "Tiga arca yang dua di antaranya memancarkan air dari payudara dan pusar, kini tersimpan di Museum Trowulan, Mojokerto," kata Agus.
Kini, kolam indah itu tak lagi terbatas untuk para putri raja dan bangsawan. Segarnya mata air yang bermuara dari Gunung Arjuna bisa dinikmati semua kalangan penduduk. Seperti riangnya bocah-bocah yang mandi bersama di Minggu siang itu. Berkejaran dengan ikan kecil di dalam kolam dengan lantai batu nan berpasir.
Jejak di Polaman
Tak jauh di utara Watugede, terdapat sumber Polaman. Lewat teks Pararaton dan kidung Harsyawijaya, cagar budaya itu dipercaya sebagai tempat pembuangan Raja Kediri bernama Jayakatwang. Di sini pun dipercaya merupakan tempat mencari inspirasi bagi Jayakatwang saat menyelesaikan satu karya sastra berjudul Wukir Polaman. Sejarah mencatat nasib Jayakatwang sendiri berakhir mengenaskan di tangan Raden Wijaya. Usai kejatuhannya maka berdirilah Kerajaan Majapahit.
Warga setempat meyakini nama Polaman berasal dari kata pa-ulam-an (ulam bermakna ikan). Dan memang berbagai jenis ikan terlihat berenang kian kemari di empat kolam dalam pemandian tersebut. Namun ada satu jenis ikan yang dianggap keramat oleh warga setempat yakni ikan wader. “Jangan sampai membunuh ikan ini,” kata Aziz, berusia 56, juru pelihara situs cagar budaya yang terletak di Dusun Polaman tersebut.
Baca juga: Asal Usul Raden Wijaya
Ikan Wader dipercaya muncul dari dalam tanah, mengikuti aliran air langsung dari sumbernya. Aziz menegaskan banyak kejadian buruk setelah seseorang mencelakai ikan wader itu, Mitos itu tetap terjaga seiring dengan sumber yang tak pernah kering. Pengunjung yang tak berniat buruk pun tetap mandi dengan bebas bersama berbagai ikan di pemandian Polaman yang rindang.
Di bagian paling belakang, terdapat tandon air tertutup yang dibangun pada 1900 oleh pemerintah Hindia Belanda. Sejak itu, air Polaman sudah digunakan untuk keperluan hidup penduduk lain di luar Dusun Polaman. “Dulu Belanda sudah memanfaatkan air ini, kemudian sekarang PDAM Kabupaten Malang mengelola airnya. Ini dipakai melayani kebutuhan air sebagian besar warga Kecamatan Lawang,” kata Aziz yang juga sempat bekerja di PDAM Kabupaten Malang.
Persinggahan Prabu Hayam Wuruk
Air yang melimpah ruah menjadi berkah di wilayah Malang bagian utara. Meskipun berada di dataran yang cukup tinggi, namun penduduknya tak pernah kesulitan mencari air. Tak jauh dari Polaman, terdapat mata air yang sempat disinggahi raja Majapahit yang tersohor: Prabu Hayam Wuruk. Dalam perjalanan yang diberi kode sebagai Tirta Yatra dalam kitab Negarakartagama tersebut, dikisahkan Hayam Wuruk singgah di tiga mata air yang dianggap suci, untuk membersihkan dirinya. Antara lain Kasuranggan atau Sumberawan, Kdung Biru dan Bureng atau Wendit. Tiga tempat itu hingga kini masih memancarkan air, membagikan kehidupan pada penduduk sekitar.
“Ini baru saja ditambah paralon, untuk memenuhi kebutuhan air di sekolah dan pondok pesantren baru,” kata Kusaeri, berusia 46, warga Dusun Mbiru.
Siang itu, Kusaeri sedang bergotong royong memasang pipa paralon bersama sejumlah masyarakat setempat. Mereka memasang pipa paralon diantara semburan air sumber nagan, satu mata air yang ada di sekitar Kdung Biru. Ada banyak pipa paralon lain yang sudah terpasang dan terlihat berusia tua. Namun mata air itu tak pernah kehabisan air untuk dibagikan.
