SAKING tak sabarannya, hari itu, 7 Juni 1950, Perdana Menteri (PM) India Pandit Jawaharlal Nehru mendekat ke pagar pembatas dek kapal penjelajah ringan INS Delhi (C74) yang membawanya ke Jakarta. Ia melambaikan tangan kepada ribuan penyambutnya begitu kapalnya bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok.
Narator dalam bahasa Inggris menerangkan bahwa PM Nehru datang ke Jakarta untuk memenuhi undangan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Sukarno dan Wakil Presiden cm PM Mohammad Hatta. Saat turun dari kapal, Nehru langsung disambut Gubernur Militer Jakarta Kolonel Daan Jahja.
Dalam anjangsananya selama 10 hari, PM Nehru melakoni segudang agenda. Selama di Jakarta saja ia menjalani agenda penyambutan Presiden Sukarno di Istana Negara dan Ketua DPR Mr. RM Sartono di Pejambon, tur keliling kota Jakarta ditemani Presiden Sukarno, mengunjungi Museum Jakarta (kini Museum Nasional), hingga gala dinner yang turut diramaikan kalangan pejabat diplomatik negara-negara asing di Istana Negara.
Baca juga: Tamu Pertama dari India
Lantas di Bogor, PM Nehru diajak Sukarno menyambangi Kebun Raya Bogor, dilanjut perjalanan darat ke Bandung. Di “Kota Kembang”, Nehru kembali berpidato di hadapan masyarakat Indonesia di Lapangan Tegallega, lalu menyesapi keindahan alam di Kawah Papandayan dan Kawah Ratu di Gunung Tangkuban Perahu.
Sedangkan saat agenda melancong ke Yogyakarta, Nehru ditemani Sukano melipir ke Candi Borobudur, kemudian Candi Prambanan yang kebetulan sedang dalam tahap renovasi. Nehru juga menyempatkan diri mampir ke Surabaya untuk menyapa sejumlah diaspora India di “Kota Pahlawan” tersebut.
Saat mengakhiri agenda di Bali, Nehru diajak Sukarno untuk menyaksikan keanekaragaman budaya Indonesia dalam sebuah festival di Tabanan, Singaraja, dan Kintamani. Tak lupa Nehru juga melawat ke Museum Bali dan menikmati keindahan Gunung Batur.
Begitulah penggambaran singkat agenda kunjungan resmi pertama PM Nehru ke Indonesia yang terekam dalam film dokumenter Pandit Nehru Visits Indonesia (1950) produksi PFN (Produksi Film Negara). Sebuah arsip audio visual dari salah satu momen bersejarah hubungan erat Indonesia-India itu sudah lama “hilang”.
Baca juga: Ketika Hatta dan Pengusaha India Kerjai PM Nehru
Dokumenter itu selama empat dasawarsa terakhir tersimpan di National Film and Sound Archives (NFSA) Australia. Kini menjelang 74 tahun momen pengakuan Australia terhadap kemerdekaan Indonesia, pemerintahnya melalui Kedutaan Besar (Kedubes) Australia untuk RI menghadiahkan salinan digitalnya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Film ini satu-satunya produksi PFN tapi keberadaannya kebetulan di Australia dan sekarang dikembalikan secara digital ke ANRI. Di Indonesia (dokumentasi kunjungan Nehru) ada tapi hanya foto-foto saja. Dan (film) ini penting untuk melengkapi dokumentasi hubungan Indonesia-India yang luar biasa erat pada saat itu karena India salah satu pendukung (pengakuan) kemerdekaan Indonesia,” terang Plt. Kepala ANRI Imam Gunarto dalam upacara serah terima salinan digitalnya di ANRI, Jakarta, Selasa (5/12/2023).
Dalam peresmian itu, hadir Wakil Dubes India untuk Indonesia Basir Ahmad. Sementara, Dubes Australia Penny Williams melakukan penyerahannya secara langsung dalam momen bersejarah itu. Ini merupakan pertukaran arsip audio visual pertama sejak nota kesepahaman tentang pertukaran salinan arsip Indonesia dengan Australia ditandatangani pada 2014.
“Menjadi momen bersejarah karena ini juga kali pertama kedutaan asing di Indonesia menyerahkan arsip ke ANRI, khususnya arsip audio visual dalam format digital. Ini suatu kebanggaan, kehormatan, dan hadiah yang luar biasa dari pemerintah dan Kedutaan Australia. Koleksi ini tidak akan sekadar jadi sumber pengetahuan tapi juga berbagi warisan dokumentasi antara Indonesia dan India,” tambah Imam.
Baca juga: Nehru: Republik Indonesia Harus Diakui
Hal senada juga diungkapkan Dubes Williams. Dokumenter ini mengandung aspek perayaan eratnya hubungan diplomatik, tak hanya Indonesia dan India tapi juga Australia yang jadi salah satu negara paling awal yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Jadi ini luar biasanya bisa melihat tiga negara secara bersama-sama dalam hal penyerahan film berbentuk digital ini dan saya berharap masyarakat Indonesia dan India bisa saling berbagi sejarahnya bersama,” timpal Dubes Williams.
