SEKIRA akhir abad ke-19, Chailley Bert, seorang pelancong asal Prancis, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Bert jelas berlebihan. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekira 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye, minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.”
Menurut Denys Lombard, es merupakan lambang “kenyamanan” yang sudah semestinya di negeri tropis dan pengawet bagi makanan yang mudah rusak. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berbalok-balok es ke berbagai pelabuhan besar di Nusantara. Sekira 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia “hanya minum air yang berasal dari es yang mencair, yang didatangkan dari Boston.”
“Prosedur pembuatan amoniak, temuan Eropa, diimpor ke Jawa sekitar akhir tahun 1880 dan suksesnya yang cepat segera memutarbalikkan kondisi penyimpanan bahan cadangan,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2.
Prinsip dasar produksi es balok adalah pembekuan air dengan memakai media larutan garam (brine) yang memiliki suhu mendekati titik beku larutannya. Proses pendinginan brine menggunakan bantuan sirkulasi bahan pendingin (refrigerant) ammonia.
Dalam sepuluh tahun sejak dikenal prosedur pembuatan amoniak, pabrik es berdiri berlipat ganda di kota-kota besar. Kebiasaan minum air dingan menyebar lebih luas lagi. Di Batavia misalnya, pabrik es berada di Molenvliet (kini Jl Gajah Mada dan Jl Hayam Wuruk) dan Petojo.
“Awalnya perusahaan es milik bangsa Eropa,” tulis Lombard, “namun dengan sangat cepat bangsa Cina pandai memanfaatkan prosedur baru itu.”
Salah satu pelopor dalam usaha es balok adalah Kwa Wan Hong, seorang pengusaha Tionghoa. Dia lahir pada 1861 di Semarang, Jawa Tengah. Ayahnya, yang lahir di Tiongkok, pernah menjadi sekretaris walikota. Dia mendapat pendidikan yang cukup baik. Mula-mula menekuni usaha kayu, lalu beralih ke kapur. Pada 1895 dia mendirikan pabrik es pertamanya yang memperoleh sukses besar di kota kelahirannya.
Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, Hong mencoba membuka pabrik limun dan percetakan Hap Seng Kong Sie –tertua di Jawa Tengah– pada Agustus 1901. Pada 1902, dia juga menerbitkan Warna Warta, suratkabar melayu-Tionghoa pertama di Semarang dan berbagai buku cerita terjemahan dari bahasa Tionghoa, misalnya Syair Sindiran karya Tan Tjin Hwa. “Ia terkenal sebagai raja es,” tulis Setyautama.
Hong mengembangkan usahanya dengan membangun tiga pabrik es di Semarang (1910), Tegal (1911), dan Pekalongan (1911). Karena menarik minat pembeli, dia membangun dua pabrik lagi di Surabaya pada 1924 dan 1926. Dua tahun kemudian, dia menetap di Batavia dan membangun pabrik es di Jalan Prinsenland (Mangga Besar) dan Rawa Bening di Meester Cornelis, Jatinegara. Pada 1930, dia mengakuisis pabrik es Soen Sing Hien di Sumedang Jawa Barat, dan mendirikan satu pabrik minyak kelapa di Kutoarjo.
Dari hasil usahanya, Hong kerap menyumbang dana untuk kegiatan Tiong Hoa Hwee Koan, organisasi yang dibentuk pada 1900 “untuk menjadi pusat bagi keseluruhan pergerakan (Tionghoa) untuk reformasi adat istiadat dan tradisi Tionghoa.”
Awal 1970-an, tulis Lombard, kendati penggunaan lemari es listrik maju dengan cepat, kebiasaan membeli es setiap hari “pada orang Cina” –dan masyarakat luas umumnya– masih terlihat.