Masuk Daftar
My Getplus

Sejarahnya Campursari Bikin Ambyar Emosi

Genre musik campursari berkembang sejak 1955. Dahulu kondang nama seniman campursari, seperti Andjar Any dan Manthous. Sementara di masa kini, ada nama Didi Kempot.

Oleh: Aryono | 05 Mei 2020
Konser campursari Didi Kempot pada Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan. (Fernando Randy/Historia).

KABAR duka kembali datang dari dunia seni tanah air. Dionisius Prasetyo atau yang dikenal dengan nama Didi Kempot, meninggal dunia pagi tadi (05/05) di rumah sakit Kasih Ibu, Solo. Penyanyi yang baru-baru ini dijuluki Godfather of Brokenheart ini sudah berkecimpung di dunia seni sejak tahun 1984, sebagai pengamen jalanan. Dari situ, anak seniman lawak Ranto Edi Gudel ini mulai merangkak ke panggung seni dan masuk dapur rekaman, bahkan moncer hingga Suriname.

Rupanya, Didi tak lupa bahwa ia berangkat dari ‘bawah’ sebagai pengamen. Dahulu, ia disepelekan, namun kini banyak undangan manggung yang antri. Hal ini ia cuitkan di akun Twitter @didikempotid pada 21 April lalu: “Sing mbiyen dianggep sepele, saiki malah angel golekane. Contone..”. Artinya kurang lebih “yang dahulu dipandang tak ada artinya, kini ternyata sulit dicari penggantinya. Contohnya..”. Inilah cuitan terakhir Bapak Loro Ati Nasional.

Baca juga: Didi Kempot, Makin Tua Makin Ambyar

Advertising
Advertising

Sejak awal menyanyi, Didi Kempot konsisten mendendangkan lagu-lagu genre campursari. Bagi seniman seperti Didi, genre ini sudah tidak asing lagi. Buat orang yang dibesarkan di salah satu jantung budaya Jawa, yaitu Solo, genre lagu campursari ini sudah mengakar lama hampir setua usia republik ini.

Berkat RRI

Pada 1970-an, di kota seperti Semarang, mendengarkan siaran radio adalah hiburan paling mewah. Pilihan salurannya pun belum seramai sekarang, karena radio swasta belum lahir. Pilihannya antara mendengarkan siaran RRI (Radio Republik Indonesia) atau -jika beruntung- bisa mendapat siaran radio luar negeri.

RRI saat itu menyiarkan banyak genre lagu. Mulai dari lagu Barat, lagu Pop Indonesia, orkes melayu, lagu tradisional Jawa, dan salah satunya adalah campursari.

“Ketika saya kecil, saya sering mendengarkan campursari RRI Semarang, dan lagu yang terkenal saat itu berjudul Kembang Kacang,” ujar Dhanang Respati Puguh, Kepala Departemen Sejarah FIB Undip, kepada Historia. Lagu Kembang Kacang sendiri saat itu dipopulerkan oleh Waldjinah, kampiun Bintang Radio untuk keroncong tahun 1965.

Baca juga: Gelombang Sejarah Radio

Rahayu Supanggah dalam artikel berjudul Campur Sari: A Reflection yang termuat di jurnal Asian Music, Vol 34, No 2, tahun 2003, mencatat bahwa musik campursari pertama diciptakan oleh musisi di stasiun radio pemerintah, Radio Republik Indonesia (RRI), dan organisasi URIL atau TJABAD (Tjabang Adjutant Djendral) di lingkaran tentara Indonesia. Kedua lembaga ini mendukung kelahiran campursari karena mereka memiliki karawitan dan kelompok musik lain (termasuk orkestra keroncong) dengan musisi terbaik saat itu. URIL adalah akronim dari Unit Moril yaitu lembaga di dalam dinas tentara yang bertugas menghibur pasukan komando.

“Setahu saya, penggagasnya adalah Sindusawarno melalui Uril. Lalu Kelly Puspito termasuk di dalamnya. Kelly kan pernah menjadi pegawai Uril,” ujar putra dalang kondang almarhum Ki Narto Sabdo ini. Ki Sindusawarno adalah salah satu maestro dalam seni karawitan Jawa, sedangkan Kelly Puspito adalah komponis keroncong asal Semarang.

Menyerempet Keroncong

Campursari muncul karena kreatifitas seniman musik Jawa pada dekade 1950an. Andjar Any dari Surakarta menemukan apa yang disebut sebagai langgam Jawa (gaya Jawa dalam musik). Munculnya langgam Jawa berasal dari gending Jawa (komposisi musik untuk gamelan Jawa) yang diiringi oleh alat-alat musik keroncong.

“Langgam Jawa adalah genre musik yang berasal dari keroncong murni dengan irama Jawa. Ritme Jawa yang dikhususkan untuk pelog (skala orkestra gamelan tujuh nada di Jawa) kemudian dikembangkan menjadi slendro (sistem tuning lima nada orkestra gamelan Jawa),” tulis Linda Sunarti dan Wiwin Triwinarti dalam artikel ‘The Dynamics of Keroncong Music in Indonesia, 1940’s – 2000’s’ yang tersua di jurnal Tawarikh, edisi Oktober 2013.

Memang, tulis Gus Joman dalam Campursari-Catatan Pinggir, tak mudah mengaransemen musik campursari karena perbedaan instrumentasi akustik dengan elektrofon dan tangga nada yag berbeda antara gamelan Jawa dan musik Barat.

Pada tahun 1955, lagu-lagu langgam Jawa menjadi populer. Empat tahun berselang ada kompetisi menyanyikan lagu Kembang Kacang dan menempatkan penyanyi kroncong Waldjinah sebagai sebagai ratu Kembang Kacang. Awal 1960-an, irama langgam Jawa menjadi populer. Beberapa komponis turut meramaikan jagad langgam Jawa, seperti Andjar Any dengan lagunya berjudul Yen ing Tawang ana Lintang; S. Darmanto dengan Lara Branta; dan Ismanto lagu andalannya Wuyung.

Baca juga: Riwayat Kontes Keroncong

Dari sini, tulis Rahayu Supanggah, asal-usul campursari berkaitan erat dengan siaran atau pertunjukan musik keroncong dan salah satu kelompok keroncong yang memberikan siaran reguler pada waktu itu di RRI Semarang adalah kelompok yang dipimpin oleh S. Darmanto.

“Campursari periode awal itu gabungan gamelan Jawa komplit dan alat musik gesek seperti yang digunakan dalam orkestra,” jelas Dhanang Respati.

Selama sekira 10 tahun, 1955-1965, campursari sedang dalam tahap perkembangan awal. Sayang sekali setelah sekitar 1965, campursari tidak lagi menunjukkan aktivitas yang berarti dalam hal pertunjukan maupun siaran. Namun kelak, campursari menemukan gelombang pasangnya lagi pada medio 1980an dan 1990an dengan seniman macam Manthous dan Didi Kempot.*

TAG

musik campursari didi kempot

ARTIKEL TERKAIT

Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Apotek yang Melahirkan Band Rock Legendaris Indonesia Berkah Ditolak Jadi Tentara Yok Koeswoyo Bicara Sukarno Yok Koeswoyo yang Tinggal dari Koes Plus Moonlight Sonata dan Kisah Cinta Tak Sampai Ludwig van Beethoven Muslim Penting dalam Musik Pop Kisah di Balik Alat Musik Kesayangan Squidward Sebelum Ahmad Albar Sukses di Indonesia Di Balik Lagu “Nuansa Bening”