Di Balik Dokumenter Pandit Nehru Visits Indonesia
Seejak 1983, dokumenter Pandit Nehru Visits Indonesia keluaran PFN itu tersimpan di lembaga arsip film Negeri Kanguru. Satu dekade berikutnya baru ditemukan kembali oleh Dr. David Hanan, pakar studi Asia University of Melbourne, saat ia melakukan penelusuran di NFSA dalam rangka riset untuk Conference on the Representation of Asia in Documentary Films.
Tapi saat itu (1993) ia belum menyadari bahwa Indonesia tidak punya salinan film itu. Baru belakangan ini Hanan insyaf bahwa Indonesia belum punya salinannya dan langsung mengontak Kedubes Australia untuk RI.
“Beberapa dekade kemudian David memberitahu kedutaan. Lalu kami sangat senang bisa bekerjasama dengan pihak arsip (NFSA) dan David untuk mendigitalisasinya. Apresiasi kami untuk David atas pekerjaanya dalam melestarikan, tidak hanya material filmnya tapi juga hubungan baik antara Australia dan Indonesia,” sambung Dubes Williams.
Baca juga: Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi
Tidak hanya berperan dalam proses digitalisasinya, Hanan juga turut mendalami riset asal-usulnya untuk menjawab: kenapa film keluaran PFN asal Indonesia itu bisa berakhir di lembaga arsip filmnya Australia?
“Jadi salah satu juru kamera filmnya, Mick von Bornemann, adalah orang Belanda yang lahir dan besar di Indonesia. Dia bekerja dengan beberapa juru kamera lain pada (kunjungan Nehru) Juni 1950 itu selama 10 hari tetapi beberapa tahun kemudian sepertinya dia memutuskan pindah ke Australia,” cetus Hanan.
Sayangnya Hanan belum menemukan detail lebih dalam tentang sosok Bornemann. Baik biografi singkatnya maupun alasan Bornemann hijrah ke Australia –apakah karena alasan pribadi atau akibat terdampak gelombang sentimen anti-Belanda yang menyeruak dari paruh kedua 1950-an hingga 1960-an akibat nasionalisasi perusahaan Belanda dan upaya Pembebasan Irian Barat– semua belum diketahui pasti.
“Dia pindah ke Australia dengan membawa cetakan 16 milimeter (mm) film itu. Alasan dia membawanya adalah agar dia bisa kasih bukti tentang skill dia sebagai juru kamera kepada orang-orang yang mungkin akan mempekerjakan dia di Australia,” tambahnya.
Baca juga: Menengok Arsip-Arsip Pergerakan Kiri Indonesia di Belanda
Setelah akhirnya bisa berkarier di perfilman Australia, Bornemann menyimpan cetakan 16mm film itu di kediamannya selama tiga dekade. Baru setelah NFSA didirikan, Bornemann menitipkannya.
“Sebelumnya semua arsip Australia masuknya dalam (National) Library of Australia yang utamanya menyimpan buku dan dokumen. Baru pada 1983 (14 April 1984, red.) NFSA didirikan dan beberapa bulan setelah itu, juru kamera Belanda itu menitipkan cetakan 16 mm filmnya karena dia paham betapa pentingnya untuk dirawat dan dilestarikan,” lanjut Hanan.
Ada beberapa poin penting yang dipetik Hanan dari film itu. Pertama, soal perayaan eratnya hubungan Indonesia dan India. Nehru datang atas undangan Presiden Sukarno dan PM Hatta sebagai “balas jasa” kepada Nehru yang tidak hanya ikut memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tapi juga jadi tuan rumah Konferensi Hubungan Asia pada 23 Maret-2 April 1947.
“India sangat terlibat dalam usaha dan pergerakan (pengakuan) kemerdekaan Indonesia, tak lama setelah Nehru menjadi PM setelah diberikan kemerdekaan oleh Inggris. Nehru mengangkat isu Indonesia di PBB dan Asian Relations Conference untuk mendapatkan perhatian besar dunai internasional setelah Belanda melancarkan Agresi Militer I (21 Juli 1947),” terangnya.
Baca juga:
Kedua, terdokumentasinya kehadiran beberapa sosok keluarga Nehru yang turut dalam kunjungannya ke Indonesia. Di antaranya putrinya, Indira Gandhi, serta kedua cucunya, Rajiv dan Sanjay Gandhi kecil.
“Jadi Nehru datang bersama putrinya dan kedua anak (Indira). Indira Gandhi kita tahu ia PM India 1966-1977 dan kemudian 1980-1984. Ini sebenarnya keluarga dengan figur-figur ternama yang sejarahnya tragis. Pada 1994 Indira dibunuh dan sebelumnya pada 1991 Rajiv yang pernah menjabat PM (1984-1989) juga dibunuh,” tandas Hanan.