NYAWA Raja Jayanagara terancam. Raja kedua Majapahit itu diuber komplotan Kuti yang ingin menumbangkan pemerintahannya. Sampai-sampai sang raja menjauh dari istananya.
Jayanagara mungkin bukanlah raja favorit rakyat Majapahit. Pararaton menyebut pemberontakan terhadapnya akibat hasutan Mahapati yang berambisi menjadi patih amangkubhumi. Dia menebar fitnah dan mengadu domba para pembesar Majapahit hingga saling bermusuhan.
Namun, Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama mengatakan alasan pemberontakan karena tidak puas dengan penobatan Jayanagara.
Jayanagara naik takhta menggantikan ayahnya, Wijaya, pada 1309 M. Rakyat atau pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton menjulukinya Kala Gemet. Dalam Menuju Puncak Kemegahan, Slamet Muljana menjelaskan kata kala berarti penjahat yang mengandung arti antipati rakyat atau para pengarang terhadap Jayanagara.
“Antipati itu mungkin disebabkan kelakuan tak senonohnya terhadap dua putri keturunan Gayatri dan Tribhuwana,” tulisnya.
Sementara kata Gemet adalah bentuk yang berubah dari kata genet dan gamut yang artinya lemah. Pararaton menyebut Jayanagara banyak menderita sakit.
“Demikianlah Kala Gemet adalah nama paraben yang mengandung arti ‘penjahat yang lemah’,” lanjut Slamet.
Pemberontakan Semi dan Kuti pada 1240 saka (1318 M) dan 1241 saka (1319 M) mungkin wujud dari antipati itu. Padahal, Semi dan Kuti bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa. Pararaton memberitakan, maksud dharmaputra ialah pangalasan wineh suka atau pegawai yang diistimewakan. Selain mereka berdua, ada Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak.
Soal Semi, namanya bahkan disebut dalam daftar pembesar masa pemerintahan Kertarajasa. Dia bergelar rakryan Semi.
Semi mulai menunjukkan rasa tak suka pada Jayanagara sejak peristiwa Nambi pada 1316 M. Menurut Kidung Sorandaka, ketika itu Semi memihak Nambi. Setelah Nambi binasa, Semi berhasil lolos dan bergabung dengan Kuti.
Menurut Slamet Muljana komplotan Kuti merencanakan pemberontakan ketika Jayanagara sedang menumpas pemberontakan Nambi dan Wiraraja. Kuti menjadi kepala komplotannya.
Sepulang memberantas Nambi dari Lumajang, Jayanagara segera menghadapi Kuti yang memaksanya mengungsi ke Desa Badander.
Kemunculan Perdana Gajah Mada
Dalam peristiwa Kuti, nama Gajah Mada mulai disebut-sebut dalam Pararaton. Perannya sebagai kepala pasukan bhayangkara yang tengah bertugas. Dia dicatat sebagai orang yang cukup berperan dan terampil mengatasi masalah. Dalam pemberontakan sebelumnya, nama Gajah Mada belum muncul.
Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada, Biografi Politik berpendapat, mungkin saja sebelum huru-hara Kuti, Gajah Mada sudah menjadi anggota bhayangkara di kedaton Majapahit. Keadaan seperti itu kemudian dianggap biasa saja oleh penyusun Pararaton.
“Karena itu tidak ada penyebutan peranan Gajah Mada sebelum pemberontakan Kuti,” jelasnya.
Pararaton mengisahkan, ketika penduduk Majapahit terlelap, Gajah Mada memimpin 15 orang bhayangkara yang tengah berjaga mengawal raja ke Desa Badander.
Cukup lama raja mengungsi di Badander. Suatu hari, seorang abdi pengalasan minta izin pulang. Gajah Mada tak mengizinkannya, namun dia tetap memaksa. Gajah Mada pun menusuknya dengan keris.
Agus mengatakan, maksud tindakan Gajah Mada jelas. Pengungsian raja ke rumah kepala Desa Badander tidak boleh ada yang tahu. Dia khawatir jika tempat pengungsian raja sampai bocor, Kuti akan memerintahkan pasukannya mengejar dan membunuh raja.
“Sangat mungkin Gajah Mada masih teringat peristiwa terbunuhnya Ken Angrok, moyang Raja Jayanagara, pendiri dinasti Rajasa yang mati ditusuk keris juga oleh seorang pengalasan, ketika sedang makan malam,” jelas Agus.
Selanjutnya Pararaton menceritakan setelah lima hari di Badander, Gajah Mada mohon diri untuk melihat keadaan Majapahit. Para amancanagara (pejabat tinggi kerajaan) menanyakan tempat pengungsian raja. Gajah Mada menjawab raja telah meninggal dibunuh pasukan Kuti. Para pejabat pun menangis.
“Diamlah, tidakkah tuan-tuan sekalian menghendaki Ra Kuti sebagai raja?” tanya Gajah Mada.
Mereka menjawab Kuti bukanlah raja yang mereka sembah. Gajah Mada pun yakin Kuti tak dapat dukungan dari pejabat dan rakyat Majapahit. Dia memberitahu bahwa raja ada di Badander. Gajah Mada lalu meminta bantuan para menteri untuk bersama-sama melenyapkan Kuti.
Sayang sekali Pararaton tak menjelaskan bagaimana Kuti tewas. Yang pasti, pemberontakan Kuti dapat dipadamkan berkat siasat Gajah Mada. Majapahit pun kembali tenang. Jayanagara bisa kembali ke keratonnya.
“Kerjasama antara Gajah Mada dan para pembesar serta warga kota itu berhasil menumpas Kuti beserta pengikutnya,” tulis Slamet Muljana.
Atas jasannya, Gajah Mada diberi cuti selama dua bulan. Dia naik pangkat menjadi patih di Kahuripan.
Pemberontakan Semi dan Kuti tak diabadikan dalam Nagarakrtagama. Adapun penetapan tahunnya, berdasarkan pemberitaan kalau pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang terjadi kemudian, berjarak sembilan tahun.
“Peristiwa Tanca mengakibatkan wafatnya Raja Jayanagara. Baik Pararaton maupun Nagarakrtagama mencatat kematian Jayanagara pada 1250 saka (1328 M),” jelas Slamet.
Baca juga: Benarkah Gajah Mada Dalang Pembunuhan Raja Jayanagara?