“Sudah puluhan tahun mengambil air di sini, Airnya terus mengalir, hanya di akhir tahun biasanya debitnya sedikit berkurang,” katanya. ‘
Baca juga: Perjalanan Ziarah Raja Majapahit Hayam Wuruk
Dalam kitab Negarakartagama dikisahkan Hayam Wuruk sempat menghabiskan waktu sepekan di Malang ketika melakukan perjalanan di wilayah tapal kuda di abad ke 13. Selama itu pula, sang raja agung Majapahit itu menjelajah mata air dan berbagai candi peninggalan leluhurnya. Jejak perjalanan itu bisa dijumpai di Kdung Biru, lewat kolam yang berlantai batu bata berukuran besar khas Majapahit. Meskipun sebagian besar bangunan adalah buatan baru.
Kucuran air menyembur keluar dari sejumlah paralon yang tertancap di salah satusisi dinding batuan. Di masa lalu, paralon tersebut adalah jaladwara yang bebentuk naga. “Itulah sebabnya mata air ini disebut Sumber Nagan,” ujar Dwi Cahyo, berusia 54, arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UNM).
Selain Kdung Biru, Hayam Wuruk juga berkunjung ke Sumberawan di Desa Toyomarto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang. Saat itu, Sumberawan terkenal dengan nama Taman Kasuranggan, taman bunga yang indah dikelilingi air yang mengalir langsung dari mata airnya. Keindahan Kasuranggan membuat Hayam Wuruk memutuskan untuk membangun stupa, di tempat tersebut pada 1359. Sebagai tempat ibadah agama Buddha, Kasuranggan pun kemudian dikenal dengan nama Candi Sumberawan.
“Sumberawan itu asalnya sumber dan rawa, air yang berlimpah,” kata Nuryadi,berusia 56, juru pelihara Candi Sumberawan.
Mata air yang melimpah sejak di era Singosari dan berlanjut di era Majapahit hingga kini masih memancar. Ada 26 pipa milik PDAM Kabupaten Malang yang menjual air Sumberawan kepada pelanggannya. Di sekitar stupa sumberawan terdapat dua sumber air yang terpisah letaknya. Sumber di sebelah Timur stupa dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan aura diri sementara di sebelah Barat dipercaya berkhasiat untuk kesehatan. “Sebenarnya itu karena sifat air sendiri sebagai sumber kehidupan. Tanpa air tak akan ada kehidupan,” kata Nuryadi.
Baca juga: Misi Diplomatik Hayam Wuruk ke Wilayah yang Memberontak
Stupa Sumberawan dikelilingi sungai dan air, tak ubahnya seperti pulau kecil. Sumberawan dipercaya berfungsi menyucikan air dan mengalirkan air yang suci. Sayangnya bagian puncak stupa tak utuh lagi, terkumpul dan disusun di tanah. Satu stupa berukuran tinggi 5,3 meter dengan lebar 6,25 meter dan panjang sekitar 8 meter kini berdiri di tengah lahan seluas 50x50 meter itu. Stupa itu hingga saat ini menjadi kiblat bagi umat Buddha ketika merayakan Waisak.
Minggu siang itu, empat penari (dua pemuda dan dua pemudi) menari di dalam kolam Polaman. Sebelumnya, mereka membawa air dari lima mata air di lereng Timur Gunung Arjuna, yaitu Watugede, Kdung Biru, Sumbernagan, Sumberawan dan Polaman. Sambil menarikan tari kontemporer berjudul Matirtan, seniman itu meleburkan lima air dari mata air berbeda di satu kuali tembaga yang sama. Satu persatu tubuh mereka dibasuh air lima mata air dan mandi ke dalam kolam Polaman. Penari wanita mengenakan selendang dan kebaya putih, penari pria menari sambil bergantian memainkan seruling bambu sebagai musiknya.
“Ini bentuk apresiasi kami bahwa air adalah sumber kehidupan dan harus dijaga kelestariannya. Jangan tebang pohon untuk sumber air kehidupan,” kata Bayu Kriswantoro, penari Matirtan